MASIH TENTANGMU- Hidup BaruJam dua ketika tamu sudah mulai senggang. Alita menghampiri Dea dan Melati yang duduk ngobrol, terpisah dari rombongan Pak Norman."Makasih banget kalian menyempatkan datang dari Jogja ke Surabaya," ucapnya sambil duduk di kursi depan dua wanita itu. Agak susah duduk karena memakai jarik yang sangat sempit. Makanya Dea membantu memegangi tangan Alita agar tidak terjengkang."Sama-sama," jawab Dea dan Melati hampir bersamaan."Setelah ini kamu dan suamimu tinggal di Malang?" tanya Melati."Iya. Kami berdua kerja di sana.""Kamu sudah lama pulang ke Surabaya?" tanya Melati lagi Dijawab anggukan kepala oleh Alita. Melati malah tidak tahu banyak tentang Alita, semenjak pakdhenya Alita masuk penjara. Apalagi setelah putus pertunangan dari Gama, Alita tidak pernah lagi datang ke kafenya. Dea sendiri tidak pernah membahas pertemuannya dengan Alita pada siapa-siapa. Kecuali pada sang suami, itu pun baru seminggu yang lalu. "Bentar aku mau ke toilet," pamit Melat
Paginya, Alita berkemas-kemas dibantu oleh Naufal. Sesekali mereka saling pandang dan melempar senyum. Rambut Alita terurai sebawah bahu dan masih setengah basah."Akhir pekan ini, kita lihat rumah di Grand Permata," kata Naufal menghampiri istrinya dan membantu mengunci travel bag."Kamu sudah tahu Grand Permata, kan?""Iya, aku pernah lewat sana.""Kamu suka nggak tempat itu?""Suka.""Ada juga di Singosari Residen. Tapi kejauhan kalau ke kantor. Di sana pemandangannya juga menarik. Bagaimana?""Aku ngikut saja. Mana yang terbaik buat kita.""Oke. Nanti kita lihat dua-duanya. Jadi kamu bisa membuat pilihan. Kalau di Singosari Residen memang lebih tenang tempatnya. Adem karena di kelilingi perbukitan. Cuman agak jauh dari kantor. Sebelum mendapatkan rumah, kita tinggal di kosanku sambil cari kontrakan rumah untuk sementara.""Ya." Alita tersenyum. Kemudian mengecek laci, memperhatikan gantungan baju, dan masuk ke kamar mandi untuk memastikan tidak ada barang mereka yang tertinggal.T
Masih Tentangmu- Luka"Dea, aku ngeliat Gama kemarin jalan dengan Alita," kata Hani pada Deandra yang tengah makan siang bersamanya di kantin kantor. Sebenarnya wanita itu tidak ingin memberitahu sahabatnya, hanya saja sudah dua kali ini Hani memergoki laki-laki itu jalan berdua dengan rekan kantor mereka.Dea menghentikan suapan dan menatap wanita di hadapannya dengan rona terkejut. Degup jantungnya berpacu kencang. "Di mana?""Makan malam di Joy Seafood."Kedua rekan itu saling berpandangan."Dua kali ini aku nggak sengaja melihat mereka jalan berdua. Yang pertama udah lama sekali. Aku lihat di dekat gerbang tol colomadu. Hanya ada mereka saja di dalam mobil." Kejujuran Hani memporak-porandakan perasaan Dea seketika itu. Selera makannya musnah sudah. Perut yang sejak pagi tadi belum terisi apa-apa, mendadak terasa penuh tapi perih di ulu hati.Hani sendiri terpaksa memberitahu, karena Alita merupakan teman sekantor mereka dan dekat juga dengan Deandra. Apa mungkin gadis itu menjal
Masih Tentangmu- Hanya MantanOleh-oleh dari Gama diletakkan begitu saja di meja makan oleh Dea. "Untuk Mbak Sri, ya," kata Dea pada seorang wanita setengah baya yang menjadi ART di rumah orang tuanya. "Dari mana ini, Mbak?" Mbak Sri menghampiri meja dan melihat isi paper bag. "Siapa yang dari Tawangmangu?""Papanya Antik. Ambil semuanya, Mbak. Saya mau ke kamar." Gegas Deandra menuju tangga. Namun sebelum naik, ia melihat ke arah belakang rumah. Dari jendela kaca besar memperlihatkan papanya yang sedang melakukan senam ringan dan mamanya beryoga. Mereka memang orang-orang yang mementingkan menjaga kebugaran tubuh. Kesehatan nomer satu bagi Pak Dedi dan Bu Wetty.Apalagi setelah sekarang menikmati masa pensiun. Mereka memiliki banyak waktu luang untuk bersenam.Dea menaiki tangga ke kamarnya di lantai dua. Mengunci pintu lalu duduk di kursi dekat jendela.Semilirnya angin pagi menyejukkan permukaan kulit. Di atas sana, awan kelabu memayungi bumi. Pertengahan Oktober, musim penghujan
Masih Tentangmu- Deandra "Hai, Dea," sapa Alita yang melewati meja kerja Deandra Senin pagi itu. Gadis itu tersenyum sekilas pada Dea. Padahal biasanya mampir sejenak untuk ngobrol atau sekedar bertanya sudah sarapan apa belum.Dea pun hanya memandang sejenak, karena Alita langsung duduk di meja kerjanya. Jika empat hari yang lalu, sebelum gadis itu mengambil cuti, perasaan Dea masih biasa. Sekarang sangat berbeda.Kalau boleh meminta, dia tidak ingin bertemu gadis itu. Namun bukankah itu terlalu kekanak-kanakan? Jika menunjukkan kalau dia kuat, butuh mengorbankan perasaan dan berusaha terlihat baik-baik saja. Apa Dea bisa?Padahal semalaman dia sudah banyak merenung. Untuk apa cemburu, untuk apa marah. Toh itu hak mereka untuk bersama. Walaupun Alita sebenarnya tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama. Namun apa haknya untuk meminta Alita menjaga perasaannya. Dia siapa? Hanya mantan yang sudah dilupakan. Sekarang hanya perlu meyakinkan diri, bahwa semua pasti bisa dilewati. Segalany
MASIH TENTANGMU - Dua Perempuan "Dea, ternyata Alita sendirian. Cuman yang dipake mobilnya Gama," bisik Hani di telinga Dea.Dea hanya mengangguk tanpa kembali memandang ke arah Alita yang melangkah masuk pintu pagar. Gadis itu tampaknya juga tidak menyadari keberadaan Dea dan Hana yang berbaur dengan para pelayat yang berpakaian serba hitam, duduk di tenda depan rumah sebelah barat. Apalagi Dea dan Hani kali ini memakai jilbab. Sedangkan Alita mengenakan selendang panjang yang dikalungkan pada lehernya. Namun mereka sama-sama memakai kacamata hitam.Hampir semua karyawan yang datang meneteskan air mata. Mereka teringat sosok manager yang humble dan sangat perhatian pada karyawan. Lelaki berwajah oriental itu tiada dalam usia lima puluh lima tahun. Setelah sakit beberapa lama.Setelah mengucapkan bela sungkawa pada keluarga almarhum, Alita duduk bergabung dengan rekannya yang berada di sebelah timur rumah. Namun pada akhirnya ia melihat Dea dan Hani yang duduk di bawah tenda. Gadis
Alita tersenyum. Senyuman yang terlihat sinis bagi Hani. "Jadi, aku harus minta izin sama Dea. Gitu?"Hani menahan rasa yang nyaris meledak dalam dadanya. Perempuan di sampingnya ini memang tidak tahu bagaimana menjaga perasaan orang lain. Ingin rasanya mencakar dan mencabik-cabik wajah yang tak menunjukkan empati sama sekali."Setidaknya kamu bisa menjaga perasaan orang lain. Apalagi kamu tahu bagaimana perasaan Dea pada Gama."Lagi-lagi Alita tersenyum sambil membuang pandang. "Tapi Gama sudah nggak ada perasaan lagi pada Dea. Gama hanya menganggap Dea sebagai ibu dari anaknya. Itu saja. Kalau dia sudah nggak mau kenapa Dea masih berharap. Salah siapa kalau begini? Bucin sendiri."Hani benar-benar harus mengontrol emosi. Wanita di depannya ini laiknya srigala berbulu domba. Padahal selama ini terlihat begitu manis dan lembut di depan Dea. "Kamu bisa ya ngomong seperti ini? Pada teman yang hampir setiap hari duduk makan bersamamu. Jalan dan curhat bersama. Jadi sikapmu yang terlihat
MASIH TENTANGMU - Move On, Dea"Antik sudah pulang apa belum?" tanya Gama memandang ke arah Dea."Aku belum tahu. Sejak pagi aku takziah. Mungkin malam nanti, Antik baru di antar oleh Mas Rizal. Maaf, Mas. Aku pulang dulu.""Tunggu!" tahan Gama saat Dea hendak melangkah."Bisa kita bicara sebentar."Apa yang hendak dibicarakan oleh Gama? Apa akan memberitahu tentang hubungannya dengan Alita? Degup jantung Dea terasa nyeri."Bicara apa?""Aku dan Alita ....""Aku sudah tahu," sahut Dea cepat sambil bersitatap dengan Gama. Lantas lebih dulu mengalihkan perhatian pada tempat lain."Apa yang kamu tahu?""Kalian sudah bertunangan dan akan menikah." Oh, rasanya sangat sakit mengatakannya.Hening. Yang terdengar hanya gemerisik dedaunan yang bergesekan karena tertiup angin. Sebenarnya Gama tidak ingin membicarakan hal itu. Tapi Dea pasti melihat mobilnya yang dipakai oleh Alita tadi. Gama menghela nafas panjang sambil memandang nisan kecil, di mana anak pertamanya telah tenang di sana. Te