MasukRiri menarik napas dalam, berusaha mengendalikan dirinya yang mulai berpikir yang aneh-aneh.
Ia yakin, semua ini pasti hanya kebetulan. Apa lagi, tadi siang ia sempat bertemu dan menggoda Setya, jadi wajar saja jik dia berpikiran yang aneh-aneh karenanya. Riri berusaha untuk fokus kembali pada makan malam yang harus ia hidangkan. Namun nyatanya, perasaan aneh itu tak juga hilang. "Bu, ada apa?" tanya Juna polos. Sontak, suara itu sukses membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh cepat, dan mendapati sang anak yang masih menatapnya dengan mata bulat --yang entah kenapa pada malam ini-- terasa seperti milik Setya. Riri memaksakan senyum. "Nggak apa-apa, kok Nak. Yuk, kita makan, keburu ayamnya dingin." Juna mengangguk mantap, lalu mulai menyendok nasi ke dalam mulutnya dengan lahap. Riri sendiri hanya duduk di seberangnya, mengaduk-aduk makanannya tanpa benar-benar berselera. Pikirannya masih melayang. Setya… Tatapan pria itu tadi ... Cara ia terkejut saat mendengar julukan Mr. Albino. Dan sekarang, mata anaknya yang berwarna biru. Sebuah kesadaran perlahan mulai merayap masuk ke dalam pikirannya. Jika benar ada Setya dalam diri anaknya… maka itu berarti… Riri menggeleng cepat, menepis pikirannya sendiri. Tidak mungkin. Tidak boleh. Namun, hatinya mulai bertanya… Apakah ia benar-benar sudah tahu seluruh kebenaran tentang masa lalunya? "Bu, besok lusa aku disuruh bawa foto keluarga yang ada Ayah, Ibu, dan aku," kata Juna setelah menyelesaikan makanannya. "Bu Guru bilang harus ada foto ayahnya juga. Ibu punya foto Ayah nggak?" Riri yang sedang membereskan meja makan seketika terdiam. "Ayah?" ulangnya pelan. Juna mengangguk mantap, "Iya, Bu. Disuruh sama bu guru yang ada poto ayahnya juga. Kita mau bikin prakarya, bikin figura poto keluarga gitu," ucapnya menjelaskan. Riri menghela napas berat. Ia beranjak mengambil sisa makanan anaknya, membereskannya dengan hati-hati, seakan sedang menata pikirannya yang berantakan. Setelah semua selesai, ia kembali duduk di samping Juna, tangannya terulur membelai lembut rambut sang anak. "Ibu nggak punya poto ayah, Nak," ucapnya lirih. "Soalnya, pas ibu lagi hamil kamu, ayah sempat pergi keluar negri untuk cari kerja, dan setelah itu ...," Riri menelan ludah, suaranya semakin mengecil, "menghilang begitu saja." Juna menatap ibunya. Raut wajah Riri terlihat sendu. Ia langsung memeluk tubuh ibunya erat-erat. "Ibu, maafin Juna ya, Bu. Juna nggak maksud bikin Ibu sedih," gumamnya pelan, merasa bersalah. Riri mengusap punggung anaknya dengan lembut. "Tidak apa-apa, Sayang." Juna menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil. "Kalau gitu, kita pakai foto kita berdua aja ya, Bu?" tanyanya lagi, berusaha mengalihkan suasana. Riri hanya mengangguk, sambil tersenyum lalu memeluk tubuh anak lelakinya itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, suasana yang mulai mencair itu tiba-tiba kembali berubah ketika Juna berseru santai, "Ah iya, Bu, masa rambut Juna juga ada yang putih-putihnya loh." "Ah, masa iya sih, Juna udah ubanan? Bukannya uban itu numbuhnya kalau udah tua ya, Bu? Masa Juna ada sih?" tanyanya kembali dengan sedikit menggerutu. Riri kembali mengernyit, uban? Tak mungkin Juna memiliki uban karena umurnya masih 6 tahun. Sangat mustahil baginya memiliki uban diusia yang masih muda seperti itu. Ia pun bergegas mengambil ponselnya, lalu menyalakan senternya, da menyoroti rambut Juna. Dan benar saja, ada beberapa helai rambut yang berwarna putih disana, membuat hatinya kembali bergejolak hebat. Riri mengusap wajahnya kasar, lalu berkata dengan suara yang lebih tenang, "Juna, yuk tidur. Udah jam sembilan malam. Ibu besok masuk pagi juga. Juna mau dibikinin sarapan apa besok?" tanya Riri sebelum terlelap. "Hmm, Juna pingin kimbab, Bu. Masih ada nggak rumput lautnya?" tanya Juna balik. Riri terdiam sebentar, lalu segera beranjak menuju kulkasnya untuk mengecek bahan makanan yang ada di sana. "Ada, Nak. Besok, kita bikin kimbab isi telur, sosis dan timun ya, Nak," ucap Riri dak mendapat anggukan dari Juna. Setelah itu, Juna pun segera merebahkan dirinya di kasur. Riri pun berada disampingnya, dan tak lama, Juna pun terlelap di pelukan sang ibu. Namun, Riri masih terjaga. Ia masih berusaha menenangkan pikirannya yang sedikit menggila. Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan dirinya yang mendadak gelisah. Tidak! Ini pasti hanya pikirannya yang terlalu lelah. Ia menatap langit-langit kamar, tatapannya begitu kosong. Sesekali, ia melihat anaknya yang sudah terlelap, napasnya teratur dan wajahnya begitu damai. Namun, hati Riri justru terasa makin gelisah. Mata biru ... Rambut putih .... Setya ... Apa mungkin? Riri kembali menggeleng pelan, memijat pelipisnya. Tidak! Ini pasti hanya permainan pikirannya saja. Ia bahkan tak ingat dengan pria yang telah menanamkan benih di rahimnya itu. Hanya sekelebat bayangan. Samar, kabur… seakan otaknya sendiri menolak untuk mengingat lebih jauh. Lalu, kenapa sekarang… ia mulai merasa ada yang janggal? Riri menghela napas panjang. Ia kembali berbaring di samping anaknya. "Mungkin aku hanya lelah. Terlalu banyak berpikir tentang Setya... Besok pasti semuanya terasa lebih baik dan masuk akal." Ia memejamkan mata, berharap tidurnya bisa membawa ketenangan. Tapi entah kenapa, hatinya masih terasa begitu sesak. * Setya tiba di depan rumahnya dengan perasaan yang sedikit frustasi dan juga lelah. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, ia tetap duduk diam di sana dulu untuk beberapa saat. Beberapa kali ia menghembuskan napasnya kasar, berusaha meredam segala emosi yang bergejolak di dadanya. Namun, entah mengapa, ia merasa bahwa pertemuannya kali ini, seolah menyimpan sesuatu yang besar, entah itu suatu kebetulan atau ... entahlah, Setya sendiri bingung untuk menafsirkannya.Tak lama, pintu ruangan Putri pun kembali terbuka. Aroma harum dari Soto Betawi nampak menguar dari sana, bersamaan dengan Yuzha yang masuk ke dalam. Tangan Yuzha penuh dengan beberapa kantung plastik yang ia genggam. "Put," panggil Yuzha lembut seraya menaruh tentengannya di atas nakas. "Mas abis dari mana? Katanya cuma nengokin Garda, kenapa pulang-pulang bawa banyak tentengan?" tanya Putri sambil tersenyum samar. Yuzha tak langsung menjawab. Ia segera duduk di sisi ranjang Putri, menatap wanita itu dengan penuh kerinduan. Ia mengangkat tangannya perlahan, lalu menghapus sisa air mata di pipi wanitanya. "Kamu punya masalah, Put?" tanya Yuzha. Putri tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Jangan bohong, Put. Saya tahu kamu lagi nggak baik-baik saja. Ada apa sebenernya?" tanya Yuzha kembali. Hening untuk beberapa saat. Putri menatap wajah Yuzha lekat-lekat, sebelum akhirnya kembali bersuara. "Sebenernya, aku sama A Ilham ...,"***"Kok bisa, Put? Kenapa?" Yuzha te
Sementara itu, tak lama setelah Yuzha pergi, Putri bergegas mengambil ponselnya.Cukup lama tangannya tertahan di kontak dengan nama "Bapak" itu. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menetralkan degub jantungnya yang berdebar cepat.Setelah beberapa saat, barulah ia menekan tombol panggil di sana. Panggilan pun tersambung, namun sayangnya tak ada jawaban Putri kembali mencoba menghubungi sang bapak sampai tiga kali berturut-turut. Namun sayangnya, responnya tetap sama. Tak ada jawaban sama sekali.Putri mendesah pelan, lalu mengalihkan perhatiannya pada nomer sang ibu. Dengan sedikit ragu, akhirnya ia menghubungi wanita yang telah melahirkannya 28 tahun silam.Panggilan pertama dan kedua sama seperti sang bapak. Tak diangkat padahal terlihat online. Putri sedikit ragu untuk melakukan panggilan ke tiga. Namun, keinginan untuk memberitahu keluarganya bahwa ia telah melahirkan cukup kuat. Hingga akhirnya, ia pun kembali menghubun
"Mas nggak makan kah?" tanya Putri sambil menyendokkan makanannya ke dalam mulutnya. "Belum," jawab Yuzha cepat. "Aku belum mau makan, masih pingin maen sama Garda." Putri menggeleng pelan lalu tersenyum tipis. "Keknya ada yang pingin banget punya anak lagi, yah. Kenapa nggak nikah lagi aja?" tanya Putri sedikit menggoda. Yuzha terdiam sebentar lalu melirik ke arah Putri dan tersenyum masam. "Kinan masih nunggu Tante Uti katanya. Udah di ulti duluan sama dia. Pokoknya papa nggak boleh nikah, selain sama mama pilihan Kinan. Kalau dia udah ngasih perintah gitu, siapa yang berani ngelarang. Aku cuma papanya." Putri terkekeh pelan. "The real mama pilihan anak gadis ya, Mas," ledek Putri kemudian. Yuzha hanya mengangguk, lalu segera menimang-nimang tubuh Garda. Tak lama, akhirnya
Tak lama, seorang perawat kembali menghampiri mereka berlima yang berada di sana. "Dokter Yuzha, maaf. Bayinya sudah selesai belum yah? Mau saya bawa, dan kasih bedongan dulu, sekalian nanti mau di cek sama Dr. Endang," ucap salah satu bidan yang berada di sana. "Oh, udah, Mbak," ucap Yuzha seraya mengambil Garda dari gendongan Putri. "Ini ya, Mbak. Makasih ya, bantuannya." Sang bidan pun hanya mengangguk, lalu segera membawa Garda pergi dari hadapan mereka. Begitu Garda pergi, Cantika kembali mengucapkan selamat setelah itu ia pun bergegas pamit ke ruang operasi. Karena masih ada dua orang pasien yang akan ia tangani proses operasi caesarnya. Sementara Setya, setelah berdiam diri selama beberapa menit, barulah ia pamit karena takut Riri sedikit kerepotan mengurus 'tiga orang bayi' sekaligus. Tak hanya Cantika dan Setya yang pamit pergi. Namun juga Revan, yang ikut
Putri meraih lengan Yuzha sambil menggeleng pelan. Ia berusaha menahan lelaki itu agar tetap di sisinya. "Mas, aku takut. Jangan kemana-mana.""Jangan takut. Mas nggak akan kemana-mana, Mas bantuin kamu lahiran di sini," ucap Yuzha.Dua orang perawat perempuan pun telah bersiap untuk membantu Yuzha. Namun, tak lama pintu triase kembali terbuka menampilkan sosok Cantika dengan napas yang terengah."Mas, biar Can yang nanganin. Mas disamping temenin dia," ucapnya cepat seraya menggelung rambutnya agar lebih rapih dan memakai sarung tangannya.Yuzha menoleh sekilas lalu mengangguk pelan. Ia pun segera melepas sarung tangannya dan berdiri di sisi Putri.Ia kembali menggenggam lengan Putri dengan erat, sementara sebelah tangannya membelai lembut rambut wanitanya."Put, kuat, ya. Ada Mas di sini. Kalau sakit, pegang aja tangan Mas yang kenceng. Mau dicakar juga nggak apa-apa," ucap
Yuzha melangkah dengan cepat menuju samping ranjang Putri. Wanita itu masih bisa tersenyum saat melihatnya, meskipun saat wajahnya sudah sangat pucat."Mas, akhirnya ketemu kamu lagi," lirihnya pelan nyaris berbisik.Yuzha hanya mengangguk samar, lalu segera memakai stetoskopnya dan mulai menjalankan tugasnya sebagai dokter.Ia harus tetap mempertahankan profesionalisme-nya meskipun yang kini ada didepannya adalah wanita yang begitu ia cintai."Denyut nadi normal, dengan kontraksi yang begitu kencang. Pasang NST segera!" perintah Yuzha kepada salah satu perawat yang berada di sampingnya."Baik, Dok," ucap perawat itu seraya menyerahkan buku pink kepada Yuzha. "Ini rekam medis tentang kehamilannya, Dok. Bidan yang merujuk juga masih ada di depan."Yuzha mengangguk lalu segera melihat buku pink tersebut. Hatinya sedikit mencelos saat melihat rekam medisnya. Dua kali induksi ber







