Di tempat lain ....Sabil akhirnya melemah. Benar yang dikatakan adiknya Nabil. Ia sadar bahwa keinginannya mendapatkan Halimah bukan karena jatuh cinta, dan igin membalas cintanya. Atau rasa bersalah dan ingin menebus semuanya.Semua itu hanya keinginan sesaat. Sabil cemburu karena terbawa suasana. Cemburu pada perhatian Halimah yang harus berpindah pada pria lain. Dan semua itu terjadi di depan matanya."Bang," panggil Nabil, yang membuat kakaknya terhenyak dan menoleh seketika.Suara pria itu memelan, karena menangkap gestur Sabil tak lagi seperti tadi. Pria itu tampak tenang dan tak meneruskan pendapatnya sendiri. Seolah ia telah sadar dari kesalahan yang dibuat."Tolong jangan merusak niat baikku. Mungkin Tuhan mengambil Alisa dan anakku, agar aku memperbaiki keadaan Abang, Halimah dan istri Abang. Walau bagaimana Halimah dan Abang tak boleh terus berada dalam satu rumah. Meski tak melakukan apa pun.____________Fatma yang tengah tertegun menatap punggung wanita tua di depan san
"Loh sudah pulang, Mas?" tanya Halimah."Iy, tadi aku minta tolong pada Nabil buat nutup toko. Mumpung dia di sini." Nabil menjawab dengan berbohong.Bukan dia tak mau jujur, hanya saja belum tepat waktunya."Mas ke marilah," pinta Halimah lembut. Ia menyadari kesalahannya, dan ingin menebus itu pada suaminya."Ya?" Pria itu menyahut, lalu mendekat perlahan. Tatapan matanya tak sengaja melihat secarik kertas di samping Halimah."Apa ini?" Pria itu meraihnya. Mata Nabil melebar, saat melihat hasil tes DNA di tangannya.Halimah masih bersikap tenang. Menurutnya wajar, jika ia curiga pada sang suami akhir-akhir ini. Bukan hanya sikapnya yang dingin, tiba-tiba hangat padanya. Di waktu yang sama, adik kembarnya juga datang. Dan kabar itu tak sampai pada Halimah."Itu tes untuk kembar, Mas," ucapnya datar."Ap- apa? Tes DNA? Tap-tapi kenapa dicocokkan dengan nama Sabil?" Pria itu bukan hanya terkejut, tapi juga merasakan nyeri hati teramat sangat.Apa itu artinya kembar adalah anak Sabil,
"Ayah kenapa sih, Dek? Kok jadi aneh begitu. Bunda takut terjadi sesuatu." Halimah bicara pada bayinya, seolah bayi yang tidur pulas itu mendengar dan paham ucapannya."Alhamdulillah yang Bunda takutkan nggak terjadi, tapi sikap ayah bikin Bunda ...."Halimah menggeleng. Menepis hal tidak-tidak dalam kepala. Sadar bahwa ia terlalu banyak berprasangka buruk pada orang lain akhir-akhir ini."Nanti juga ayah pasti cerita, ya. Dek. Kayanya ayah sekarang hangat ke Bunda karena ada kalian." Halimah tersenyum menatap dan mengusap pipi kemerahan si bungsu, yang letaknya berdekatan dengannya.Halimah mendesah. Lalu rasa kering di kerongkongan, membuatnya menoleh ke nakas. Di mana sebuah cangkir besar terletak di sana. Wanita itu pun meraihnya, untuk meminum isinya. Namun, saat melihat tak ada lagi yang tersisa di sana, Halimah mendesah."Duh, habis minumnya bunda, Dek. Wah, gimana ini? Apa Bunda ambil ke belakang aja, ya?" ___________Tibalah saat Sabil harus menghitung total belanjaan para p
Kursi roda terus bergerak memasuki area dapur. Saat akan menggulir roda ke arah wastafel TCP, Halimah berhenti bergerak. Ia mendengar suara Fatma dan ibunya tengah bicara serius di kamarnya."Kenapa suaranya seperti orang bertengkar?" gumamnya, sembari bergerak ke arah kamar.Halimah menghela napas, setelah buleknya terdengar menekan suara, entah bicara apa, Fatma berani meninggikan suara. 'Ini bukan Fatma, puteri yang penurut pada orang tuanya,' batin Halimah, karen hal tak biasa itu. Ia ingin terlibat dan menegurnya.Di depan pintu, matanya melebar saat mendengar nama Sabil disebut-sebut. Semakin ke sini ... ia mulai paham apa yang telah buleknya katakan. Wanita itu terkejut dan menjatuhkan gelasnya, karena tubuh terutama tangannya yang membawa beban seketika lemas. PRANK!Benda jatuh menimbulkan suara keras di lantai. Untung saja, kedua bayinya belum memiliki pendengaran yang peka, hingga tak kaget, terbangun dan menangis mendengarnya."Kenapa Mas Sabil jadi suami Fatma? Kenapa s
Sampai di depan pintu sebuah rumah, Fatma mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Sedang ibunya, yang baru menjejak kaki di tempat itu, celingukan melihat sekitar. Tempat yang sungguh asing baginya."Jadi di sini kalian tinggal?" tanya ibunya."Ya, Bu." Fatma menyahut tanpa menatap ibunya, karena sibuk membuka pintu rumahnya.Sampai di dalam, hal pertama yang Fatma lakukan setelah meletakkan tas adalah membuka ponsel dan menghubungi Sabil.Namun lagi-lagi, nomor suaminya itu tak aktif.Fatma gusar dan kecewa. Di saat segenting seperti sekarang, Sabil malah tak bisa dihubungi."Sabar, ya." Ibu Fatma mengusap punggung puterinya.Wanita tua itu tiba-tiba teringat sesuatu."Ada apa, Bu?" tanya Fatma mengerutkan kening melihat ekspresi ibunya."Sebentar, ya!" Wanita itu kemudian mengeluarkan ponsel menghubungi seseorang."Halo. Assalamualaikum," sapanya begitu panggilan mendapat jawaban.Fatma diam saja meski tak tahu siapa yang dihubungi ibunya."Waalaikumsalam." "Novi, ya? Ini buleknya Ha
Nabil yang hatinya terluka. Menahan beratnya nestapa. Ingin menyalahkan Halimah, kenapa bisa sampai tidur dengan Sabil?Namun, ia sadar. Bahwa Halimah tak bersalah dalam hal ini. Bahkan wanita itu tak tahu, dan tak mengerti kalau suami sahnya adalah dirinya. Ia tak akan ssnggup membenci wanita yang sudah banyak menderita karena ulah kakaknya dan dia sendiri yang secara langsung terlibat.Kalau saja bisa, ia ingin mencabut duri dalam hati perempuan yang sudah dicintainya sejak lama itu. Menemani tangis Halimah saat wanita itu tahu, bahwa Sabillah pria yang dikira adalah suami dan mengkhianatinya sekarang.Namun, semua itu sebatas angan. Bahkan untuk membuka matanya saja, ia tak sanggup.____________Halimah yang sedang patah hati, menangis dan menangis. Kalau saja air mata bisa mencairkan hatinya. Hanya itu yang bisa ja lakukan. Tak mampu mengungkapkan pada siapa pun betapa pedihnya hati yang tersakiti. Racun yang membunuhnya perlahan, merasai diri sendiri tanpa orang lain akan meng
...Tak lama sebuah panggilan datang. Halimah pun mengangkat atas bantuan Novi. Wanita itu mengambil benda pipih milik Halimah di atas nakas."Ini." Novi menyerahkan ponsel yang sudah tersambung dengan orang di ujung telepon. Perempuan berusia 27 tahun itu sempat heran, melihat nomor tak dikenal yang menghubungi ibu kembar.Halimah meraih benda pipih itu dengan ragu. "Siapa?" tanyanya ketika melihat pemanggil tak ada didaftar kontak.Novi menggedik."Angkat saja, barangkali penting." Wanita itu menyarankan pada sahabatnya.Dia tahu hati Halimah sedang tak enak. Namun, dia tetap tak boleh mengabaikan apa kepentingannya sendiri. Siapa tahu ini berkaitan dengan kesehatan kembar yang masih dalam pengawasan bidan.Halimah mengangguk. Lalu menekan icon berwarna hijau untuk mengangkat panggilan. Matanya perlahan melebar karena terkejut, karena ucapan orang di seberang."Waalaikumsalam. Ap-apa?" ucapnya terbata. Ia tak lagi bisa berkata-kata karena syok, meski ponsel masih menempel di pipin
"Perjelas semuanya. Jangan hidup dalam prasangka! Jangan ada abu-abu saat kamu ingin memutuskan sesuatu! Karena bergerak dalam gelap membuatmu tak bisa melihat lubang, hingga tersandung dan jatuh."_________FlashbackPaman Dogger dan dua temannya membawa dua pria kembar memakai Van milik salah seorang dari mereka.Sampai di rumah sakit, keduanya langsung diangkut menuju IGD. Mereka tak mengerti. Entah, apa yang terjadi sampai keduanya tak sadarkan diri. Bahkan salah satunya tampak perdarahan di kepala belakangnya.Setelah keduanya telah mendapatkan tindakan pertama, mereka yang mengantar diminta ke bagian administrasi."Anda-anda keluarganya?" tanya seorang perempuan yang memakai setelan pakaian warna putih.Ketiganya saling pandang sesaat, lalu menggeleng. Lalu salah satu dari mereka menyerahkan dua ponsel dengan meletakkannya di atas meja."Hah?" Dua rekannya, kembali menoleh Om Dogger."Lah, kok diambil Om?" tanya salah satu rekan pedagang yang membantu."Supaya bisa tahu anggota