"Setya!"
Panggilan itu menggema di lorong sekolah yang nampak sepi. Hanya suara langkah kaki dan derit pintu kelas yang berbunyi samar. Namun, lelaki yang dipanggil namanya itu, tetap melangkah dengan tenang, seolah teriakan itu hanyalah sebuah angin yang berlalu. Sementara Riri, sosok yang memanggilnya, nampak menggerutu kesal sambil berkacak pinggang, karena lelaki itu tak jua merespon. "Dasar budeg!" umpatnya. Hilang sudah kesabarannya saat ini. Tanpa pikir panjang, ia pun segera melepas salah satu flat shoes-nya, dan ... Pluk! "Awww," Setya berhenti. Ia menunduk, mengambil sepatu yang mendarat tepat di kepalanya, lalu berdecak pelan. "Shit, ngeselin banget sih!" gerutunya kesal, nyaris tanpa emosi. Sementara Riri, nampak berseru senang karena lemparannya tepat pada sasaran. Ia pun segera mengangkat rok lilitnya sedikit lebih tinggi, lalu segera menghampiri Setya yang masih terdiam disana. Setya yang masih berdecak kesal, tiba-tiba kembali terkesiap karena tiba-tiba telinganya di tarik oleh gadis itu. "Makanya punya kuping tuh di pake! Dipanggilin dari tadi bukannya nengok, malah acuh! Kuping lu budeg apa yak?!" seru Riri tak kalah kesal. Setya menghembuskan napas berat, lalu menepis lengan Riri yang berada di kupingnya. "Ck! Mau ngapain lagi sih lu? Kurang puas apa lu ganggu hidup gua yang aman dan tentram?" tanya Setya sedikit ketus, matanya nampak bergerak cepat --antara kesal dan juga bingung. Riri mengangkat sebelah alisnya. Dengan santai, ia mengambil sepatunya dari tangan Setya. "Lu bener," katanya, tersenyum tipis. "Cinta dan benci emang beda tipis. Tipis banget, kek tisu dibagi tujuh." Setya mengernyitkan dahi, lalu menyilangkan tangannya di dada. "To the point aja deh, apa mau lu?" tanya Setya, kali ini tatapannya lebih serius. Riri melangkah mendekat. Jarak di antara mereka hanya beberapa inci. Setya nyaris bisa merasakan napas gadis itu. "Gua bakal bikin lu jatuh cinta... lagi. Sama gua. Kayak dulu." Keheningan seketika menyelimuti lorong itu. Setya terpaku. Matanya menatap Riri, mencari kepastian di balik ucapannya. Tapi Riri hanya tersenyum—penuh misteri. Setya terdiam. Wajahnya tetap datar, tapi ada kilatan aneh di matanya. Sebuah bayangan masa lalu yang berusaha ia kubur rapat-rapat. "Hah? Kayak dulu?" Ia mendengus pelan, lalu berbalik, kembali melangkah menuju halaman belakang, tujuannya di awal. "Jangan mimpi, Ri!" Riri tersenyum miring, lalu dengan langkah ringan ia mengejar Setya. "Gua serius, Set. Gua nggak main-main kali ini," ucapnya, menyamakan langkah. "Lu bakal lihat. Gua bakal bikin lu jatuh cinta lagi sama gua!" Setya menghentikan langkahnya. Seketika, lorong yang tadinya sunyi terasa penuh dengan ketegangan. "Jatuh cinta lagi?" Setya menoleh perlahan, menatap Riri tajam. "Sorry, cinta gua ke lu udah terkubur rapat-rapat. Sekarang yang ada, hanya kebencian di hati gua!" Riri terdiam. Senyum di wajahnya menghilang seketika. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang nyaris meluncur dari bibirnya. "Ke-- kebencian?" gumamnya pelan, tapi matanya tak beralih sama sekali dari wajah Setya. "Ya! Segala rasa cinta gua ke lu sudah menguap. Lu nggak lupa kan, dengan ucapan lu dulu?" tanyanya pelan. "Gua ingetin sekali lagi biar lu nggak pura-pura amnesia. 'Sekalipun cowok di dunia ini tinggal gua doang, lu nggak akan pernah jatuh cinta sama cowok kek gua,' inget itu!" ucapnya penuh penekanan. Riri mengepalkan tangan. "Gu-- gua bisa jelasin, Set." "Jelasin?" Setya tertawa miris. "Nggak ada yang perlu di jelasin lagi, Ri. Kisah kita sudah usai, bahkan sebelum kita memulainya." Riri mundur selangkah. Pandangannya meredup. "Udahlah, gua capek bahas masa lalu," ucap Setya, berbalik tanpa ekspresi. "Kalau mau bercanda, cari orang lain." Namun, sebelum Setya sempat melangkah lebih jauh, Riri meraih tangannya. "Set, dengar gua dulu." Setya menghentikan langkahnya. Ia menatap tangan Riri yang mencengkeram pergelangan tangannya. Hangat. Sama seperti dulu. Lalu ... Cup! "You're my first kiss, Bin," suara Riri melembut, "tapi, gua janji. Suatu saat, gua bakal bikin lu jatuh cinta lagi sama gua, meskipun dengan cara kotor sekali pun!" Setya menarik tangannya perlahan. Ia menatap Riri lama, seakan mencari kebohongan di mata gadis itu. Riri pun berbalik, lalu melangkah pergi, meninggalkan Setya yang berdiri membisu, sambil memegangi bibirnya yang baru saja di kecup oleh Riri. Ia menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. "Sh*t! Kenapa harus sekarang, Ri? Kenapa harus saat kita hampir berpisah?" Sementara itu, Riri melangkah dengan mantap, menggenggam erat sebelah sepatunya yang belum sempat ia pakai, "gua janji, Bin. Dan gua bakal buktiin itu ...." * Delapan tahun berlalu ... Bunyi dering telepon rumah sakit bersahutan, bercampur dengan suara langkah kaki para dokter dan perawat yang berlalu-lalang. Bau antiseptik memenuhi udara, memberikan kesan khas rumah sakit yang sibuk. Di ruang farmasi, Riri merapikan beberapa resep obat dengan cepat. Rambutnya kini dicepol rapi menyisakan sedikit poni untuk menutupi jidatnya yang sedikit lebar. Ia mengenakan seragam apoteker putih yang membuatnya terlihat lebih cantik dan bersinar. "Ri, Dokter Yuzha telpon, katanya pasien di IGD butuh resep tambahan. Bisa tolong antar ke sana?" tanya Bu Devi, rekan kerjanya. "Siap, Bu, otewe," jawab Riri. Dengan langkah cepat, Riri membawa baki berisi obat-obatan. Ia melirik jam tangan. Sudah hampir jam pergantian shift. "Kalau buru-buru gini, jangan sampai—" Bruk! "Aduh!" Obat-obatan di tangannya jatuh berserakan di lantai koridor. Riri tersentak. "Maaf, Pak! Saya nggak—" Ucapan itu terhenti. Matanya membelalak saat melihat siapa yang ia tabrak. Seorang pria dengan kaos santai berwarna biru tua berdiri di depannya, membungkuk untuk membantu memungut obat yang berjatuhan. Wajah itu ... Ia mengenalnya. Garis rahang tegas, tatapan mata yang dulu selalu ia ingat— "Albino?" Pria itu terhenti. Perlahan, ia menegakkan tubuhnya. Tatapan tajam namun datar mengarah padanya. "Riri?" Suasana koridor yang sibuk seakan hening seketika. Riri menelan ludah, tak yakin harus berkata apa. Sementara Setya, berdiri tegap dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Kamu ... kerja di sini?" tanya Riri, mencoba tersenyum canggung. "Hmm," gumam Setya, singkat dan dingin seperti dulu. Riri segera meraih obat-obatan dari tangan Setya, dan menaruhnya kembali ke atas baki. "Setya, bisa tunggu sebentar? Gua mau anter obat ke Dokter Yuzha dulu. Abis itu, gua mau ngomong sesuatu sama lu," ucap Riri. Setya mengerutkan keningnya, "Ngobrol apa?" "Pokoknya, tunggu di sini dulu, bentar. Gua anter obat ke Dokter Yuzha dulu, tunggu yaa," ucap Riri seraya melangkah tergesa ke arah IGD. Namun, Setya seolah tak memperdulikan permintaan Riri. Ia memilih untuk kembali melanjutkan langkahnya menuju lantai 5. Saat tiba di dalam lift, ia memejamkan matanya sejenak, seolah berusaha meredam perasaan yang lama terkubur. "Bagaimana bisa, Ri? Bagaimana bisa kamu bekerja di rumah sakit ini? Kenapa aku bisa sampai kecolongan saat penerimaan karyawan baru?"Keesokkan harinya, saat Riri tengah membuat kimbab untuk bekal Juna, saat ia tengah menggulung nasi dan nori, tiba-tiba pikirannya pun teringat pada Setya. 'Bikinin Setya sekalian nggak ya?' batinnya dalam hati. Tak ingin menduga-duga, ia pun langsung beralih pada ponselnya dan segera menghubungi Setya. [Albino, gua lagi bikin sushi. Lu mau gua bawain kaga?] pesan Riri kepadanya. Tak berapa lama, pesannya pun terbalas oleh Setya. [Kagak! Sushi lu kaga enak] balasnya. Riri memanyunkan bibirnya. Rasanya kesal sekali mendengar ucapan lelaki itu. Ia pun melampiaskan emosinya pada timun yang saat itu hendak ia jadikan isian kimbab. Ia cacah dengan kasar sebagai bentuk pelampiasannya. Tak lama, ponselnya kembali bergetar, Setya kembali mengirimkan pesan kepadanya. [Kalau mau, bikinin kimbab
Jam sudah menunjukkan pukul 23.00 saat Riri tiba di parkiran rumahnya. Ia bergegas menuju rumah ibu kontrakan untuk menjemput Juna yang saat itu sudah tertidur. "Makasih ya, Bu, maaf kalau Riri ngerepotin ibu terus," pamit Riri pada sang empunya kontrakan. "Sama-sama. Ibu nggak ngerasa di repotin kok, malah seneng karena ada temennya," ucapnya. "Ini tasnya Juna, hp sama buku gambarnya udah di dalam ya." Riri mengangguk setelah itu barulah ia masuk ke dalam kontrakannya di lantai dua. Juna tak bereaksi apapun saat di gendong, sepertinya anak itu sudah terlalu lelah bermain. Riri pun bergegas menaruhnya di atas ranjang, setelah itu ia pun segera mandi dan membersihkan diri. Setelah mandi, badannya pun terasa lebih segar dan fresh. Ia segera menghampiri Juna, mengamati setiap inci tubuh sang anak. Fokusnya teralihkan pada jemarinya yang sedikit memerah dan membengkak.
Riri hanya mengangguk, dan langsung masuk ke farmasi. Begitu melihat jumlah yang di transfer, matanya sedikit membola. Ia pun buru-buru menchat Setya saat itu.[Albino, ini beneran buat gua? Lu nggak salah transfer kan?] pesan Riri kepadanya.Hanya berselang beberapa menit, balasan pun di terima Riri.[Nggak. Kenapa emangnya? Kurang? Di e-wallet gua cuma ada segitu. Kalau kurang, paling besok soalnya M-banking gua eror]Riri menggigit kukunya dan mengusap wajahnya kasar. Nominal yang diberikan Setya saat itu adalah satu juta rupiah, dan Riri rasa itu uang banyak. Kenapa Setya malah berpikir bahwa uang itu kurang? Astaga, gini amat punya temen orang kaya.***Malam mulai menyapa, Setya duduk di balkon sendirian menikmati semilir angin malam yang menerpa wajahnya.Di pangkuannya, iPad Pro 12.9 inci terbaru tergeletak, layar cerahnya memantulkan guratan sketsa yang sedang ia buat
Riri menutup telponnya, lalu menaruh ponselnya kembali ke atas meja."Ibu?" tanya Setya lirih, mengulang ucapan Riri tadi.Riri terkesiap, ia lupa jika di depannya adalah Setya dan langsung memijat pelipisnya pelan."Mm, anu ...," ucap Riri tergagap."Anu apa, Ri? Lu udah nikah?" tanya Setya, tatapannya begitu menusuk tajam.Riri menggeleng cepat. "Nggak! Gua belom nikah. Itu tadi anak tetangga gua, dia biasa manggil gua ibu, jadi keterusan," ucapnya berusaha terdengar menyakinkan.Setya menatapnya dengan lama, lalu bertanya kembali. "Beneran? Kalau beneran udah nikah nggak apa kok, ngaku aja."Tanpa ragu, Riri mengangguk mantap. "Beneran, Bino. Gua belum nikah."Setelah itu, ia pun segera membereskan barangnya."Bin, gua harus balik sekarang. Makasih ya, traktirannya," ucap Riri seraya bangkit dari duduknya.Setya mengangguk, lalu segera menuju kasir dan melakukan pembayaran. Setelah itu, keduanya pun segera keluar dari kedai bersama."Mau ambil sepeda dulu, Ri?" tanya Setya.Riri me
Setya menghela napas pelan. "Nara itu aslinya bukan anak Mas Yuzha dan Mbak Nadira. Yang anak mereka cuma Kinan doang, sementara Nara, anak Mbak Dira sama selingkuhannya," jelasnya. "Tunggu, gua nggak paham maksud lu. Jadi, Mas Yuzha diselingkuhin gitu?" tanya Riri, seraya menghentikan aktifitasnya. Matanya sedikit membola mendengar ucapan itu.Setya mengangguk. "Iya. Mbak Dira udah hampir 4 tahun selingkuh. Dan Nara adalah hasil anak selingkuhannya. Sebenernya ada satu lagi, tapi keguguran. Dari pas keguguran itu, barulah ketauan kalau misalnya Mbak selingkuh." "Tapi ya, gitu ... gegara baru ketauan bukan anaknya setelah Nara umur 2 tahun dan Mas udah terlanjur sayang sama tuh anak, jadi tetep diakuin anaknya sama dia." Riri tersentak tak percaya. Jika Yuzha diselingkuhi, berarti alasan mereka bercerai kemarin bukan karena dirinya kan? Lalu, kenapa Setya waktu itu bilang karena dirinya. "Tunggu. Jadi, Mas Yuzha diselingkuhin sama istrinya? Terus, kenapa waktu itu lu bilang kalau
Nadira menggeleng, matanya memerah karena marah. "Ya, kamu memang papanya. Tapi justru karena itu, kamu seharusnya tahu apa yang lebih penting!" Yuzha mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku lelah, Dira! Dari semalam aku nggak tidur sama sekali. Sementara kamu? Kamu enak-enakan tidur! Baru juga jagain nggak sampai satu jam, kamu sudah marah-marah?! Dimana otakmu?!" seru Yuzha menaikkan nada bicaranya. Nadira tersentak mendengar seruan Yuzha itu. Ia menunduk, tak berani menatap ke arah Yuzha. "Maaf, Yuz. Aku ... aku hanya nggak ingin wanita ini ada di sini." Lalu, Nadira menatap Riri dengan tajam. Riri akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap balik Nadira, tapi ia tidak berkata apa-apa. Yuzha mengepalkan rahangnya. "Kenapa memangnya? Dia calon istriku, dan calon ibu sambungnya Kinan dan Nara!" Nadira menatapnya tak percaya. "Apa?! Semudah itu kamu melupakan aku, Yuz?" "Melupakan? Siapa yang lebih dulu melupakan?" tanya Yuzha dengan datar. "Tak perlu playing victim, Dir." Nadira t
Saat jam makan siang tiba, Riri memberanikan diri ke lantai 3 tempat dimana Nara di rawat. Kondisi lorong lantai 3 memang sedikit sepi, karena memang khusus kelas VVIP, VIP dan juga kelas 1 saja. Lantai ini, berbeda dibanding dengan 2 lantai di atasnya yang sedikit lebih ramai.Jantungnya berdegup kencang saat melihat Yuzha keluar dari salah satu kamar VVIP, wajahnya sedikit letih, rambutnya nampak berantakan dan ada lingkar hitam di bawah matanya.Riri benar-benar merasa iba melihat penampilan sang Dokter yang biasa tampan itu. Tanpa membuang waktu, ia pun segera menghampiri Yuzha disana."Mas," panggilnya pelan.Yuzha menoleh dengan ekspresi datar."Kamu kemana aja, Mas? Kenapa nggak ngabarin kalau Nara dirawat?" tanya Riri, nada suaranya terdengar sedikit kecewa.Yuzha terdiam sejenak sebelum menghembuskan napas panjang. "Kenapa kamu baru datang sekarang?"Riri mengernyit. "Aku baru tahu tadi pagi kalau Nara di rawat, Mas. Kamu semalem menghilang begitu aja." Lelaki itu mendengus,
Riri terdiam, tapi hatinya gelisah. Ia tahu Yuzha harus segera pergi, tapi ia juga tidak bisa diam saja. Yuzha mengusap wajahnya kasar, lalu tanpa mengecup pucuk kepala Riri. "Maaf, aku refleks. Aku nggak berniat buat bentak kamu, Ri," ucapnya penuh penyesalan. Riri mengangguk, "Aku tahu, Mas. Pulanglah, Nara butuh kamu." Yuzha mengangguk, namun sebelum ia benar-benar berbalik, ia kembali mengecup bibir Riri, seolah mengisyaratkan ia sebenernya tak ingin pisah. Riri mendorong tubuh Yuzha sedikit menjauh, lalu mengantarkan lelaki itu hingga ke depan pagar rumahnya. Yuzha pun segera masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesinnya. Dan dalam hitungan detik, ia melaju pergi. Riri hanya bisa berdiri di pintu pagar, menatap kepergian Yuzha dengan perasaan yang campur aduk. Setelah beberapa saat, Riri pun kembali ke kamarnya. Ia kembali duduk di sofa, dimana ia tadi sempat bergumul dengan Yuzha sebelum akhirnya lelaki itu pergi. Riri memejamkan matanya sejenak, membiarkan n
"Emm, Juna lagi nggak ada di rumah, Mas. Dia lagi ke Bandung sama ibu kontrakan. Jadi, aku dirumah sendiri, makanya aku bisa pergi sekarang," jelasnya. Yuzha mengangguk, setelah itu keduanya pun segera melangkah menuju parkiran untuk pulang. Di perjalanan menuju kontrakan, suasana dalam mobil terasa lebih tenang daripada sebelumnya. Yuzha sesekali melirik ke arah Riri yang duduk di sampingnya, sementara wanita itu hanya menatap ke luar jendela, menikmati pemandangan jalanan yang mulai gelap. "Ri, aku anter sampai rumah ya," ucap Yuzha memecah keheningan diantara mereka. Riri menoleh, lalu mengganguk, "Hmm, boleh, Mas." Sesampainya di depan kontrakan, Yuzha mematikan mesin mobil. Riri membuka sabuk pengaman, lalu menoleh ke arahnya. "Makasih ya, Mas. Aku masuk dulu." Yuzha mengangguk, tapi saat Riri hendak turun, ia tiba-tiba menarik pergelangan tangan wanita itu. "Ri." Riri membeku. Tatapan Yuzha berubah serius. "Kalau aku masuk, kamu keberatan?" tanyanya pelan. Ri