“Terkadang mencoba untuk hidup damai berdampingan dengan mereka itu tidak terlalu buruk asal kita sebagai manusia tidak mempunyai niat buruk untuk mempersekutukan dirinya dengan Tuhan.”
“Ma, apa Papa nggak sayang, ya, sama kita?” ucap Andita yang ikut memelukku dengan matanya yang berkaca-kaca.
“Stt … Jangang bilang gitu, ah, Sayang. Papa kalian itu sayang banget sama kalian berdua hanya sama mungkin Papa lagi kelelahan aja karena di kantor banyak kerjaan yang harus diselesaikan.” Aku menatap kedua putriku dengan rasa gelisah yang mendera, berharap apa yang mereka pikirkan tidak benar-benar terjadi.
“Mama! Andin mau es krim,” seru gadis kecil itu dengan nada agak tinggi. Itulah sifat Andin setiap punya kemauan ingin segera dituruti.
“Iya, Sayang. Tunggu sebentar, ya, mama ambil.”
Aku berlalu menuruni tangga dan segera melangkah ke dapur.Tiba-tiba aku seperti merasakan ada kehadiran mereka lagi, perlahan mencoba untuk memelankan gerakan agar aku bisa jelas mendengar bunyi aneh yang baru saja memenuhi pendengaran. Persis suaranya seperti ada menggaruk dinding, makin lama makin keras disertai lolongan anjing yang membuat suasana ruangan dapur ini makin mencekam.
Aku akhirnya segera membuka kulkas dan mengambil beberapa cup es krim dengan rasa vanilla dan tiramisu. Iya, itu kesukaan putri kembar ku yang entah kenapa malam-malam begini malah mau makan es krim. Heran, suara yang tadi kudengar sekarang lenyap bagai ditelan bumi mungkin karena aku mencoba fokus pada tujuanku hanya membuka lemari pendingin ini.
“Mama! Ma ….”
Astaga! Itu, kan, suara Andin dan Andita yang berteriak memanggilku. Akhirnya dengan sekuat tenaga aku berlari menaiki tangga langsung dua anak tangga terlewati saking takut terjadi apa-apa pada si kembar. Sesampai di kamar aku mendapati Andin menangis tersedu-sedu, lantas kudekap tubuhnya yang membeku bagai es dinginnya. Aku bisa merasakan adanya mereka yang tidak terlihat berdiri tegap dengan warna gelap dan rupa tak berbentuk lagi.
“Sayang, tenang, ya, Mama udah di sini sama kalian.” Aku mencoba menenangkan Andin dan juga memeluk Andita. Namun, kejadian itu tidak dialami oleh Andita mungkin karena jiwanya lebih kuat dibandingkan Andin.
“Ma, tadi Andita kaget banget waktu liat Kak Andin begitu takut. Andita nggak tahu harus berbuat apa, Ma,” ucap salah satu putriku dengan polosnya.
“Iya, Sayang. Nggak apa-apa kok. Sekarang kalian tidur, ya, Mama akan jaga kalian nggak ke mana-mana.
“Iya, Ma.”
Akhirnya si kembar pun terlelap dengan tenang. Sembari mengusap kepala putri-putriku, aku sempat berpikir bahwa mahluk gaib itu sebenarnya bukan bermaksud untuk menganggu manusia akan tetapi, mereka hanya mengawasinya dan memerhatikan gerak gerik manusia. Karena kedua mata ini terasa berat, lantas kupejamkan bersamaan dengan sunyi nya malam ini tanpa suami di sisi.
Paginya, seperti biasa aku bangun dan langsung menuju dapur menyiapkan sarapan untuk sekeluarga. Setelah selesai kemudian kutempatkan di atas meja di ruang makan. Saat hendak membangunkan si kembar, dua mata ini sungguh terkejut dengan apa yang terlihat di sana. Beni sedang tidur memeluk Andin dan Andita dengan hangat. Entah, kadang sikap suamiku begitu kurindukan dan kadang pula begitu kusesalkan.
“Hai, Sayang … Sini!” Baru saja suamiku memanggilku dengan mesra. Sungguh aku bingung dibuatnya.
“Mama, Papa udah pulang lagi ke rumah, hore ….” ucap Andin yang bermanja dengan Papanya.
“Iya, Sayang. Mama bilang juga apa, kan, Papa kelelahan aja.”
“Ya, udah sekarang kita sarapan bareng, Yuk! Mama udah siapin susu hangat dan roti selai coklat buat kalian.”
Selesai sarapan, putri kami kembali bermain di kamarnya. Sedang aku dan Beni masih duduk bersantai sejenak di sofa ruangan yang biasa dipakai buat nonton. Menikmati waktu berdua sekarang suatu kebahagiaan buatku karena biasanya waktuku selalu kuhabiskan bersama si kembar. Akhirnya aku bisa mengobrol dengan suamiku tanpa diganggu oleh Andin dan juga Andita.
Sebelum Beni berangkat ke bogor untuk menghandle proyek disana, Beni mengabariku bahwa ia akan mencari rumah di daerah bogor agar bisa selalu dekat denganku dan juga putri-putri kami. Suamiku tidak ingin berpisah dengan keluarga walaupun ia mengusahakan untuk balik ke rumah di sela-sela pekerjaan kantor. Karena ia hanya ingin tinggal bersama keluarganya.
Setelah ia berusaha mencari ke sana ke mari, Pak Handoko—kliennya tiba-tiba menawarkan sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari lokasi proyek Beni bekerja. Lantas suamiku pergi dengan lelaki paruh baya itu untuk mengecek lokasi rumah tersebut. Tak disangka, ternyata pertemuan suamiku dengan Pak Handoko membawa keberuntungan.
Seasampainya di rumah itu, suamiku seperti mengenal tempat itu dan merasa familiar dengan lokasi sekitarnya. Aku berpikir itu baik, setidaknya selagi kami tinggal di sana tidak perlu repot-repot menanyakan setiap jengkal arah jalan yang dituju. Aku menghargai setiap keputusan yang diambil oleh Beni karena sudah seharusnya istri patuh pada suaminya.
Keputusan ini juga bukan hanya untukku saja akan tetapi, ini juga untuk kedua putriku agar selalu bisa dekat dengan Papanya. Berkumpul bersama dan memainkan permainan yang mereka suka, itu semua hal terindah untukku. Sungguh, aku tak dapat membayangkan akan jadi apa dunia ini jika tak ada beni di kehidupanku. Pasti hampa seperti taman gersang yang bertahun-tahun tidak di basahi oleh hujan untuk menumbuhkan bunga-bunga yang indah dipandang mata.
Tak terasa malam pun tiba, lagi-lagi aku harus melewatinya dengan perasaan tidak tenang dan terlebih kedua putriku—Andin dan Andita. Semenjak kejadian malam itu saat mereka minta eskrim, gadis-gadis kecilku tidak ingin lagi tidur di kamarnya melainkan menempel di selimutku setiap malam. Dan mungkin karena itu suamiku tidak dapat lagi kenyamanan dan tentunya kegiatan romantis kami seperti waktu dulu saat mereka masih sangat kecil.
Aku tahu, bagaimana sulitnya menghadapi hidup yang setiap waktu dihadapkan pada perbatasan dimensi antara dunia nyata tempat kuberada dengan dunia lain yang dikatakan juga ‘Dunia Gaib’. Sungguh bukan kabar baik sama sekali, bahkan kuingin mata batin ini bisa tertutup untuk selamanya. Namun, semua itu tidak akan pernah terjadi selama aku masih bernapas di dunia fana ini.
Apalagi kalau dapat menembus masa lalu kelam seseorang. Bukankah itu sangat-sangat mengerikan untuk dibilang menikmatinya? Seperti kata Nenekku selaku orang yang lebih dulu memahami dunia gaib bahwa “Terkadang mencoba untuk hidup damai berdampingan dengan mereka itu tidak terlalu buruk asal kita sebagai manusia tidak mempunyai niat buruk untuk mempersekutukan dirinya dengan Tuhan.”
Hingga detik ini ucapan orang tua itu masih melekat kuat dalam dada ini seolah menjelma sebagai kekuatan di antara penglihatanku yang telah ada sejak aku masih kecil. Jujur, meski waktu itu aku belum bisa menerimanya akan tetapi, seiring berjalannya waktu saat usiaku dewasa aku mulai bisa menerimanya dengan sepenuh jiwaku. Berharap penglihatan ini dapat membawaku pada nasib baik bukan hanya sekedar keberadaannya semata.
Yang pasti saat menceritakan ini, sosok dari mereka sedang mendengar dan mengawasi setiap inci dari gerak-gerikku. Benar saja, saat ini bulu kudukku meremang diringi embusan napas yang begitu dingin hingga menusuk tengkukku.
Bersambung …
Terima kasih yang udah baca, semoga terhibur ya ...
Benar kata orang terdahulu bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Iya, aku telah melakukan kesalahan yang terbesar dalam hidupku sendiri. Bahkan akibatnya ada hal terburuk yang terjadi padaku, dua biji mataku tersayang kini telah pergi menghadap pencipta alam semesta.Terduduk menyepi di keremangan malam meratapi seribu rindu yang merasuk kalbu. Hingga membuat luka semakin membuka lebar seolah membusuk dalam jiwa.Hasrat cinta yang dulu indah kini dibelenggu oleh dendam mematikan. Keinginan mengarungi kebahagian tak terbatas waktu kini bagai kapal di tengah laut karam tanpa jejak.Sungguh hancur entah bagaimana bentuknya hidupku yang malang tanpa ketulusan seperti dulu.Suami yang pernah kusanjung dan puja kini menancapkan sebilah belati terhunus dalam jantung yang selalu berdebar ketika sentuhan cintanya menyapa.Namun, kisah cinta ini berhenti kala penghianatan terkejam merenggut jiwa-jiwa tercinta.Kupeluk kedua lututku dengan embusan napas yang masih menyesakkan. Tak mampu kuhe
Adengan demi adegan kelam masa lalu Beni terpampang begitu nyata dalam penglihatan batin ku. Yang palin mengejutkan ketika kebejatannya terungkap olehku ketika adegan pemerkosaan terhadap gadis cantik yang tidak lain adalah Maya. Iya, gadis yang selama ini gentayangan di rumahku dan selama ini terus menggangguku. Ternyata kata Nenek Idah benar adanya, bahwa kehadiran mereka bukan untuk mengusik kehidupanku akan tetapi ada urusan yang belum selesai di dunia ini. Dan mungkin ada hubungannya denganku. Kebenaran yang dulu tersembunyi kini telah muncul ke permukaan. Bahkan kelakuan menjijikan Beni terhadap gadis mata sendu yang bernasib malang."Dinda, sekarang kamu sudah tahu semuanya. Apapun keputusan yang akan kamu ambil, Nenek mohon jangan sampai membuatmu menyesal nanti. Tolong kamu pikirkan baik-baik, Nak." Nenek Idah mencoba memperingatkanku akan konsekuensi yang akan terjadi pada kehidupanku."Tapi, Nek, Dinda sama sekali nggak pernah menyangka kalau Beni tega berbuat kejam pada
“Tuhan! Apa yang telah kulewatkan? Mengapa aku belum juga ikhlas menerima kenyataan buruk ini?” Entah berapa kali aku terus bertanya pada pencipta alam semesta ini. Sepertinya aku sudah mulai tidak waras dalam berpikir. Bagaimana bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan aku terus mengingat kejadian yang selalu mampu menghancurkan hati ini hingga berkeping-keping. Kini, sosok perempuan cantik itu nyaris tidak meninggalkan aku barang sedetik pun. Bahkan, di malam yang pekat ini mata sendunya sedang menatap aku dengan posisi mulutnya yang menampilkan senyum penuh arti. Saat ini, aku hanya sendiri di kamar karena kebetulan Beni harus pergi secara mendadak ke kantor. Salah satu karyawan beberapa menit yang menelepon suamiku. Namun, ada sesuatu hal yang kurasa ingin hantu ini sampaikan. Berkali-kali seperti kemarin malam saat bayangan gaun putih mengambang di hadapanku ia menggerakkan mulutnya dan itu sama persis seperti yang sudah-sudah. “Bunuh!” Entah apa maksudnya kata-kata itu. Ak
"Tapi, kan, bukan kita penyebab pembunuhan Andin dan Andita, Sayang." Beni tetap mempertahankan pendapatnya akan tetapi, aku akan terus berusaha membujuk suamiku. Akhirnya aku minta waktu satu hari pada pihak polisi karena saat ini kuarga kami masih berduka atas kepergian si kembar yang kami cintai."Aku ngerti, sayang. Tapi tadi aku udah coba menjelaskan dan meminta sedikit pengertian agar menunda pemeriksaan sama kita. Jadinya, besok kita harus menuruti dan ikut bekerja sama dengan mereka. Iya, Sayang?" Aku kembali menerhatikan mimik wajah Beni yang tidak bersemangat. Ada gurat kesedihan yang mendalam di sana.Usai menghadiri pemakaman, kini para polisi dan semua warga yang tadi terlihat sekarang sudah pergi meninggalkan aku dan suamiku yang masih berlutut di pusara buah hati tersayang. Bukan hanya kami saja tapi Nadia dan Nenek juga bersama di sini. Ingin rasang meluahkan segala rasa yang menyesakkan dada ini pada pusara mereka. Namun, a
“Adinda, Sayang!” Aku sangat mengenal suara itu, siapa lagi kalau bukan Nenek Idah. Tangan ringkih wanita itu mengusap lembut bahuku dan aku pun berbalik ke hadapannya. Dengan air mata yang membanjiri seluruh wajah, aku langsung menarik tubuh Nenek Idah dan ingin mendekapnya erat. “Apa yang menyebabkan semua ini, Sayang? Kenapa ada orang yang tega membunuh Andin dan Andita?” Bisa kulihat raut wajah Nenek Idah begitu pilu saat beliau bertanya padaku dengan tatapannya yang serius. “Dinda juga nggak tahu, Nek. Dinda ... Dinda benar-benar nggak percaya ketika melihat si kembar sudah tergeletak di lantai penuh dengan darah.” Aku mencoba menjelaskan pada wanita tua di hadapan ku meski rasa teriris dalam hati ketika mengingat kejadian mengerikan itu. “Terus, Mas Beni nggak sadar ada orang yang masuk dalam rumah kalian, Mbak?” timpal Nadia dengan pertanyaan yang aku tidak tahu juga jawabannya. “Oh, Tuhan! Kenapa ini semua bisa kejadian begin
Kubangan darah itu mengalir, mengucur dari tubuh Andin dan Andita. Dua bola mataku nyaris keluar dari kelopaknya ketika tertuju pada kedua buah hatiku yang sudah terbujur kaku bersimbah darah. Cairan berwarna merah itu mengucur deras dari kedua leher mereka yang telah tergorok begitu dalam dan menampakkan luka lebar yang menganga.Lepas itu semua ada yang lebih menyakitkan lagi ... bahkan ke dua tangan putri kecil ku telah terpotong dengan kejam. Tuhan? Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga Engkau menghukumku seperti ini.Kenapa bisa ada mahluk yang bisa membunuh anak kecil sebegitu kejamnya. Masihkan ia punya hati, Tuhan?Kenapa Engkau tak mencabut saja nyawaku? Dari pada harus menerima kenyataan dunia yang sungguh kejam.Iblis mana yang tega membunuh dua putri kecil ku, Tuhan?Aku terduduk dalam kubangan hitam itu. Kuangkat kepalanya Andin perlahan kuusap pipi mungilnya. Kulihat raut wajah gadis kecil ku pucat pasi serta terasa begit