Kenapa ini sangat kebetulan. Mas Sabil dan Fatma datang hampir berbarengan dan dua-duanya ... memiliki keanehan. Sama-sama basah. Ish, mikir apa sih, aku?
Dua-duanya orang baik. Mana mungkin pria yang memiliki idealisme seperti Mas Sabil berkhianat? Apalagi kondisi istrinya sakit setelah melahirkan caesar."Kamu udah makan?" tanya Mas Sabil, seolah tengah mengalihkan perhatian.Kuanggukkan kepala pelan. Tentu saja aku sudah makan, ada Bulek yang sangat telaten memasak untukku.Hanya saja aku tak fokus pada pertanyaan itu, pikiranku masih terganggu oleh kebetulan-kebetulan tadi. Sikap pria ini juga aneh. Dia jadi kalem begini. Atau mungkin karena tak sesetres biasa saat pulang.Dalam seminggu ini, Mas Sabil saat pulang dari toko, biasa disambut dengan tangisan bayi, popok kotor yang menumpuk. Belum lagi makan seadanya yang dibeli di luar. Juga ditambah membantuku ke kamar mandi.Yah, tentu saja lelahnya berlipat-lipat. Aku tahu bagaimana pekerjaan di toko. Satu-satunya peninggalan Bapak untukku itu, menjadi sumber mata pencaharian kami. Berkat toko itu juga, kami bisa renovasi rumah, beli mobil dan terkahir tabungan kami buat biaya bersalin yang ternyata di luar ekspektasi.Karena itulah kami harus bekerja keras setelah habis-habisan setelah membayar biaya itu. Mas Sabil jadi tetap giat bekerja, mengelola toko itu sendiri.Sejak meninggalnya Bapak, aku sempat membayar pegawai untuk menjaganya. Dan setelah menikah, Mas Sabil lah yang mengelolanya, sementara aku bekerja sebagai seorang guru.Hingga akhirnya memilih resign saat tahu bayi dalam kandunganku kembar.Mungkin karena ada gen Mas Sabil, yang juga punya kembaran, anak kami pun ditakdirkan sama. Bedanya jika mereka berdua sama-sama laki-laki, anakku kembar perempuan, padahal suami sangat menginginkan anak laki-laki.Pria yang kembar identik dengan Mas Sabil itu kini ada di Kalimantan. Wajahnya sangat mirip, sama-sama tampan. Katanya usaha propertinya tengah berkembang. Kabar terakhir yang aku dengar, istrinya akan melahirkan.Sayang hubungan di antara kami tidak begitu baik. Meski Nabil, adik Mas Sabil itu pria baik, tapi istrinya subhanallah .... judes dan pencemburuan. Dia tak segan memusuhiku hanya karena cemburu. Hingga kami memutuskan saling menjauh ketimbang saling menyakiti.Dulu ... padahal saat kami menikah, bergantian saling membantu.Aku bisa paham, kelelahan jadi pemicu Mas Sabil yang dulu bersikap dingin, beberapa bulan ke belakang cenderung bicara kasar dan menyakiti hati. Ya, dia dingin. Karena aku tahu, dia menikahiku sebagai pelarian.Sayang saja aku tak pernah tahu siapa mantannya? Wanita yang putus menikah dengannya karena sesuatu hal. Entah apa?Kadang aku berpikir, apa dia memang tak pernah mencintaiku dan hatinya hanya untuk mantannya saja? Itu kenapa dia dingin, dan sekarang kasar ucapan. Bahkan bisa dihitung jari nafkah batin yang Mas Sabil berikan untukku.Namun, meski begitu aku berusaha sabar. Karena dulu jatuh cinta untuk kali pertama melihatnya. Saat itu pula aku berjanji, jika kelak Allah takdir kan kami bersama, aku akan jadi istri yang sholehah.Bukan hanya bersikap lembut pada suami dan setia, tapi juga penurut dan sabar.Untung saja, setelah meminta tolong, Bulek dan Fatma, mereka mau datang. Aku sangat bersyukur.Keberadaan mereka, sangat membantu ternyata. Bahkan baru sebentar sikap Mas Sabil langsung berubah.Pria tampan itu melepas jaket yang membalut tubuhnya dan menaruh di tempat biasa. Meletakkan hape di nakas yang dikeluarkan dari kanton jaket itu.Berdiri sebentar melihat dua bayi kami. Tanpa ekspresi, seperti biasa. Ia menghela napas dan beranjak akan keluar.Melihatnya begitu, ada sesuatu yang membuat hati ini terasa nyeri. Entah, sampai kapan sikapnya begitu? Bisa menerima kehadiran anaknya yang bukan laki-laki."Mau ke mana, Mas?"Pria itu tak menoleh. "Aku lapar.""Mas, sebentar!" panggilku agar ia berbalik menghadapku dan mendengarkan semua ucapanku."Hem. Ya?" Mas Sabil berbalik, hal itu membuatku tersenyum. Senang sekali rasanya diperhatikan."Oh. Ya. Bukankah seharusnya kita mengadakan tasmiyah dan memberi nama untuk kembar?""Oh, soal itu. Kita tunggu kamu sembuh dulu. Aku gak mau merepotkan Bulek dan Fatma. Mengurusmu dan anak-anakmu saja, pasti mereka sudah sangat lelah. Apalagi kalau sampai ada acara."Hem. Aneh Mas Sabil ini. Kenapa malah mikir gitu? Kan bisa minta bantuan orang."Kan bisa catering, Mas.""Lim, kita itu baru habis-habisan loh. Aku harap kamu ngerti itu. Jadi perlu jeda untuk mengumpulkan uang."Jadi itu alasannya. Masuk akal, sih."Oh, ya. Benar. Maaf, Mas," ucapku lemah. Merasa bersalah karena membuat bebannya bertambah-tambah."Kamu, pikirin saja dulu nama untuk mereka," ucapnya kemudian sembari berlalu pergi.Detik kemudian langkahnya kembali terayun meninggalkan kamar kami.Aku akan meraih ponselku sendiri. Rasanya sudah lama sekali tak membuka sosial media dan pesan chat. Bukan hanya terlalu sibuk mengurus anak dan diriku sendiri, rasa lelah membuatku tak berselera membuka-buka benda pipih itu, meski kadang ada sedikit waktu-waktu senggang.Namun, belum lagi ponsel itu kuraih, ponsel Mas Sabil bergetar di sampingnya. Tak membuang waktu, kuangkat lebih dulu panggilan itu."Halo, assalamualaikum," sapaku pada orang di ujung telepon.Entah siapa, karena nomor baru, tak ada nama kontak yang disematkan di sana."Waalaikumsalam." Suara berat seorang pria terdengar di ujung telepon."Masnya ada Mbak?""Mas Sabil?""Benar. Eh, ya bukan, ya. Tadi yang ketemu sama saya di pasar." Pria itu menyambung ragu.Mungkin pelanggan Mas Sabil yang baru. Makanya nomornya belum sempat disimpan juga."Oh ya, benar berarti," sahutku. "Ada yang bisa saya bantu? Suami saya ada di belakang, apa perlu saya panggilkan?""Oh, istrinya? Saya pikir Kakaknya soalnya suaranya beda dengan yang tadi.""Hah?" Ada sesuatu yang menyentakku. Berbeda dengan yang tadi? Apa maksudnya? Kami kan tadi tidak ketemu.Netx ya Kakak 😍Mobil yang dikendarai Javier terus melaju menuju bandara. Walau pun, belum dapat kepastian, apakah mereka bisa bertemu, sebab nomor Dokter Rendra belum aktif dan ia belum mendapatkan balasan tadi, untuk saling memberi tahu di mana lokasi mereka akan bertemu. Seperti yang dipesankan oleh sang Mama bahwa ia tak boleh terlambat. Tak enak rasanya pada pria yang bertanggung jawab dan banyak membantu sang Mama dalam proses penyembuhan. Jika sampai ia membuat pria itu tak nyaman sebab menunggu terlalu lama.Sekitar setengah jam memacu mobil dengan kecepatan lebih dari biasa, akhirnya mobil sport berwarna silver milik Javier memasuki area Bandara. Ia kemudian mencari tempat parkir yang kosong untuk menepikan mobilnya. Begitu mobil itu berhenti dan Javier mematikan mesin, ia pun bergegas ke luar menuju lobi Bandara di mana kebanyakan pengunjung menunggu di sana.Merasa ini sudah lebih dari waktu pesawat landing seperti yang Mamanya –Rania katakan, Javier kemudian mengeluarkan ponselnya sembar
_______________ Akan tetapi, dengan cepat pula Deandra mengingatkan dan meyakinkan kemenangan pada dirinya sendiri.‘Tak apa Dee, ini baru dimulai. Perjuangan masih panjang. Kamu bahkan belum tahu bagai mana aslinya Javier seperti apa? Bagai mana juga perasaannya terhadapmu. Masih banyak waktu untuk belajar. Lagi pula ... bukankah kamu bilang tidak menginginkan hal lebih ... jadi jangan memaksakan waktu untuk mengubah semuanya. Kamu harus ikhlas jika kelak, Javier tak menginginkan hal lebih selain sekadar status pernikahan.’“Oh ya, untuk ke depan, selama aku belum ada pekerjaan baru di kota, mari kita berbagi tugas. Bergantian memasak.” Javier membuat sebuah gagasan untuk meringankan beban Deandra.“Ah, itu tak perlu Jav, aku akan melakukannya. Itu bukan hal yang berat.” Deandra menyahut. “Lagian aku merasa bingung sendiri jika tak ada pekerjaan.” Deandra menyahut. Dia bahkan sudah berhenti bekerja. Kalau di rumah juga dikurangi pekerjaannya, dia akan jadi pengangguran dan tidak tah
Azalia dan Afif telah kembali dari hotel. Sebenarnya jatah menginap mereka ada tiga hari. Akan tetapi, sepasang suami istri itu bersepakat, bahwa mereka ingin pulang lebih dulu dan hanya mneghabiskan waktu bermalam satu hari saja. Pagi hari ke duanya sudah berada di rumah Afif yang dulu sempat Azalia tinggali juga dengan Kania. Pada siang hari tanpa diduga, orang tua Afif datang berkunjung ke rumah mereka, begitu tahu kalau Azalia dan Afif sudah berada di rumah.“Mereka ini apa –apaan? Padahal dapat jatah tinggal tiga hari dan gratis malah disia –siakan. Ckck. Mbak Rania bisa kecewa kalau tahu.” Mama Afif bicara selagi berjalan seiringan dengan sang suami ke luar dari mobil menuju rumah yang anak mereka tinggali.Tidak tahu kenapa, rasanya ia ingin terus mengomel sepanjang hari ini. Ada saja hal yang membuat wanita paruh baya itu merasa kesal.“Kalau begitu jangan sampai Mbak Rania tahu,” jawab suami enteng. Kakinya terus melangkah tanpa beban. “Barang kali, Azalia merasa tidak enak b
“Ehm, saya sebenarnya terkejut saat Afif mengatakan harus bertanggung jawab pada seorang gadis yang dia hamili.” Suara Mama Afif menciptakan ketegangan di antara empat orang yang saling dekat karena anak –anak mereka terikat dalam hubungan pernikahan.Wajah –wajah yang tadi dihiasi senyum kini dalam sekejap berubah masam. Begitu juga Papa Afif yang kemudian menggenggam tangan sang istri, agar mengendalikan diri. Karena tak enak pada tuan rumah yang sudah menerima mereka dengan baik, bahkan menyuguhkan makanan dan minuman. Dari awal hingga akhir, bahkan dalam obrolan, orang tua Azalia tidak sekali pun bersikap memuakkan sebagai wali, membahas dan menuntut kehidupan seorang istri pada suaminya.Ibu Afif menoleh sesaat pada sang suami. Ia paham maksud pria itu. itu juga kenapa Ibu Afif kemudian menatap ke arah pria itu dengan anggukan kecil. Bahwa semua akan baik-baik saja. itu yang dia ingin katakan. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dan tak akan membuat suaminya malu.Bukankah dia orang
“Dokter Rendra sudah di Bandara, Dek!” Suara mantan Ibu mertua Azalia menghentikan gerakan tangan mengaduk kopi yang akan disuguhkan untuk suami, Ibu dan Bapak mertua Azalia.Bagaimana tidak? Nama yang disebut wanita paruh baya itu adalah nama lelaki yang dulu sempat merusak masa depan dan impian Ibu Azalia.“O ya, apa aku perlu menjemput, Mbak?!” tanya Bapak Afif yang mendekatkan kepala ke arah ponsel yang dipegang sang istri dengan antusias.Bapak Amir, bahkan tak menatap ke arah sang istri meski nama mantan kekasih istrinya diteriakkan di depan mereka. Yah, Mas pria itu mana tahu hati sang istri dan rasa sakit yang pernah didapat dari pria itu dulu. Dia memang tak pernah ingin peduli dengan itu. Bahkan suaminya itu tidak tahu seperti apa wajah pria bernama Rendra itu.Bapak Amir masih tersenyum. Dia tidak tahu, apakah Rendra, dokternya Rania dan Rendra mantan kekasih Fatma adalah pria yang sama. Meski penasaran, ia memiliih menahan diri untuk bertanya dan mencari tahu. Pikir Dendi,
Ia merasa tidak nyaman melihat istrinya tengah hamil besar. Pasti Azalia merasa berat dengan kehamilannya itu. Karena dia tahu bagaimana payahnya seseorang ketika mengandung, seperti ketika dulu Mamanya sedang mengandung Kania dulu.“Aku tidak sepayah itu.” Azalia membantah pemikiran suami tentangnya.Melihat bagaimana Azalia protes, Afif hanya tersenyum sembari terus melangkah. Namun, belum lagi langkah pria itu mencapai kamar mandi hotel, panggilan lembut dari wanita yang bersamanya di kamar hotel tersebut menghentikan langkah Afif.“Mas Afif.”“Ya?” Afif menoleh dengan raut wajah dipenuhi tanya. “Kamu memerlukan sesuatu?” tanyanya lagi.Azalia tersenyum kecil. Lalu menggeleng pelan. “Makasih, ya, Mas.”Ia tak tahu bagaimana nasibnya pasca tahu bahwa suami sebelumnya adalah kakak kandungnya dan mereka terpaksa bercerai. Mana ada laki –laki baik dan dari keluarga baik –baik mau menerima seorang janda, hamil pula. Afif juga seorang pemuda yang memiliki pendidikan yang baik.Karena per