Share

4. Berubah

Hingga kejadian malam itu membuatku bergidik, melihat suamiku berdiri cukup lama di sisi ranjang bayi kami. Lelaki yang kucintai nyaris mengarahkan kedua tangannya ke leher Andin dan untung saja aku segera menegurnya. Namun, ketika kutanya Beni dan menuduhnya bermaksud jahat pada putri kami, dia berdalih karena dia ingin menggendong Andin yang masih tertidur pulas. 

 

 

 

Walau kadang  rasa hati ingin membenarkan pendapat diri sendiri akan tetapi aku lebih percaya kepada suamiku sendiri karena tidak akan mungkin menyakiti anaknya sendiri terlebih kini kami mempunyai dua putri kembar yang sangat manis dan lucu.

 

 

 

“Mbak, sampai sekarang belum ada kabar dari perusahaan tempat aku interview kemarin. Kok, aku jadi sedih, ya, mbak?” ucap Nadia sembari memainkan tangan mungil Andin dan Andita. 

 

 

 

“Saba raja, Nad. Mungkin ini belum rezeki kamu. Mana tahu ksuatu hari kamu akan diterima bekerja di perusahaan lain, kan?” Aku menanggapinya dengan member semangat dan juga harapan pada sepupuku.

 

 

 

Toh, selama ada gadis itu di sini, aku jadi lebih mudah mengawasi dan merawat putri kembar ku. Sifat keibuannya buat aku tak ingin menitipkan anakku ke orang lain karena bagiku hanya Nadia yang mampu menjaga dengan kasih sayang yang tulus.

 

 

 

Usai mengganti pakaian si kembar, aku melangkah ke kamar memeriksa beberapa helai pakaian kotor Beni karena dua hari lagi ia akan kembali ke lokasi proyek. Selama di rumah, aku hanya bergelut dengan beberapa pekerjaan yang sangat biasa dilakukan seperti memasak, mengepel dan mencuci piring. Iya, walau terkadang ada Nadia yang siap membantuku kala si kembar sedang terlelap.

 

 

 

Hari-hari yang kulalui sekarang begitu sibuknya hingga waktu berjalan begitu cepat yang membuat usia si kembar semakin bertambah. Bergantian menjaga dan juga merawat dengan Nadia terkadang juga sangat melelahkan sedang Beni bisa dihitung jari untuk member perhatian terhadap anak-anaknya. Bahkan saat-saat seperti ini mereka lagi aktif-aktifnya. 

 

 

 

Seperti biasa, Beni pergi ke kantor dan lembur  hingga harus pulang larut malam. Dan ketika suamiku pulang seringkali Andin dan Andita sudah tertidur. Waktu terus berlalu tanpa terasa si kembar saat ini sudah tumbuh besar menjadi gadis kecil yang sangat cantik. Nadia sering mengatakan mereka sangat mirip denganku—Ibunya. Usia enam tahun banyak member mereka pengalaman baru daan seringnya mereka tidak pernah melewati untuk bercerita padaku.

 

 

 

 

Walau sekilas wajah mereka sangat mirip tapi, aku dapat membedakan masing-masing di antara penampilannya. Aku selalu menandai Andin dengan bandonya yang lucu selalu lengket di kepalanya sedangkan Andita aku tandai dengan tidak memakai bando karena ia tipe anak yang agak cuek tak ingin ribet apalagi ada benda yang nyangkut di pucuk kepalanya.

 

 

 

Satu hal yang membuatku suka dengan mereka adalah di bagian rambutnya yang tergerai sepunggung dengan potongan poni yang rapi di kening keduanya. Aku bersyukur dan bahagia sekali mendapat anugerah terindah seperti mereka dalam kehidupanku.

 

 

 

“Ma, Papa mana, sih, kok nggak pernah lagi jenguk kita di rumah?” tanya Andin yang terlihat heran sembari bergelayut manja di dekatku.

 

 

 

“Iya, Ma. Andita juga udah kangen banget sama Papa. Udah satu minggu ini belum juga pulang, Ma?” timpal  Andinta yang ikut berekspresi sedih di depanku.

 

 

 

“Mungkin Papa masih sibuk dengan kerjaannya di kantor,  Sayang.”Aku mencoba menjawab dengan sikap tenang di hadapan kedua putriku meski sesak dalam dada ini terasa.

 

 

 

Dua hari yang lalu, tiba-tiba Nadia mendapat panggilan kerja ke luar kota. Jadilah aku tinggal di rumah dengan bertiga dengan putri kembar ku. Semenjak Nadia tidak ada lagi, rumah terasa sepi karena canda tawa gadis itu lenyap bersama kepergiannya. Hingga waktuku tersita hanya untuk mereka saja bahkan sikapku itu membuat Beni merasa terabaikan.

 

 

 

Siang ini aku baru saja mendapat telepon dari suamiku, katanya, ia akan pulang sebentar lagi. Beni juga  ingin membicarakan sesuatu padaku. Untuk menyambut kedatangan sang suami aku memasak makanan kesukaannya dan merapikan kamar serta menggantikan seprainya agar suamiku mendapatkan kenyamanan dan bisa betah di rumah. Terlebih si kembar sangat ingin berjumpa dengan papanya.

 

 

 

“Mama! Papa pulang … Horee ….” Suara teriakan Andin dan Andita begitu jelas terdengar ditelingaku. Akhirnya rindu mereka terobati  juga yang mengharap orang tuanya pulang.

 

 

 

“Iya, Sayang. Yuk kita sambut Papa!” Aku mengajak mereka ke depan pintu gerbang sembari membukanya.

 

 

 

Benar saja, begitu Beni turun dari mobil seketika si kembar myambarnya dengan memeluk papanya dengan erat seolah tak terlepas lagi. Aku tersenyum melihat kebahagiaan yang terpancar sinarnya di hadapanku. Begitu juga aku sendiri ikut menikmati kebahagian ini.

 

 

 

Beberapa saat kemudian, kami makan siang bersama. Andin sangat antusias ingin duduk di sebelah papanya sedangkan Andita hanya tersenyum menatap mereka. Sikap cuek gadis itu terlihat jelas Karen aia tak ingin menganggap segala sesuatu itu berlebihan. 

 

 

“Kakak jangan manja begitu sama Papa nanti juga Papa pergi lagi dan ninggalin kita bareng Mama,” ucap Andita menatap sang sang Kaka yang tidak ingin jauh dari papanya walau hanya sedetik.

 

 

 

“Tapi kan, aku masih kangen Papa,” jawab Andin menatap Beni yang tiba-tiba berubah sikap menjadi acuh.

 

 

“Udah, ya, manja-manjanya, sekarang Papa mau tidur dulu karena capek, tahu!” seru Beni  yang nyaris membuat Andin menangis karena di bentak oleh papanya.

 

 

 

“Sayang, jangan gitu, dong, sama Andin. Kan, wajar kalau ia kangen sama papanya,” ucapku mencoba memberi pengertian pada suamiku itu.

 

 

 

Melihat ekspresi wajah Beni aku segera member kode pada dua putriku, “Andin … Andita, kalian masuk kamar dulu ya, Sayang. Mama mau bicara sama Papa dulu sebentar. Nanti mama nyusul ke kamar kalian, ya?” Mungkin mereka tidak boleh tahu dulu dengan sikap papanya yang selalu aneh tiba-tiba.

 

 

 

“Sayang, aku minta, ya, sama kamu tolong perhatiin mereka barang sebentar saja.” Aku mengusap lembut punggung tangan suamiku berharap ia melunak hatinya dan memahami apa yang putri-putrinya rasakan.

 

 

 

“Kamu … bela aja terus mereka! Apa kamu tahu, gara-gara mereka aku sebagai suamimu sama sekali tidak kamu pedulikan. Apa segitu pentingnya, ya, mereka buat kamu. Jawab Dinda?” gerutu Beni padaku seakan ini semua adalah salahku. 

 

 

 

“Sayang, bukannya aku tidak peduli sama kamu tapi waktuku selama ini habis hanya untuk ngurus anak-anak kita. Kamu bisa mengerti kan, gimana aku repotnya merawat mereka berdua,”balasku beranjak dari tempat dudukku.

 

 

 

“Oke, cukup. Aku mau istirahat dulu,” lanjut Beni sambil berlalu dan menaiki tangga menuju ke kamar.

 

 

 

Aku menarik napas cukup dalam dan mengembuskannya perlahan agar pikiran dan hati bisa lebih tenang sejenak. Rasanya sulit bagiku untuk percaya bahwa suamiku sangat abai dengan Andin dan juga Andita yang jelas-jelas begitu merindukan papanya karena selama ini jarang bertemu.

 

 

 

Keesokan harinya, aku perhatikan Beni sudah sedikit jauh lebih baik dari dari kemarin. Itu semua terlihat kala Andin dan Andita menyapanya dan mengajaknya untuk bermain bersama.  Harusnya pemandangan seperti itu yang selalu tercipta di antara anak dan orangtuanya.

 

 

 

Beberapa menit belalu, sembari menagawasi si kembar, aku berusaha mendekati Beni dan ikut bermanja dengannya. Memberinya sebuah kecupan hangat dan ia pun membalasnya di hadapan kedua putri kami. Melihat itu semua rasanya kebahagiaan yang kumiliki telah lengkap dan tidak kurang satu apapun. 

 

 

 

“Sayang, kemarin di lokasi aku ketemu dengan seorang klien dan orang sangat baik. Aku beberapa kali minum kopi dengannya tapi, entah kenapa wajahnya itu terasa familiar banget buat aku.”Beni berucap tersenyum sembari mengusap lembut rambutku.

 

 

 

Namun, perlakuannya kali ini bukan di hadapan si kembar melainkan saat ini kami sedang berada di kamar saja. Lagi, saat kami hendak melewati waktu romantis tiba-tiba andin dan Andita mengetuk pintu dan gangguan sikembar lansung membuat wajah Beni berubah begitu melihat aku memeluk kedua putriku.

 

 

 

Beni bangun dari tempat tidur lalu menutup pintu dengan sangat keras hingga suaranya seakan memekakkan telinga kami.

 

 

 

“Mama … Andin takut sama papa,”ucap Andin yang tubuhnya tiba-tiba memelukku dengan kedua tangannya yang begetar hebat. 

 

 

 

Bersambung …

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status