LOGINSetelah beberapa saat mereka menikmati cemilannya, Dr. Evan pun kembali bersiap untuk berbicara.
"Oke, sekarang kita ke mode personal ya, Ri," ucapnya. "Tapi sebelumnya, saya ingin kamu manggil saya dengan sebutan Papa, bukan Dokter seperti yang tadi kamu lakukan."Riri mendelik. "Eh, kenapa gitu, Dok? Eh, Pa?" tanya Riri.Yuzha dan Setya kompak terkekeh, sementara Riri langsung memelototi kedua lelaki yang itu."Diem kalian berdua," ucap Dr. Evan tegas yang langsung membuat kedua anaknya diam tak berkutik."Ini berlaku mulai saat ini dan seterusnya ya, Ri. Selain di rumah sakit, kamu harus manggil saya Papa, paham?" tanya Dr. Evan kembali."Paham, Pa. Lalu, apa sebenernya yang ingin Papa ungkapin?" tanya Riri kembali.Dr. Evan terdiam sebentar, membenarkan posisi duduknya agar terlihat lebih santai dan juga berwibawa."Kamu itu adalah waTak lama, pintu ruangan Putri pun kembali terbuka. Aroma harum dari Soto Betawi nampak menguar dari sana, bersamaan dengan Yuzha yang masuk ke dalam. Tangan Yuzha penuh dengan beberapa kantung plastik yang ia genggam. "Put," panggil Yuzha lembut seraya menaruh tentengannya di atas nakas. "Mas abis dari mana? Katanya cuma nengokin Garda, kenapa pulang-pulang bawa banyak tentengan?" tanya Putri sambil tersenyum samar. Yuzha tak langsung menjawab. Ia segera duduk di sisi ranjang Putri, menatap wanita itu dengan penuh kerinduan. Ia mengangkat tangannya perlahan, lalu menghapus sisa air mata di pipi wanitanya. "Kamu punya masalah, Put?" tanya Yuzha. Putri tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan bohong, Put. Saya tahu kamu lagi nggak baik-baik saja. Ada apa sebenernya?" tanya Yuzha kembali. Hening untuk beberapa saat. Putri menatap wajah Yuzha lekat-lekat, sebelum akhirnya kembali bersuara. "Sebenernya, aku sama A Ilham ...,"***"Kok bisa, Put? Kenapa?" Yuzha te
Sementara itu, tak lama setelah Yuzha pergi, Putri bergegas mengambil ponselnya.Cukup lama tangannya tertahan di kontak dengan nama "Bapak" itu. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menetralkan degub jantungnya yang berdebar cepat.Setelah beberapa saat, barulah ia menekan tombol panggil di sana. Panggilan pun tersambung, namun sayangnya tak ada jawaban Putri kembali mencoba menghubungi sang bapak sampai tiga kali berturut-turut. Namun sayangnya, responnya tetap sama. Tak ada jawaban sama sekali.Putri mendesah pelan, lalu mengalihkan perhatiannya pada nomer sang ibu. Dengan sedikit ragu, akhirnya ia menghubungi wanita yang telah melahirkannya 28 tahun silam.Panggilan pertama dan kedua sama seperti sang bapak. Tak diangkat padahal terlihat online. Putri sedikit ragu untuk melakukan panggilan ke tiga. Namun, keinginan untuk memberitahu keluarganya bahwa ia telah melahirkan cukup kuat. Hingga akhirnya, ia pun kembali menghubun
"Mas nggak makan kah?" tanya Putri sambil menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya. "Belum," jawab Yuzha cepat. "Aku belum mau makan, masih pingin maen sama Garda." Putri menggeleng pelan lalu tersenyum tipis. "Keknya ada yang pingin banget punya anak lagi, yah. Kenapa nggak nikah lagi aja?" tanya Putri sedikit menggoda. Yuzha terdiam sebentar lalu melirik ke arah Putri dan tersenyum masam. "Kinan masih nunggu Tante Uti katanya. Udah di ulti duluan sama dia. Pokoknya papa nggak boleh nikah, selain sama mama pilihan Kinan. Kalau dia udah ngasih perintah gitu, siapa yang berani ngelarang. Aku cuma papanya." Putri terkekeh pelan. "The real mama pilihan anak gadis ya, Mas," ledek Putri kemudian. Yuzha hanya mengangguk, lalu segera menimang-nimang tubuh Garda. Tak lama, akhirnya
Tak lama, seorang perawat kembali menghampiri mereka berlima yang berada di sana. "Dokter Yuzha, maaf. Bayinya sudah selesai belum yah? Mau saya bawa, dan kasih bedongan dulu, sekalian nanti mau di cek sama Dr. Endang," ucap salah satu bidan yang berada di sana. "Oh, udah, Mbak," ucap Yuzha seraya mengambil Garda dari gendongan Putri. "Ini ya, Mbak. Makasih ya, bantuannya." Sang bidan pun hanya mengangguk, lalu segera membawa Garda pergi dari hadapan mereka. Begitu Garda pergi, Cantika kembali mengucapkan selamat setelah itu ia pun bergegas pamit ke ruang operasi. Karena masih ada dua orang pasien yang akan ia tangani proses operasi caesarnya. Sementara Setya, setelah berdiam diri selama beberapa menit, barulah ia pamit karena takut Riri sedikit kerepotan mengurus 'tiga orang bayi' sekaligus. Tak hanya Cantika dan Setya yang pamit pergi. Namun juga Revan, yang ikut
Putri meraih lengan Yuzha sambil menggeleng pelan. Ia berusaha menahan lelaki itu agar tetap di sisinya. "Mas, aku takut. Jangan kemana-mana.""Jangan takut. Mas nggak akan kemana-mana, Mas bantuin kamu lahiran di sini," ucap Yuzha.Dua orang perawat perempuan pun telah bersiap untuk membantu Yuzha. Namun, tak lama pintu triase kembali terbuka menampilkan sosok Cantika dengan napas yang terengah."Mas, biar Can yang nanganin. Mas disamping temenin dia," ucapnya cepat seraya menggelung rambutnya agar lebih rapih dan memakai sarung tangannya.Yuzha menoleh sekilas lalu mengangguk pelan. Ia pun segera melepas sarung tangannya dan berdiri di sisi Putri.Ia kembali menggenggam lengan Putri dengan erat, sementara sebelah tangannya membelai lembut rambut wanitanya."Put, kuat, ya. Ada Mas di sini. Kalau sakit, pegang aja tangan Mas yang kenceng. Mau dicakar juga nggak apa-apa," ucap
Yuzha melangkah dengan cepat menuju samping ranjang Putri. Wanita itu masih bisa tersenyum saat melihatnya, meskipun saat wajahnya sudah sangat pucat."Mas, akhirnya ketemu kamu lagi," lirihnya pelan nyaris berbisik.Yuzha hanya mengangguk samar, lalu segera memakai stetoskopnya dan mulai menjalankan tugasnya sebagai dokter.Ia harus tetap mempertahankan profesionalisme-nya meskipun yang kini ada didepannya adalah wanita yang begitu ia cintai."Denyut nadi normal, dengan kontraksi yang begitu kencang. Pasang NST segera!" perintah Yuzha kepada salah satu perawat yang berada di sampingnya."Baik, Dok," ucap perawat itu seraya menyerahkan buku pink kepada Yuzha. "Ini rekam medis tentang kehamilannya, Dok. Bidan yang merujuk juga masih ada di depan."Yuzha mengangguk lalu segera melihat buku pink tersebut. Hatinya sedikit mencelos saat melihat rekam medisnya. Dua kali induksi ber







