Baru saja Beni menepis tangan-tangan mungil gadis kecil kami dengan sangat kasar seperti ia memperlakukan orang lain.
Aku mencoba mamahami kondisi yang terjadi akan tetapi lagi-lagi aku tidak bisa melihat putriku berdiri dalam keadaan ketakutan seperti ini.
Dan aku sangat tahu kalau Beni--suamiku menginginkan aku melayaninya malam ini tanpa gangguan si kembar. Semua ini bukan salah mereka karena wajar untuk usia sekecil mereka ada ketakutan mimpi buruk di waktu malam.
Sungguh suara ketakutan sekaligus napas mereka yang terengah-engah berlari ke kamarku.
"Mama! Ma ...
Kenyamanan dalam balutan selimut membuatku tak ingin beranjak dari dari tidurku. Kedua bola mata terasa berat untuk kubuka tersebab oleh cahaya mentari pagi yang menyilaukan menerobos melalui celah jerjak jendela kamar. Aku nyaris terkejut saat kudapati seorang lelaki yang berdiri di depan ranjang sedang memegang roti panggang di tangan kanannya dan segelas susu hangat di tangan kirinya."Pagi, Sayang. Hmm ... pasti kamu nyenyak banget tidur gara-gara semalam kan? Nih, sarapan dulu," Beni begitu perhatian pagi ini. Ia sampai membawa sarapan ke kamar hanya untukku."Iya, Sayang. Sebentar, ya, aku mau ke kamar mandi dulu," jawabku dengan tersenyum kecil lalu melangkah masuk ke kamar mandi.Beberapa detik kemudian aku keluar dengan tubuh yang segar sehabis mandi tadi. Terlihat Beni masih duduk di sisi ranjang sembari tersenyum padaku."Sayang, kamu hari ini libur ngantor kan?""Iya, Say
“Sayang, udah, dong! Ah, paling juga ada orang yang lewat, mungkin tetangga sebelah kali,” ucapku mencoba membuat keadaan menjadi tenang kembali.“Iya, Sayang. Makasih, ya, karena kamu aku jadi lebih tenang sekarang.“Oh, iya. Yuk kita makan malam, Sayang. Aku tadi ada masak nasi goreng kesukaan kamu lho. Tandi Andin jaga Andita bantuin aku masak. Mereka seneng banget, Sayang.“Wah, pasti enak banget kayaknya ya, Sayang. Yuk!” Aku meraih tangan Beni lalu mengajaknya keluar dari kamar.Belum jauh melangkah, tiba-tiba aku berhenti, “Sayang, kamu jalan aja dulu ke ruang makan, Ya? Aku mau ke kamar si kembar dulu.”“Oke, Sayang. Kamu hati-hati, ya, kalau ada apa-apa panggil aku saja,” ucap Beni dan berjalan hingga ke ruang makan.Saat kakiku melangkah berbalik, aku merasa seperti ada yang mengikuti dari belakang. Karena tak ingin menoleh, akhirn
Satu bulan tanpa terasa, aku dan keluarga kecil ku telah menempati rumah ini dengan berbagai macam pengalaman dan kenangan tentunya.Seperti saat Andin selalu mencariku hanya karena ingin dirapikan rambut panjangnya. Bahkan hampir setiap jam iya memintaku untuk memasang bando yang bergeser karena aktif selalu gerakannya. Aku juga mengingat saat Andita berlarian sendiri di tengah siang bolong. Begitu juga kala Beni memelukku erat di depan teras saat wajahku sedang cemberut. Ah, semua kenangan indah itu telah tercipta semenjak kami tinggal di rumah ini.Di balik kenangan indah tentu saja menyertakan kenangan buruk selayaknya sebuah mimpi yang pemiliknya tak pernah bisa bangun bahkan saat ia mencoba untuk kesekian kali. Isak tangis sosok perempuan bermata sendu masih jelas menggema dalam rongga telinga ini seolah selalu terdengar saat dalam sunyi senyap malam yang dingin.Wajah cantik dan seringai menakutkan masih membayangi dalam benakku
“Pagi, Sayang!” Aku mendengar suamiku menyapa ku pagi ini. Meski seluruh tubuh masih terasa lemas untuk kugerakkan tapi, tangan kokohnya menuntun aku bangun. “Makan, gih! Aku udah masakin nasi goreng daging cincang tadi sewaktu kamu masih tidur, Sayang. Karena lima menit lagi aku harus ke kantor, Sayang.” Beni berucap sembari memakai kemeja dengan gerakan cepat. “Iya, Sayang. Thanks, ya, karena kamu udah perhatian banget sama aku dan juga si kembar.” Aku berdiri sembari memasangkan dasi polos berwarna navy yang kusembunyikan di bawah kerah kemeja Beni. “Sama-sama, Sayang. Kan, kita keluarga.” Beni menjawab sambil menatap mataku yang belu berkedip untuk beberapa saat karena terkesima pada sang lelaki di hadapanku saat ini. “Oh, iya, Sayang. Kamu ada pindahin arsip di meja depan, nggak? Soalnya tadi aku cari-cari ngga ketemu,” tanya Beni serius seperti ekspresi mengingat-ingat. “Iya, Sayang. Ada. Kemarin aku taruh d
“Mbak, Mbak Adinda! Tadi mau nanya apa? Kok, bengong gitu?”“I- Iya, Nad. Mbak, nggak apa-apa, kok.” Aku menjawab pertanyaan Nadia sepertinya karena aku barusan gagal fokus. Aku malah memikirkan sosok di belakang sepupuku tadi.“Syukurlah, kalo mbak, gak, apa-apa. Soalnya lama lho tadi mbak duduk kayak matanya melihat sesuatu di belakang aku.” Nadia melanjutkan tanyanya karena masih terlalu penasaran dengan apa yang kualami barusan.“Oh, iya, NAD. Sepertinya itu suara mobil Mas Beni pulang. Kamu masuk saja ke kamar tamu di sebelah ruangan ini, ya, soalnya Mbak mau liat suami Mbak dulu.” Aku beranjak sembari menatap Nadia dan menunjukkan kamar untuknya menaruh barang-barangnya.Terlihat Beni sangat kelelahan dengan jas yang ditaruh di sikunya dan ia memegang erat sebuah dokumen sepertinya. Beni tersenyum kecil melihat aku yang berdiri di depan pintu untuk menyambut dirinya.
Hati kecilku masih tak percaya menyaksikan dua gadis manis sedang terlelap dalam pelukan sang Papa. Sungguh anugerah terindah yang pernah ada. Sesaat aku maju di langkah dan duduk di sisi ranjang khusus menikmati pemandangan membahagiakan yang mungkin telah langka sejak mereka beranjak tumbuh dewasa.“Sayang? Udah pulang?” Tiba-tiba Beni menyadari kehadiran aku yang tanpa mengetuk pintu dulu hingga langsung memasukinya.“Iya, Sayang. Makasih, ya, karena kamu udah jagain putri kita sampai mereka tertidur begitu. Liat! Matanya mirip banget sama kamu, kan, Sayang?” Aku tersenyum kecil pada Beni sembari mengusap rambut si kembar.“Sama-sama, Sayang. Oh, iya, gimana tadi dapat mobil angkutannya?” tanya Beni serius kelihatannya.“Iya, tadi kebetulan waktu kami sampai di sana, langsung ada bis dan Nadia nggak perlu nunggu lama.“Sayang, yuk kita angkat si kembar ke kamarnya!&rdq
Beberapa hari ini selama kondisi fisikku kurang stabil suamiku selalu menjaga kami dengan baik. Hampir setiap waktu makan Beni yang memasaknya. Dengan sepenuh hati ia melakukannya dan itu terkadang membuatku merasa bersalah biarpun Beni harus bertanggung jawab menghidupi keluarga ini.Bahkan seperti hari ini ia menjelma menjadi seorang suami idaman setiap istri. Bagaimana tidak, baru tadi sebelum ia berangkat ke kantor, Beni memberitahu bahwa ia akan berbelanja keperluan bulanan kita di pasar.Benar saja, saat ia pulang sumpah aku di kagetkan barang-barang dibelanjakannya. Lemari es penuh dan beberapa bahan mentah yang lain ia simpan di lemari gantung dan juga di atas meja.Selesai menyiapkan makan siang untuk kami semua, Beni akhirya berangkat ke kantor dengan senyum bahagia dan semangat. Aku melihatnya ketika ia memapahku sampai ke depan pintu dan mengecup kedua putri kembar kami.Beni ke kantor, rumah pun menjadi senyap seketika. Sedangkan
Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begit