Pov Farida Pucuk dicinta ulam tiba. Kedatangan Mas Topan kembali ke kampung membuat benih-benih cintaku bersemi lagi. Cinta yang lama terpendam kini tumbuh lagi. Bagaimana pun caranya aku harus bersatu dengannya. Satu-satunya orang yang bisa membantuku adalah Bu Lastri, ibunya Mas Topan. Aku jadi teringat, selama ini Bu Lastri selalu minta bantuanku saat kekurangan uang. Bahkan ada sejumlah uang yang masih belum dibayar. "Pokoknya aku tidak mau tahu, Bu. Mas Topan harus menikah denganku. Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini." "Tapi Topan sudah punya keluarga, Da." "Laki-laki bisa punya lebih dari satu istri. Lagi pula, apa istri Mas Topan yang sekarang bisa membantu Ibu? Tidak 'kan? Yang ada malah merepotkan. Istri seperti itu hanya jadi beban saja." Aku tersenyum puas saat melihat raut wajah Bu Lastri gelisah. "Ada sejumlah uang yang belum Ibu bayar. Kalau Ibu tidak bisa membuat Mas Topan menikahiku, maka aku minta secepatnya uang itu harus kembali." "Tapi, Da .... " "
Sebelum hari ini, aku membayangkan kerjaku hanya duduk di belakang meja kasir kios pupuk milik Ida. Menghitung laba lalu menikmati uangnya. Tapi ternyata, boro-boro toko itu, motor saja tidak bisa kupakai. Selain sawah dan ladang yang luas, kios yang menjual pupuk dan alat pertanian milik Ida adalah incaranku. Tetapi sekarang semuanya diambil alih oleh anaknya. Meski geram, aku harus menahan emosi supaya tidak melakukan hal yang dapat merugikan diri. Padahal jika tidak ingat itu, aku bisa saja melakukan cara yang kasar untuk bisa menguasai harta milik Ida. Kalau dipikir, percuma juga aku tinggal di rumah besar tapi tidak bisa menikmati fasilitas. Menikahi janda kaya yang ternyata hartanya sudah diambil oleh anak kandungnya. Yang dulu kupikir aku pergi ke sawah hanya untuk mengawasi para pekerja, tetapi nyatanya aku sendiri yang harus bekerja. Berkali-kali Farida minta maaf, sepertinya istri baruku ini merasa bersalah dan takut kehilangan. Di hari kedua menjadi suami Farida,
Setelah selesai, Ida keluar kamar dan kembali membawa air mineral dingin lalu menuangkannya ke dalam gelas. Kami duduk di atas kasur dengan masing-masing memegang satu gelas. Aku masih menunggu Ida bersuara sambil sesekali menyeruput air itu. "Maaf, Mas, jika sebelumnya aku belum cerita." Ida membuka suara. "Soal apa?" "Sebenarnya ... anak-anakku tidak merestui kalau aku menikah lagi. Sekali lagi, maaf, aku tidak bicara sebelumnya karena aku takut kamu mundur, Mas." Pantas saja selama kami hubungan, Ida tidak pernah mengizinkan aku bertamu ke rumahnya. Wanita ini selalu menemuiku di rumah ibu. Cerobohnya aku, tidak pernah bertanya pada Ida tentang pendapat anak-anaknya terhadap hubungan kami. Aku terlalu fokus pada harta benda Ida sehingga tidak ingat hal-hal seperti ini. "Kenapa kamu memaksakan diri menikah denganku jika anak-anak tidak setuju?" Aku memijit pelipis yang tiba-tiba terasa nyeri. "Tentu saja karena aku sangat mencintaimu, Mas." "Tapi akhirnya kita bisa men
Setelah pabrik batako milikku mengalami kebangkrutan dan hampir semua aset habis, aku memutuskan untuk pulang kampung. Ini juga atas permintaan Ibu. Di kampung, aku bisa kerja serabutan. Bahan makanan juga banyak yang gratis. Apalagi kalau rajin bercocok tanam. Semua ini gara-gara si Samsul. Pria itu membohongiku, uang ratusan juta untuk pembayaran batako tidak kunjung ia bayar. Awalnya aku percaya kalau Samsul akan membayar di akhir, sebab kami bekerja sama sudah lama. Tapi kali ini dia curang. Orang itu pun kabur entah ke mana. Mungkin ini namanya hikmah dibalik musibah. Setelah di kampung, aku bertemu kembali dengan mantan pacarku dulu. Farida, yang ternyata sekarang sudah menjanda. Dulu hubungan kami tidak direstui oleh orang tuanya lantaran perbedaan status sosial. Ida memang dari kalangan orang berada sementara keluargaku biasa saja. Aku pun pergi merantau untuk memperbaiki nasib supaya bisa mempersunting Ida, tapi nasib berkata lain. Sebelum aku sukses, Ida sudah menikah
Aku kembali dibuat heran. Mataku fokus bergantian pada Fauzan dan map tersebut."Apa ini?""Surat pembayaran rumah. Mulai sekarang rumah ini resmi menjadi milik Bu Zahra. Sertifikatnya nanti akan diurus karena harus ada data-data Anda.""Tapi .... ""Tolong diterima. Saya pribadi merasa bersalah melihat kondisi ibu sekarang. Permisi." Fauzan terbalik lalu tanpa berkata lagi ia pergi disusul oleh Handi.Aku masih mematung saat mobil mewah itu meninggalkan halaman rumah yang katanya sekarang sudah menjadi milikku. Aku terduduk lesu, tidak percaya kalau hari ini bertubi-tubi Allah memberikan rezeki padaku. Alhamdulillah. Masya Allah. Rezeki memang rahasia Allah. Semua berjalan begitu cepat. Sampai-sampai aku tidak sempat mengucapkan terima kasih pada Fauzan. "Alhamdulillah, Dek. Sekarang kita punya rumah dan uang yang banyak." Aku menunduk meraih map dan kubuka serta kubaca dengan teliti. Bukti pembayaran kalau rumah ini sudah lunas. Aku tercengang melihat angka yang tertera. Mali
Handi membawaku masuk lewat pintu samping sebuah rumah mewah. Pintu ini langsung terhubung ke dapur. Seorang wanita seumuran denganku menyambut kami. Wanita yang mengaku bernama Sri itu membawaku ke sebuah kamar. "Mbak jangan keluar kalau tidak saya suruh, ya," pinta Sri sopan.Meskipun bingung tapi aku mengangguk. Sri kemudian keluar, tak lama masuk lagi dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman."Mbak boleh menggunakan fasilitas yang ada di sini. Baju tidur, kamar mandi dan perlengkapannya, juga perlengkapan tidur. Ingat, ya, tidak boleh keluar kalau tidak saya suruh.""Ya, Mbak, tapi kalau boleh tahu kenapa?""Saya tidak tahu alasannya, saya hanya diperintah oleh Bapak."Setelah itu Sri keluar dan sepertinya pintu dikunci. Aku menghempaskan tubuh di atas kasur. Tempat tidur besar ini cukup untuk berempat. "Ini rumah siapa, Ma?" tanya Malika sambil bangkit duduk. Gadis kecilku itu tadi kurebahkan di atas kasur."Ini rumah om Fauzan, yang tadi ngajak kita makan.""Rumahnya b