Setya tiba di rumah sakit tepat pukul 11.30 WIB. Begitu tiba di ruangannya, setumpuk berkas sudah tersusun rapi di meja kerjanya.
Ia menghembuskan napas kasar lalu segera duduk di kursi kebesarannya."Apa gunanya Mas Yuzha sebagai asisten direktur kalau berkas segini banyak masih harus gua yang ngecek?" tanya Setya sedikit menggerutu. "Heran, mau gaji gede doang, tapi kerjaan kek gini tetep limpahin ke gua. Nggak guna."Sambil mengecek beberapa berkas yang ada, mulutnya masih saja terus menggerutu panjang kali lebar. Mengumpat pekerjaan Yuzha yang sama sekali tak bisa diandalkan.Saat ia tenggelam dalam tumpukan pekerjaan itu, tiba-tiba pintu ruangannya diketuk oleh seseorang dari luar."Masuk," ucap Setya.Pintu ruangan terbuka. Adnan --HRD-- berdiri tegap di ambang pintu sambil membawa sebuah berkas di tangannya."Duduk," titah Setya datar.Saat tengah tenggelam dalam pikirannya yang kalut, pintu ruangan kembali diketuk oleh seseorang."Permisi, Pak, saya mau nganter makan siang," ucap Uloh salah satu OB yang bekerja di sana."Makan siang? Perasaan saya nggak mesen makan siang deh," ucap Setya heran."Bukan Mas Setya yang pesen. Tapi Mbak Riri yang pesen. Katanya suruh anter ke ruangan Mas Setya. Jadi, mau ditaruh di mana, Mas?" tanya Uloh kembali."Sini aja. Makasih ya," ucapnya dan mendapat anggukan dari Uloh.Setya tersenyum hangat mendapat perlakuan seperti itu dari wanitanya. Padahal, mereka saat ini sedang berjauhan namun tetap saja perhatian.Setya pun membuka laptopnya kembali lalu melakukan video call dengan sang istri. Rasanya, ia sedikit rindu dengan istri dan anaknya itu.["Hallo Ayah,"] suara riang Juna terdengar nyaring dari sebrang sana"Hallo juga, Kesay
Setya tiba di rumah sakit tepat pukul 11.30 WIB. Begitu tiba di ruangannya, setumpuk berkas sudah tersusun rapi di meja kerjanya.Ia menghembuskan napas kasar lalu segera duduk di kursi kebesarannya."Apa gunanya Mas Yuzha sebagai asisten direktur kalau berkas segini banyak masih harus gua yang ngecek?" tanya Setya sedikit menggerutu. "Heran, mau gaji gede doang, tapi kerjaan kek gini tetep limpahin ke gua. Nggak guna."Sambil mengecek beberapa berkas yang ada, mulutnya masih saja terus menggerutu panjang kali lebar. Mengumpat pekerjaan Yuzha yang sama sekali tak bisa diandalkan.Saat ia tenggelam dalam tumpukan pekerjaan itu, tiba-tiba pintu ruangannya diketuk oleh seseorang dari luar."Masuk," ucap Setya.Pintu ruangan terbuka. Adnan --HRD-- berdiri tegap di ambang pintu sambil membawa sebuah berkas di tangannya."Duduk," titah Setya datar.
Setya menunduk diam. Tak disangka, hati perempuan itu ternyata menyimpan begitu dalam perasaannya. Dan sekarang, ia menjadi orang yang beruntung bisa menggenggamnya."Tapi sekarang, Mas udah resmi jadi suami Mbak mu kan? Sekalipun masih secara agama, doakan aja, agar dua atau tiga bulan lagi bisa beneran resmi secara negara juga," ucap Setya sambil tersenyum.Bagas mengangguk mantap. "Pokoknya, aku titip Mbak sama Juna ya, Mas. Kalau Mas berani nyakitin mereka ... ku bawa Mas ke lapangan tembak! Inget, aku ini TNI dan Angga adalah Polisi."Setya tertawa pelan mendengar ucapan itu."Haish, udah di ulti duluan sama dua aparat negara. Serem euy haha," tawanya kemudian.Bagas pun ikut tertawa mendengar itu. Namun tawa mereka berdua terhenti saat Riri masuk ke dalam rumah."Heh, kalian berdua lagi ngomongin apa?! Pasti ngomongin Mbak ya?" tuduh Riri sambil menunjuk ke arah du
Pagi itu, suasana di rumah Bude Siti sedikit hening. Di ruang tamu yang sederhana, selembar karpet dibentangkan. Sebuah meja kecil berada tepat tengah-tengahnya. Riri duduk bersimpuh mengenakan kebaya berwarna abu-abu muda dengan rambut yang di sanggul kecil di bagian belakangnya. Tak ada riasan yang berlebihan, hanya senyum gugup dan sesekali mencuri pandang ke arah Setya yang berada tepat di sampingnya. Setya sendiri nampak rapih dengan celana hitam panjang dan baju batik milik Bagas yang senada dengan kebaya yang digunakan Riri saat itu. Kedua baju itu merupakan seragam bresmaid di acara nikahan Ika dan Reyhan dua tahun lalu. Ia duduk di sebelah Riri. Wajahnya nampak tenang, meski kedua tangannya sedikit basah oleh keringat. Diseberang mereka, yang hanya terhalang sebuah meja kecil, Pak Ustadz dan Bagas sudah bersiap. Sementara di sisi kanan kiri terdapat Pak RT dan juga Dr. Revan sebagai saksi dari kedua
Pagi mulai menyapa. Sejak subuh tadi Riri sudah sibuk di dapur. Aroma harum nasi liwet dari mejikom nampak menguar di rumah kecil itu.Tangannya sibuk mengulek sambel teri pete favorit Angga, sambil sesekali membalikkan ayam goreng di atas wajan.Ia mengenakan kaos santai kebesaran dan juga celana pendek yang hampir tertutup kaosnya itu. Rambutnya yang setengah basah, ia jepit asal dengan jedai membuatnya terlihat sedikit menggoda.Saat tengah sibuk dengan semua itu, sebuah tangan melingkar tepat di pinggangnya yang ramping."Selama pagi cintanya aku. Pagi-pagi udah sibuk aja," bisik Setya manja. Suaranya sedikit serak khas bangun tidur.Ia menciumi leher jenjang wanitanya yang menggoda itu."Mas, aku lagi masak ihh. Jangan godain!" seru Riri yang merasa geli akan tingkah lelakinya.Setya hanya terkekeh, lalu mematikan kompor yang ada di depan Riri. Tak han
"Jika aku mencintai ibunya, maka aku pun harus bisa mencintai anaknya. Dan aku, aku udah jatuh cinta sama Juna sejak pertama kali nolongin dia," jelasnya. Riri mendongakkan kepalanya. Matanya berbinar bahagia. "Terimakasih, Mas ...." Setya hanya mengangguk. Mereka pun saling menatap setelah itu, saling tenggelam dalam sorot mata masing-masing. Lalu Setya mencium dahi Riri. Lama. Lembut. Penuh janji yang tak terucap. "Ah iya, Dek,.kalau misalnya kita nikah, yang jadi walimu siapa? Angga kah?" tanya Setya setelah beberapa saat. Riri menggeleng. "Besok Bagas pulang kok. Paling dia nyampe sini jam delapan." "Terus, untuk saksi dari pihakmu siapa, Mas? Apa cukup Pak RT dan satpam komplek aja?" tanya Riri kemudian. Setya mengusap dagunya sebentar. Memikirkan siapa kira-kira yang bisa membantunya. Ia tak mungkin meng