Share

3. Sosok Aneh

Mahluk buruk rupa itu menatap tajam dengan kedua bola mata merah menyala ke arahku. Tanpa rasa takut, kugerakkan langkah dan meraih ranjang bayiku. Anehnya, ketika kudekati , iblis itu menghilang  begitu saja. Dengan cepat kedua tanganku memeluk mereka yang masih terkulai lemah saking lelapnya tertidur.

 

 

“Sayang! Ternyata kamu di sini. Aku dari tadi manggil kamu,” seru Beni yang baru pulang dari kantor.

 

 

“Iya, Sayang. Aku cuma mau lihat si kembar aja kok,” jawabku singkat.

 

 

“Kamu sendiri udah selesai urusan kantor?” tanyaku penasaran.

 

 

“Udah, Sayang. Yuk kita tidur!” ajak suamiku sembari merangkul bahuku dan melangkah ke arah kamar kami.

 

 

Saat tidur, pikiranku menerawang entah kemana. Aku masih heran kenapa sosok tadi ingin mendekati putriku? Ah, mungkin itu pikiran burukku saja. Bisa jadi dia ingin mengunjungi saja tidak lebih.

 

 

Paginya, aku menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan untuk suamiku, aku pikir harus melakukannya karena ini kewajibanku. Karena setelan aku melahirkan, Beni bahkan jarang sarapan di rumah melainkan di kantor. Sementara Nadia membantu menjaga Andin dan Andita, ia sangat tahu bagaimana kewalahannya aku jika merawat mereka seorang diri.

 

 

“Mbak, sedang apa?” tanya Nadia yang tiba-tiba datang menghampiriku yang masih sibuk menyiapkan sarapan.

 

 

“Nggah, Nad. Mbak lagi masak nasi goring putih kesukaan Mas Beni,” jawabku sembari menoleh dan tersenyum kecil pada sepupuku itu.

 

 

“Oia, aku hari ini ada interview kerja, Mbak.” Nadia berkata seraya meraih piring di rak untuk diserahkan padaku. 

 

 

“Akhirnya … Selamat, ya, Nad.” Dengan cepat aku memeluk gadis cantik itu karena ikut bahagia mendengar berita baik ini.

 

 

“Tapi, Mba, gak apa-apa kan tinggal sendiri di rumah?” tanya Nadia lirih.

 

 

“Iya, Nadia Sayang. Mbak gak apa-apa,” lanjutku meyakinkan sepupuku agar tidak cemas.

 

 

Di dapur, kami sempat mengobrol banyak sampai berujung pada penglihatanku yang kemarin malam melihat mahluk gaib itu berdiri di depan kedua putriku. Seperti biasa, Nadia tetap meyakinkanku bahwa sebenarnya itu hanya persoalan biasa  selama mereka yang tak terlihat itu tidak mengganggu kita.

 

 

 

“Sayang, aku lembur lagi hari ini. Mungkin nanti langsung ke bogor karena masih banyak yang perlu diurus. By … Sayang.”

 

 

Selesai sarapan, akhirnya suamiku kembali berangkat ke kantor seperti biasa. Dan sepupuku tidak berapa lama juga pergi ke tempat interview. Aku kemudian mencuci semua bekas piring kotor yang tadi dipakai sarapan. Selama mengambil cuti, aku jadi merasa suntuk di rumah seperti tidak tahu mau berbuat apa. Terlebih jika si kembar belum terbangun dari tidurnya.

 

 

Rumah ini lumayan besar untuk kami tinggali, kamar tidak semuanya terisi bahkan hanya kami jadikan gudang untuk menaruh barang-barang yang jarang dipakai. Selesai membereskan piring, aku menaiki satu persatu anak tangga menuju ke kamar bayi-bayiku. 

 

 

Kulihat wajah mereka berdua begitu mirip dengan Beni—papanya. Kulit lembut imut dan menggemaskan membuat aku selalu mengembangkan senyumku pada mereka. Kadang- kadang bola mata mereka ikut berkedip-kedip padaku dan itu sangat lucu dan membuatku bangga menjadi Ibu mereka.

 

 

Aku memberi kasih sayang dengan sepenuh hatiku pada kedua putri yang menjadi pelipur lara kala hatiku gundah. Namun, sebaliknya rasa sayang itu akhir-akhir ini tidak terlihat pada Beni yang tidak bukan adalah Papanya sendiri. Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku, seringkali aku mendapati ia bersikap acuh pada dua putri kami. Aku tahu, suamiku itu sangat sibuk bekerja di kantor tapi, Andin dan Andita juga butuh Papanya. 

 

 

Beni sekarang sudah jarang di rumah bahkan ia sudah tidak sempat melihat putrinya lagi karena pada saat ia pulang pasti mereka sudah tertidur. Aku tidak ingin membuat jarak antara si kembar dan Papanya. 

 

 

Hari berganti hari sedang Beni semakin bersikap aneh pada kedua putri kami. Aku pernah bertanya padanya dan jawaban Beni sungguh sama sekali tidak masuk akal, katanya gara-gara si kembar kami jarang menghabiskan waktu bersama. Sungguh aneh bukan? Yang seharusnya orang tua itu bersyukur diberi anugerah oleh Tuhan, ini malah menyalahi nya. Aku tidak percaya suamiku sendiri bersikap seperti itu. 

 

 

“Sayang, kalian jangan baik-baik, ya, jangan buat papa marah.” Aku mencoba mengobrol dengan Andin dan Andita. Mereka hanya mengedipkan matanya dan sedikit tersenyum, itu membuatku bahagia sepanjang hari.

 

 

Melihat posisi si kembar sudah tidak nyaman di tempat tidurnya, aku berpikir mungkin ini waktunya untuk menggantikan popok mereka. Benar saja, tampak basah sekali di sana dan aku menuju lemari di sebelah jendela lalu mengganti popok mereka secara bergantian.

 

 

“Wah! Telaten sekali Mbak Dinda mengganti popok si kembar,” ucap Nadia yang sudah berada di kamar. 

 

 

“Kamu udah pulang, Nad? Gimana tadi interviewnya, lancer?” tanyaku yang langsung mendongak pada dan berbalik badan ke arah sepupuku.

 

 

“Hasilnya belum tahu, Mbak. Karena hasilnya baru diumumkan satu minggu dari sekarang,” lanjut Nadia seraya menggendong si kembar yang sudak berganti popok.

 

 

“Mbak, berhubung Mas Beni nggak ada di rumah kita mala mini tidur di kamar ini aja. Kan biar bisa barengan terus sama si kembar dan nemenin mereka tidur juga, gimana?”ucap Nadia antusias menatapku dengan senyum manisnya.

 

 

 

“Oke, boleh juga tuh idenya,”ucapku membalas senyum gadis cantik itu. 

 

 

Obrolan berlanjut seru bercampur gelak tawa antar aku dan Nadia. Gadis itu memang pandai mencari ide untuk dijadikan bahan tertawa. Sejak aku tinggal dengan Nenek Idah, aku sangat dekat dengan Nadia dan keluarganya dan aku sangat menyayanginya.

 

 

 

Malam  ini tidurku tidak tenang. Entah, yang jelas pikiranku  tertuju pada dua putriku yang sedang terlelap. Tiba-tiba tenggorokan terasa kering lantas aku beranjak meraih segelas air putih di atas meja sebelah ranjang. Samar-samar aku melihat sosok bayangan putih dengan bau anyir yang menusuk rongga hidung. Lagi-lagi mahluk astral itu mendekati ranjang Andin dan Andita, lalu aku melangkah tanpa takut ke sisi ranjang bersamaan dengan lenyapnya mahluk dari dunia lain itu.

 

 

 

Kudekap si kembar dengan erat seolah tak ingin ada mara bahaya menghampiri mereka—malaikat kecilku tersayang. Aku melirih ke arah Nadia yang masih memeluk guling dalam tidurnya, berharap gadis itu tidak menyadari yang baru saja terjadi. Aku bersyukur, kehadiran mereka tidak mengganngu karena aku percaya benar kata nenek bahwa terkadang mereka yang tidak sama wujudnya dengan kita tidak bermaksud mengusik kehidupan kita.

 

 

 

Dua hari telah berlalu. Akhirnya suamiku pulang ke rumah juga dan ia sering menghabiskan waktu hanya untuk menonton acara kesayangannya saja. Aneh, bahkan Beni kembali menyalahkan dan mencari sebab tidak jelas atas kehadiran si kembar dalam kehidupan kami.

 

 

 

“Sayang, jangan ngambek gitu dong. Aku nggak ke mana-mana kok, cuma main sama si kembar di rumah.”Aku merebahkan kepalaku ke sisi pundak Beni dan dua tanganku merangkul pinggangnya.

 

 

 

“Iya! Tapi, kan, aku juga butuh kamu, Dinda!” pekik Beni seraya melepaskan tanganku, dari ekspresi wajahnya ia telihat sangat kesal dan marah.

 

 

 

“Maaf, aku capek mau istirahat!” Beni menarik napas kasar dan mengacak rambutnya itu.

 

 

 

Akhirnya kubiarkan suamiku ke kamar untuk beristirahat, mungkin aku sebagai istri juga harus memahaminya dengan baik.

 

 

 

Aku semakin tidak percaya dengan sikap suamiku sekarang. Beni sangat berbeda dan aneh tidak seperti dulu yang romantic dan penuh perhatian.

 

 

 

Aku mencoba bersikap selalu baik padanya meski terkadang si kembar kutinggal dan tidak kupedulikan karena ada Nadia yang menjaga dan merawatnya.

 

 

 

Sampai malam itu tiba. 

 

 

 

Bersambung ....

 

 

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status