Share

Part 6 Move On, Dea 1

MASIH TENTANGMU

- Move On, Dea

"Antik sudah pulang apa belum?" tanya Gama memandang ke arah Dea.

"Aku belum tahu. Sejak pagi aku takziah. Mungkin malam nanti, Antik baru di antar oleh Mas Rizal. Maaf, Mas. Aku pulang dulu."

"Tunggu!" tahan Gama saat Dea hendak melangkah.

"Bisa kita bicara sebentar."

Apa yang hendak dibicarakan oleh Gama? Apa akan memberitahu tentang hubungannya dengan Alita? Degup jantung Dea terasa nyeri.

"Bicara apa?"

"Aku dan Alita ...."

"Aku sudah tahu," sahut Dea cepat sambil bersitatap dengan Gama. Lantas lebih dulu mengalihkan perhatian pada tempat lain.

"Apa yang kamu tahu?"

"Kalian sudah bertunangan dan akan menikah." Oh, rasanya sangat sakit mengatakannya.

Hening. Yang terdengar hanya gemerisik dedaunan yang bergesekan karena tertiup angin.

Sebenarnya Gama tidak ingin membicarakan hal itu. Tapi Dea pasti melihat mobilnya yang dipakai oleh Alita tadi.

Gama menghela nafas panjang sambil memandang nisan kecil, di mana anak pertamanya telah tenang di sana. Tempat yang rajin ia sambangi. Walaupun ia sempat mengabaikan Antika beberapa waktu setelah pulang dari Amerika. Namun tak pernah absen untuk datang pada putranya. Kepergiannya waktu itu menimbulkan luka parah dalam jiwanya. Aryandra.

Keduanya masih saling diam hingga gerimis turun. Gama menatap wajah sendu Deandra. Apa yang dia sembunyikan? Apa karena dia sudah tahu hubungannya dengan Alita, makanya mulai menghindar darinya. Kenapa? Apa Dea masih menyimpan rasa untuknya?

"Aku pulang dulu, Mas. Semoga kamu bahagia dalam pernikahanmu dengan Alita." Dea tersenyum meski kalimatnya terdengar kaku. Ia melangkah pergi meninggalkan Gama yang masih berdiri di tempatnya.

Sambil melangkah, Dea merasa lega. Dia tidak menunjukkan sikap kampungan di hadapan Gama. Meski hatinya seperti gerimis yang turun sore itu. Sedikit pun ia juga tidak menoleh lagi ke belakang. Semua harus berakhir detik ini. Gama sudah mengakui dan apa yang harus ia harapkan lagi.

Dea meraih tisu untuk mengelap air mata. Isaknya tak terbendung. Namun buru-buru ia menyalakan mesin mobil dan harus pergi dari sana sebelum Gama ke luar.

Gerimis telah menjadi hujan deras ketika Dea meninggalkan pemakaman. Meninggalkan insan masa lalunya yang tengah kehujanan di belakang sana.

"Mama," sambut Antika yang berdiri di ambang pintu, saat Dea keluar dari garasi.

"Hai, Sayang. Anak mama sudah pulang." Didekapnya gadis kecil itu beberapa saat. Lantas bersama-sama masuk ke dalam rumah.

Sang mama muncul dari dalam sambil membawakan sosis solo di piring. "Kok baru pulang? Apa baru selesai pemakaman?" tanya Bu Wetty sambil meletakkan piring di meja ruang keluarga.

"Ya, Ma. Tadi aku juga pergi ke makam Arya." Dea duduk di sofa dan melepaskan kacamatanya. Sedangkan Antika duduk menonton kartun di karpet depan televisi.

Bu Wetty melihat sembabnya mata sang anak, tapi ia mengira Dea menangis karena habis takziah. Dea pernah cerita kalau bosnya ini sangat baik. Mungkin juga menangis karena ingat putranya. Wanita itu tidak tahu, Dea menangis karena hal lain.

"Jam berapa Antik di antar Mas Rizal, Ma?"

"Udah jam dua tadi. Pulang langsung tidur. Antik baru bangun itu. Terus mama suruh mandi. Kamu juga buruan mandi sana. Waktu salat asar keburu habis nanti."

Dea langsung bangkit dari duduknya. Naik ke kamarnya di lantai dua. Hari ini puncak dari rasa duka laranya. Sebab meski tidak secara blak-blakan, Gama sudah memberitahunya. Besok pagi saat ia membuka mata, harus dengan suasana baru. Walaupun pasti akan bertambah sulit.

Bagaimana tidak, ia akan berhadapan dengan Alita setiap hari di kantor. Hubungan pertemanan mereka pasti akan berubah drastis.

Hubungannya dengan Alita tentu saja tidak akan seperti sebelumnya. Pasti akan ada jarak yang kentara di antara mereka. Dan hal itu akan menimbulkan kecurigaan teman-teman kerja. Sebab mereka memang dekat sebelum ini.

Kali ini Dea tidak menangis di kamar mandi. Tapi terisak-isak di atas sajadahnya. Ia tumpahkan segala luka sore ini. Semuanya dan harus selesai saat itu juga. Mengharapkan Sang Maha Pencipta mencabut segala perasaannya untuk Gama. Memohon kekuatan agar bisa melewati semuanya dengan kelapangan dada.

Ia akan mampu melewati fase ini. Membiarkan segalanya berjalan seperti biasa, mengalir begitu saja. Tak perlu lagi ia banyak bicara, banyak kata untuk membahas tentang Gama dan Alita. Ia harus menjadi ibu yang bahagia untuk putrinya. Memang butuh waktu untuk bisa berproses seperti itu.

Dea bangkit dari atas sajadah. Melepaskan mukena dan melipat seperti biasanya. Kemudian berdiri di samping jendela kamar, menyaksikan hujan yang tumpah di luar sana.

Jika belum sampai rumah, mungkin Gama basah kuyup di sana. Sebab pergi dengan motor sport yang tadi dilihatnya. Kalau ia tahu itu motor Gama, tentu Dea tidak akan nekat masuk dan bertemu di makam anak mereka. Bukankah cara agar tidak terluka adalah menghindari sumbernya. Sumber yang menyebabkan kecewa.

Diraihnya ponsel kemudian menekan tombol power. Ia tidak akan menerima telepon dari siapapun malam ini.

***L***

Dea baru saja merebahkan diri di atas pembaringan dan ingin membacakan buku cerita untuk Antika. Tapi pintu kamar diketuk dan terdengar suara Mbak Sri di luar. "Mbak Dea."

"Ya, Mbak Sri. Ada apa?"

"Ada Mas Gama."

Degup jantung yang sudah mulai tenang, kini kembali bergemuruh. Sebenarnya dia ingin mengajak putrinya tidur lebih awal.

"Papa, Ma." Antika lebih dulu bangun dan turun dari ranjang dan segera membuka pintu. Gadis kecil itu sangat bersemangat tiap kali papanya datang.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
klu masih suka perjuangkan. memangnya si gama itu cenayang, apalagi dulu kamu yg minta cerai
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
nyesek bacanya...yang kuat y Dea.
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Gama benerannudah ga ada perasaan apa² sama Dea kayaknya... makanya ayo move on Dea
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status