Namun setelah Gama menikah dengan Alita, masih bisakah ia memperhatikan Antik seperti sekarang ini. Atau berubah lagi tidak peduli.
Ini sudah malam. Kenapa Gama nekat datang?Dea ikut bangun dan menghampiri Mbak Sri. "Temani Antik turun, Mbak. Saya mau istirahat. Kepala saya agak pusing.""Njih, Mbak Dea. Ayo, Mbak Antik.""Yeay, Mbak Sri lupa ya. Mesti memanggilku apa?"Mbak Sri terkekeh. Wanita bertubuh subur itu mencubit gemas pipi majikan kecilnya. "Ya, Nona Antik."Antika tersenyum lebar. Dia ingin dipanggil seperti princess di film kartun kesukaannya. Kemudian memandang ke arah sang mama. "Mama, nggak ikut?""Nggak, Sayang.""Tapi ada Mbak Astrid juga, Mbak," kata Mbak Sri baru ingat. Ah, dia jadi pelupa sekarang. "Mbak Astrid ingin bertemu Mbak Dea tadi."Dea diam sesaat. Enggan rasanya turun dan bertemu mereka untuk saat ini. Tapi sudah didatangi, masa iya tidak ditemui. Dea bergerak ke meja riasnya. Mengambil jepit rambut dan mengikat asal saja rambut panjangnya.Akhirnya menuruni tangga di belakang Mbak Sri dan Antika.Di ruang keluarga, tampak Gama, Astrid, dan anak perempuan berumur sepuluh tahun tengah duduk ditemani oleh Pak Dedi dan Bu Wetty."Mbak Anggun," teriak Antik pada gadis kecil yang tengah duduk di sebelah sang mama.Anggun berdiri dan memeluk Antika.Dea tersenyum dan membalas rangkulan Astrid. "Apa kabar, Dea?""Baik, Mbak.""Sebenarnya sejak tadi kamu di telepon Gama. Mau bilang kalau kami akan ke sini. Tapi ponselmu nggak aktif. Besok aku mau balik ke Jakarta. Makanya hujan pun nekat ke mari," ujar wanita yang memakai hijab abu-abu senada dengan gamisnya."Sepertinya ponselku kehabisan baterai, Mbak." Padahal Dea sengaja mematikan ponselnya."Kalian ngobrol saja. Kami tinggal ke dalam," pamit Pak Dedi sambil menggamit lengan istrinya."Monggo, Om." Astrid yang menjawab. Sedangkan Gama hanya menganggukkan kepala.Antika mengambil keranjang mainannya. Mengajak Anggun bermain bersama. Dua anak yang sebenarnya jarang sekali bertemu, tapi mereka sangat dekat jika ada kesempatan bersua.Gama hanya diam memperhatikan empat perempuan yang asyik dengan dunia mereka. Anak-anak dengan mainannya, sedangkan Astrid dan Dea bertukar cerita. Sesekali tawa berderai mengiringi sesuatu yang mereka bicarakan.Dulu mereka adalah ipar yang akrab. Mamanya Dea teman baik ibunya Astrid. Dea sudah dianggap seperti adik sendiri oleh Astrid. Waktu Gama dan Dea hendak bercerai, Astrid yang mati-matian mencegah. Namun sejauh mana ia berusaha, jika Gama diam di tempat, dia bisa apa. Gama terlalu egois. Dea hanya ingin tahu sejauh mana Gama berjuang ketika Dea dihadapkan pada titik lelah menghadapi sikap keras kepalanya.Dea tidak ingin uji coba, karena hubungan pernikahan tidak sebercanda itu. Namun ia hanya ingin bukti kesungguhan suaminya. Nyatanya dalam dilema yang mereka hadapi, hanya Dea yang berjuang memahami. Sementara Gama tetap mempertahankan egonya."Dokter Angkasa nanyain kabarmu, Dea. Kemarin Mbak ketemu pas makan malam sama keluarga Mbak. Kebetulan dia pulang dari rumah sakit dan mampir ke restoran untuk makan malam," kata Astrid yang tidak hanya membuat Dea kaget, tapi Gama juga.Laki-laki itu memandang ke arah iparnya. Siapa dokter Angkasa? Dia baru mendengar nama itu. Dari mana Astrid dan Dea mengenalnya? Kalau kenalan lama, kenapa dia tidak tahu."Udah lama aku nggak ketemu, Mbak. Terakhir ketemu waktu aku jenguk teman yang opname.""Dia kepo sama kamu. Minta nomer ponselmu sebenarnya. Cuman Mbak nggak berani ngasih. Mbak khawatir kamu udah punya pacar."Dea tersenyum. Kemudian menggeser kue kering di toples ke hadapan Astrid. "Di makan, Mbak. Ini kuker bikinan mama sendiri.""Tante masih sempat ya bikin kue. Padahal masih sibuk ngajar." Astrid mencomot satu kue kering di dalam toples dan mengunyahnya. Lantas mencondongkan tubuh lebih mepet ke Dea. "Kalau kamu belum punya pacar, dokter Angkasa bisa kamu pertimbangkan. Dia baik, Dea. Mbak kenal dia sudah lama. Semenjak gagal pertunangannya, dia belum pernah menjalin hubungan dengan gadis mana pun."Meski Astrid bicara berbisik, Gama samar-samar bisa menangkap apa yang dikatakannya pada Deandra. Karena dia menajamkan pendengarannya.Dokter Angkasa. Nama yang menyulut rasa penasaran dalam benaknya.Jam sembilan malam Astrid mengajak Gama dan Anggun pamitan. Dea menyuruh Antika untuk memanggil kakek dan neneknya karena Astrid hendak pamit."Salam buat ibumu. Udah lama tante nggak ketemu, Trid," pesan Bu Wetty pada Astrid. Sedangkan Pak Dedi tidak keluar kamar."Ya Tante, nanti saya sampaikan.""Kapan kamu kembali ke Jakarta?""Besok pagi, Tan.""Ya sudah. Hati-hati."Gama juga pamitan. Mencium punggung tangan mantan mertuanya. Menciumi pipi gembul Antika lalu memandang pada Dea. "Aku pulang dulu. Hari Rabu nanti ada acara di rumah Mbah Kakung. Aku akan menjemputmu dan Antik.""Antik saja, Mas. Aku nggak usah.""Mbah Putri nanyain kamu."Dea hanya menanggapi hal itu dengan senyuman dan gelengan kepala.Antika melambaikan tangan saat mobil papanya bergerak mundur di tengah hujan deras. Lantas keluar dari pintu pagar. Dea dan Antika masuk rumah, Mbak Sri mengambil remote control dan kembali menutup pintu pagar.***L***"Siapa dokter Angkasa, Mbak?" tanya Gama di tengah perjalanan. Tak sabar ingin tahu dengan nama asing itu."Dokter bedah jantung di Rumah Sakit Harapan Mulia. Kenapa?" Astrid menoleh ke arah adik iparnya."Dari mana Mbak dan Dea bisa kenal sama dia?"Astrid tersenyum. "Kamu kepo juga. Tapi nggak penting untuk kamu ketahui. Kamu juga udah mau nikah sama Alita. Biarkan Dea juga mendapatkan pasangan baru." Sungut Astrid. Sebenarnya dia tidak menyukai Alita, sejak dikenalkan pertama kali kira-kira dua bulan yang lalu. Alita perempuan agresif menurut Astrid. Jauh berbeda dengan Deandra yang kalem dan smart.***L***Setelah peristiwa di hari meninggalnya sang manajer, hubungan Dea dan Alita renggang. Hal itu menimbulkan kasak kusuk di antara sesama rekan kerja. Namun mereka belum ada yang tahu apa penyebabnya.Dea juga tidak berniat mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, saat salah seorang rekan bertanya kenapa dia dan Alita jarang jalan bersama lagi.Bahkan makan siang di kantin juga saling berjauhan.Hani yang tahu juga bungkam saat ada yang bertanya. Biar saja. Pada akhirnya mereka akan tahu dengan sendirinya. Tidak perlu mengompori, mereka akan menilai sendiri."Dea, apa kira-kira Gama sudah tahu kalau Alita dulu pernah ngejar-ngejar sepupunya?" tanya Hani saat mereka tengah istirahat di mushola usai makan siang dan salat zhuhur."Aku nggak tahu.""Sepertinya Gama belum tahu. Kalau tahu mana mungkin dia mau. Kamu tahu sendiri kan, gimana mantan suamimu itu. Gengsilah kalau dia bersama dengan perempuan yang pernah menyukai orang yang ia benci. Saga saingan berat Gama, 'kan?"Dea tersenyum samar. Sudahlah, apa yang terjadi, biarlah terjadi. Itu bukan urusannya lagi. Beberapa hari ini dia berusaha menyadarkan diri dan mengontrol emosi. Meski rasa sakit itu masih terasa, Dea berusaha untuk tidak memikirkannya. Sulit memang. Terlebih Alita adalah temannya yang sering mengajak belanja atau sekedar jalan-jalan sepulang kerja. Move on, Dea.Hani nyaris tidak pernah ikut. Sebab lebih memilih pulang bertemu anak-anak daripada menghabiskan waktunya di luar."Dea, ponselmu bunyi, tuh!" Hani memandang benda pipih yang berpendar di karpet depan mereka.* * *MASIH TENTANGMU - Cemburu Dea meraih ponsel yang tergeletak tidak jauh di hadapannya. Bukan panggilan masuk, tapi sebuah pesan dari mamanya.[Dea, nanti sepulang kerja kamu mampir ke rumah sakit. Sita mau melahirkan. Sekarang baru bukaan lima, tapi tadi mama dikabari oleh budhemu kalau akan dilakukan tindakan SC.]Sita ini sepupunya Dea. Anak dari satu-satunya kakak perempuan sang mama. Dea segera mengetik pesan balasan. [Oke, Ma.]"Ada apa?" tanya Hani."Sepupuku mau lahiran. Mama memintaku mampir ke rumah sakit sepulang kerja nanti."Setelah Dea selesai membalas pesan, Hani mengajak sahabatnya itu kembali ke kantor. Di lobi mereka berpapasan dengan Alita yang hendak masuk ruangan juga. Sengaja Dea memperlambat jalan supaya Alita lebih dulu melangkah. Beberapa rekan heran melihat kerenggangan mereka. Namun sudah ada beberapa orang yang tahu duduk permasalahan. Namun mereka hanya berbisik sesama rekan, tidak ada yang menanyakan langsung pada Dea atau pun pada Hani. Yang tampak ken
"Mas, mau makan apa?" tanya Alita sambil memandang Gama yang duduk dan fokus pada ponselnya semenjak mereka datang tadi.Malam itu mereka makan malam di Restoran Wijaya Kusuma milik Bu Ariana. Mengambil tempat duduk paling tepi, agar bisa leluasa untuk ngobrol.Alita yang punya ide makan di sana biar sekalian bisa bertemu dan bicara dengan ibu kedua bagi Gama. Melihat Gama yang banyak berubah akhir-akhir ini membuat Alita khawatir. Tentunya ia tidak ingin malu jika gagal lagi. Apalagi Gama termasuk pria paket komplit. Kaya dan keturunan bangsawan.Saga dan Melati juga sudah tahu kalau ia bertunangan dengan Gama. Kalau gagal, mau ditaruh mana mukanya.Sejauh ini Gama juga belum tahu tentang masa lalunya. Jika pada akhirnya terbongkar, tak masalah. Yang penting mereka telah menikah."Mas," panggil Alita lagi karena Gama masih diam."Aku pesan nasi goreng saja," jawab Gama tanpa mengalihkan perhatian pada benda pipih di tangannya.Alita yang kesal langsung berdiri dan melangkah ke belaka
MASIH TENTANGMU - Keresahan Gama "Makan dulu, Mas." Alita meletakkan nampan di hadapan Gama.Ada dua porsi nasi goreng dan dua gelas es teh manis. Karena lapar, Gama langsung melahapnya hingga tandas. "Minggu ini, papaku minta kita ke Surabaya, Mas.""Aku belum bisa kalau Minggu ini, aku masih ada urusan ke Jakarta.""Terus kapan?""Nanti kukasih tahu."Alita melanjutkan makan tanpa berselera. Sikap dingin Gama makin terasa. Memang awalnya dia hanya ingin mendapatkan Gama karena gagal dengan Saga. Namun jika kali ini gagal, musibah juga baginya. Apalagi keluarga besarnya sudah tahu kalau ia akan menikah dengan pria kaya keturunan ningrat. Teman-teman di grup alumni juga sudah pada tahu. Alita sendiri yang mengabari mereka kalau sudah bertunangan.Jujur saja, Gama juga bukan lelaki yang buruk. Meski sikap dinginnya tidak ketulungan. Namun di waktu tertentu, enak juga diajak bercanda dan bicara. Cukup menyenangkan. Dan momen seperti itu sungguh spesial dan ia rindukan. Momen langka b
Setelah pertengkaran malam itu, sebulan kemudian Dea dan Antika pulang. Hubungan jarak jauh yang dingin. Hingga suatu hari, Dea memutuskan untuk bercerai.Gama yang egois tidak mau merendahkan diri dan memohon agar Dea mau bertahan dengannya. Dea masih berharap kalau Gama akan berjuang untuk rumah tangga mereka, nyatanya Gama diam dengan sikap keras kepalanya.Dea yang masih cinta, lebih mempertahankan harga diri daripada merayu pada lelaki yang tak lagi peduli. Mengorbankan perasaan meski sangat tersiksa.Hubungan mereka berjarak. Gama yang kecewa enggan membangun komunikasi, selain tetap memenuhi tanggungjawab memberikan nafkah pada putrinya.Pada akhirnya Gama yang stres dan kalut, memutuskan pulang ke Indonesia. Bertemu pula dengan Saga yang membuatnya tambah cemburu karena perhatian beberapa orang terdekatnya beralih pada putra buleknya itu.Ancamannya yang ingin menggoda Melati hanya ancaman belaka. Mana pernah dia mendekati perempuan kecintaan Saga itu. Selain usil dengan membu
MASIH TENTANGMU- Hati Lelaki Mobil berhenti di depan pagar sekolahan Antika. Di sana juga sudah berjajar beberapa kendaraan yang mengantarkan anak-anak ke sekolah. Momen di pagi hari yang menyejukkan mata. Di sebuah Sekolah Dasar favorit tempat Antika belajar."Sayang, kita sudah sampai," ujar Gama sambil tersenyum. Namun Antika cemberut. Sama sekali tidak mau memandang sang papa. Wajahnya muram sambil menarik handle hendak membuka pintu mobil."Sebentar papa yang bukain, nanti Antik jatuh." Gama lekas turun dari mobil. Tapi Antika sudah berhasil turun sendiri meski dengan susah payah. Kemudian menyeret tasnya meninggalkan sang papa. "Sayang, nggak salim sama papa dulu." Gama melangkah lebar untuk mengejar gadis kecilnya yang tengah 'ngambek'.Antika menoleh sebentar untuk menunjukkan muka cemberutnya. Gama tersenyum lantas menghampiri. Mengulurkan tangan menunggu untuk disambut putrinya.Cukup lama tangannya tertahan di udara, tanpa memandang sang papa, Antika mencium tangan lanta
Deandra memang berasal dari keluarga pengajar. Kedua orang tuanya dosen, kakak lelaki satu-satunya juga dosen. Kakak iparnya juga dosen. Hanya Dea yang berbeda arah, karena sejak awal memang sudah menyukai Gama yang kuliah mengambilkan jurusan ekonomi. Akhirnya dia pun ikut mengambil jurusan yang sama dan berkarir seperti Gama.Mengenal sejak sama-sama masih remaja, tidak menjamin hubungan bisa berkekalan. Jatuh cinta pertama kali pada Gama, yang menjadi ketua OSIS di sekolahnya kala itu. Digilai para siswi mulai dari adik kelas hingga teman seangkatannya. Karena sikap cool-nya yang membuat penasaran. Laki-laki yang sering terlibat balapan liar dan selalu jadi pemenang, saat kuliah rambutnya dibiarkan panjang dengan model under cut. Gadis mana yang tidak kepincut. Hingga suatu hari ia di datangi saat melihat pertandingan basket di gelora olahraga."De, udah makan?""Belum.""Ikut aku makan bakso. Kutraktir nanti.""Sama Hani, ya?""Oke."Gama memilih kedai bakso depan GOR. Santai dud
MASIH TENTANGMU- Pertemuan Gama masih gelisah di ruangannya. Menatap gerimis dari balik kaca jendela. Hari sudah beranjak senja. Suasana temaram dan di luar sana lampu jalanan sudah menyala.Rasa yang menggelegak dalam dada membuat tubuh tegapnya terasa gemetar dan tak bertenaga. Foto Deandra dan dokter Angkasa yang dikirim Alita sangat mengusiknya. Pesan yang dikirim pada Dea juga belum di balas. Ia bertanya tentang Antika. Ingin menelepon dan mengajak anaknya bicara, supaya ia juga bisa bicara dengan Dea. Pasti dia sudah pulang kerja.Gegas diraihnya ponsel di atas meja yang berpendar. Bukan dari Dea, tapi dari Alita.[Sudah pulang, Mas?] Ini pesan kesekian yang dikirim oleh tunangannya.[Masih di kantor.]Gama kembali meletakkan ponselnya. Dalam hitungan detik, ponsel kembali berpendar, tapi ia abaikan. Laki-laki itu duduk lantas menyesap kopinya yang sudah dingin. Dilihatnya jam tangan. Sudah pukul lima sore. Kantor sudah sepi. Hanya ada dirinya dan seorang satpam yang berjaga d
Dea memandang laki-laki berpostur tinggi di hadapannya. Kemudian kembali memandang Antika yang masih memondong kuda poni kesayangannya. Ke mana pun pergi, benda itu tidak boleh tertinggal. Sudah terlihat kumal dan buruk rupa, tapi tetap tidak mau diganti dengan yang baru. Meski ada yang lain, tapi ke mana-mana kuda poni itu yang dibawanya."Ini lagi hujan. Mau lihat apa di sana kalau hujan begini.""Pokoknya mau ke sana. Antik mau beli es krim sama mainan.""Nggak harus ke sana sekarang. Mama bisa nganterin Antik besok atau lusa, pas nggak hujan.""Papa ngajak sekarang," jawab gadis kecil itu sambil menoleh ke arah Gama."Ya sudah, Antik pergi berdua dengan papa saja, ya?"Antika menggeleng. "Nggak mau. Mama, juga harus ikut."Lihatlah, keras kepalanya Gama diturunkan pada anaknya. Semoga Gama bisa bercermin, bagaimana sifatnya ada pada putri kecil mereka."Ayo, Ma!" rengek Antika kemudian berlari ke ruang tamu. Kalau sudah seperti itu, tidak bisa diganggu gugat lagi keinginannya. Apa