Share

Part 7 Move On, Dea 2

Namun setelah Gama menikah dengan Alita, masih bisakah ia memperhatikan Antik seperti sekarang ini. Atau berubah lagi tidak peduli.

Ini sudah malam. Kenapa Gama nekat datang?

Dea ikut bangun dan menghampiri Mbak Sri. "Temani Antik turun, Mbak. Saya mau istirahat. Kepala saya agak pusing."

"Njih, Mbak Dea. Ayo, Mbak Antik."

"Yeay, Mbak Sri lupa ya. Mesti memanggilku apa?"

Mbak Sri terkekeh. Wanita bertubuh subur itu mencubit gemas pipi majikan kecilnya. "Ya, Nona Antik."

Antika tersenyum lebar. Dia ingin dipanggil seperti princess di film kartun kesukaannya. Kemudian memandang ke arah sang mama. "Mama, nggak ikut?"

"Nggak, Sayang."

"Tapi ada Mbak Astrid juga, Mbak," kata Mbak Sri baru ingat. Ah, dia jadi pelupa sekarang. "Mbak Astrid ingin bertemu Mbak Dea tadi."

Dea diam sesaat. Enggan rasanya turun dan bertemu mereka untuk saat ini. Tapi sudah didatangi, masa iya tidak ditemui. Dea bergerak ke meja riasnya. Mengambil jepit rambut dan mengikat asal saja rambut panjangnya.

Akhirnya menuruni tangga di belakang Mbak Sri dan Antika.

Di ruang keluarga, tampak Gama, Astrid, dan anak perempuan berumur sepuluh tahun tengah duduk ditemani oleh Pak Dedi dan Bu Wetty.

"Mbak Anggun," teriak Antik pada gadis kecil yang tengah duduk di sebelah sang mama.

Anggun berdiri dan memeluk Antika.

Dea tersenyum dan membalas rangkulan Astrid. "Apa kabar, Dea?"

"Baik, Mbak."

"Sebenarnya sejak tadi kamu di telepon Gama. Mau bilang kalau kami akan ke sini. Tapi ponselmu nggak aktif. Besok aku mau balik ke Jakarta. Makanya hujan pun nekat ke mari," ujar wanita yang memakai hijab abu-abu senada dengan gamisnya.

"Sepertinya ponselku kehabisan baterai, Mbak." Padahal Dea sengaja mematikan ponselnya.

"Kalian ngobrol saja. Kami tinggal ke dalam," pamit Pak Dedi sambil menggamit lengan istrinya.

"Monggo, Om." Astrid yang menjawab. Sedangkan Gama hanya menganggukkan kepala.

Antika mengambil keranjang mainannya. Mengajak Anggun bermain bersama. Dua anak yang sebenarnya jarang sekali bertemu, tapi mereka sangat dekat jika ada kesempatan bersua.

Gama hanya diam memperhatikan empat perempuan yang asyik dengan dunia mereka. Anak-anak dengan mainannya, sedangkan Astrid dan Dea bertukar cerita. Sesekali tawa berderai mengiringi sesuatu yang mereka bicarakan.

Dulu mereka adalah ipar yang akrab. Mamanya Dea teman baik ibunya Astrid. Dea sudah dianggap seperti adik sendiri oleh Astrid. Waktu Gama dan Dea hendak bercerai, Astrid yang mati-matian mencegah. Namun sejauh mana ia berusaha, jika Gama diam di tempat, dia bisa apa. Gama terlalu egois. Dea hanya ingin tahu sejauh mana Gama berjuang ketika Dea dihadapkan pada titik lelah menghadapi sikap keras kepalanya.

Dea tidak ingin uji coba, karena hubungan pernikahan tidak sebercanda itu. Namun ia hanya ingin bukti kesungguhan suaminya. Nyatanya dalam dilema yang mereka hadapi, hanya Dea yang berjuang memahami. Sementara Gama tetap mempertahankan egonya.

"Dokter Angkasa nanyain kabarmu, Dea. Kemarin Mbak ketemu pas makan malam sama keluarga Mbak. Kebetulan dia pulang dari rumah sakit dan mampir ke restoran untuk makan malam," kata Astrid yang tidak hanya membuat Dea kaget, tapi Gama juga.

Laki-laki itu memandang ke arah iparnya. Siapa dokter Angkasa? Dia baru mendengar nama itu. Dari mana Astrid dan Dea mengenalnya? Kalau kenalan lama, kenapa dia tidak tahu.

"Udah lama aku nggak ketemu, Mbak. Terakhir ketemu waktu aku jenguk teman yang opname."

"Dia kepo sama kamu. Minta nomer ponselmu sebenarnya. Cuman Mbak nggak berani ngasih. Mbak khawatir kamu udah punya pacar."

Dea tersenyum. Kemudian menggeser kue kering di toples ke hadapan Astrid. "Di makan, Mbak. Ini kuker bikinan mama sendiri."

"Tante masih sempat ya bikin kue. Padahal masih sibuk ngajar." Astrid mencomot satu kue kering di dalam toples dan mengunyahnya. Lantas mencondongkan tubuh lebih mepet ke Dea. "Kalau kamu belum punya pacar, dokter Angkasa bisa kamu pertimbangkan. Dia baik, Dea. Mbak kenal dia sudah lama. Semenjak gagal pertunangannya, dia belum pernah menjalin hubungan dengan gadis mana pun."

Meski Astrid bicara berbisik, Gama samar-samar bisa menangkap apa yang dikatakannya pada Deandra. Karena dia menajamkan pendengarannya.

Dokter Angkasa. Nama yang menyulut rasa penasaran dalam benaknya.

Jam sembilan malam Astrid mengajak Gama dan Anggun pamitan. Dea menyuruh Antika untuk memanggil kakek dan neneknya karena Astrid hendak pamit.

"Salam buat ibumu. Udah lama tante nggak ketemu, Trid," pesan Bu Wetty pada Astrid. Sedangkan Pak Dedi tidak keluar kamar.

"Ya Tante, nanti saya sampaikan."

"Kapan kamu kembali ke Jakarta?"

"Besok pagi, Tan."

"Ya sudah. Hati-hati."

Gama juga pamitan. Mencium punggung tangan mantan mertuanya. Menciumi pipi gembul Antika lalu memandang pada Dea. "Aku pulang dulu. Hari Rabu nanti ada acara di rumah Mbah Kakung. Aku akan menjemputmu dan Antik."

"Antik saja, Mas. Aku nggak usah."

"Mbah Putri nanyain kamu."

Dea hanya menanggapi hal itu dengan senyuman dan gelengan kepala.

Antika melambaikan tangan saat mobil papanya bergerak mundur di tengah hujan deras. Lantas keluar dari pintu pagar. Dea dan Antika masuk rumah, Mbak Sri mengambil remote control dan kembali menutup pintu pagar.

***L***

"Siapa dokter Angkasa, Mbak?" tanya Gama di tengah perjalanan. Tak sabar ingin tahu dengan nama asing itu.

"Dokter bedah jantung di Rumah Sakit Harapan Mulia. Kenapa?" Astrid menoleh ke arah adik iparnya.

"Dari mana Mbak dan Dea bisa kenal sama dia?"

Astrid tersenyum. "Kamu kepo juga. Tapi nggak penting untuk kamu ketahui. Kamu juga udah mau nikah sama Alita. Biarkan Dea juga mendapatkan pasangan baru." Sungut Astrid. Sebenarnya dia tidak menyukai Alita, sejak dikenalkan pertama kali kira-kira dua bulan yang lalu. Alita perempuan agresif menurut Astrid. Jauh berbeda dengan Deandra yang kalem dan smart.

***L***

Setelah peristiwa di hari meninggalnya sang manajer, hubungan Dea dan Alita renggang. Hal itu menimbulkan kasak kusuk di antara sesama rekan kerja. Namun mereka belum ada yang tahu apa penyebabnya.

Dea juga tidak berniat mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, saat salah seorang rekan bertanya kenapa dia dan Alita jarang jalan bersama lagi.

Bahkan makan siang di kantin juga saling berjauhan.

Hani yang tahu juga bungkam saat ada yang bertanya. Biar saja. Pada akhirnya mereka akan tahu dengan sendirinya. Tidak perlu mengompori, mereka akan menilai sendiri.

"Dea, apa kira-kira Gama sudah tahu kalau Alita dulu pernah ngejar-ngejar sepupunya?" tanya Hani saat mereka tengah istirahat di mushola usai makan siang dan salat zhuhur.

"Aku nggak tahu."

"Sepertinya Gama belum tahu. Kalau tahu mana mungkin dia mau. Kamu tahu sendiri kan, gimana mantan suamimu itu. Gengsilah kalau dia bersama dengan perempuan yang pernah menyukai orang yang ia benci. Saga saingan berat Gama, 'kan?"

Dea tersenyum samar. Sudahlah, apa yang terjadi, biarlah terjadi. Itu bukan urusannya lagi. Beberapa hari ini dia berusaha menyadarkan diri dan mengontrol emosi. Meski rasa sakit itu masih terasa, Dea berusaha untuk tidak memikirkannya. Sulit memang. Terlebih Alita adalah temannya yang sering mengajak belanja atau sekedar jalan-jalan sepulang kerja. Move on, Dea.

Hani nyaris tidak pernah ikut. Sebab lebih memilih pulang bertemu anak-anak daripada menghabiskan waktunya di luar.

"Dea, ponselmu bunyi, tuh!" Hani memandang benda pipih yang berpendar di karpet depan mereka.

* * *

Comments (4)
goodnovel comment avatar
for you
laki laki bodoh aja du cintai sampai seperti orang bodoh si dea ...
goodnovel comment avatar
Yanti Keke
tuh... mb astrid aj lgs engeh alita perempuan modelan apa....
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
apa mungkin jodohnya Dea tuh dokter Angkasa? btw knp Gama kyak cemburu y Dea dekat dengan pria lain.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status