Share

Mas Dani Tetap Milikku

“Mas, maaf, ya. Aku nggak bilang dulu kalau ada Siska juga kemarin.” Aku sibuk menyiapkan baju ganti untuk suamiku. Mas Dani duduk di sofa sambil melepas sepatu. Juga beberapa atribut yang masih melekat di badannya. Jas, dasi dan jam tangan.

 “Iya, nggak apa-apa. Sikap kamu kaya aneh kemarin itu.”

 “Kamu tau, kenapa aku melakukan ini?”

 Mas Dani menggeleng. Aku mengambil smartphone dan langsung membuka galeri untuk mencari hasil tangkapan layar itu. Setelah ketemu, baru kuperlihatkan kepada suamiku. Dia mengamati, membaca satu per satu pesan.

 “Aku, kok nggak tau kalau Siska chat, Dek?”

 “Iya. Aku hapus. Maaf, ya, lancang buka HP-mu.”

 “Enggak apa-apa. Aku juga nggak ngerti kenapa sikap Siska kaya gitu. Aneh rasanya.”

 Aku mendekat. Duduk tepat di samping suamiku. “Mas, kamu tau kenapa Siska begitu?”

 “Kenapa?”

 “Karena dia suka kamu.”

 “Masa, sih, Dek?”

 “Iya, Mas.”

 “Padahal, sikapku biasa aja.”

 “Gimana ceritanya Siska bisa dapetin nomor kamu? Kita, kan tau, dia itu jarang bersosialisasi.”

 “Aku juga nggak tau, Dek. Waktu itu, aku ngasih uang jajan ke anaknya. Beneran , itu sebatas uang jajan. Aku nggak tega liat dia bengong, sementara temen-temennya pada pegang makanan.”

 Lima tahun hidup bersama Mas Dani, menjadikanku paham dengan karakternya. Terutama, sikap welas asih, sopan santun dan gampang mengiba yang justru sering dimanfaatkan oleh sebagian orang. Beberapa kali, Mas Dani ditipu karena meminjami uang kepada rekannya, tetapi tak kunjung dikembalikan hingga saat ini.

 Mungkin, Siska terlalu terbawa perasaan dan langsung salah mengartikan kebaikan Mas Dani. Apalagi, dia baru saja resmi bercerai dari suaminya. Mungkin juga, ia merindukan sosok lelaki yang mampu mengayomi keluarga. Namun, Siska keterlaluan, dia tidak memikirkan baik-buruknya.

 “Terus gimana, Mas?”

“Malemnya dia W*. Intinya ngucapin terima kasih.”

 “Hemm ... dia pernah pinjem uang sama kamu, 'kan? Aku baca chat-nya.”

 “Pernah. Katanya mau buat bayar buku anaknya.”

 “Kamu kasih, Mas?”

 “Kasih. Aku titipin anaknya. Sikapku ini salah, ya, Dek?”

 Aku menatap lelaki itu hingga pandangan kami saling bertemu. Mas Dani memang bukan sosok sempurna. Di balik kebaikan-kebaikan yang ditebarkan, terkadang ia lalai. Hingga tak memikirkan diri sendiri. Sebagai istri, aku harus mampu menutupi semua kekurangan itu. Bertekad menjadi tameng bagi separuh jiwaku ini. Bukankah rumah tangga itu harus saling? Saling dalam kebaikan-kebaikan. Itulah yang aku ikrarkan kepada diriku sendiri. Sebab itu, tak akan kuizinkan seorang pun mengusik rumah tangga kami.

 “Berbuat baik itu nggak salah. Tapi, kalau kebaikan kita dinilai lebih sama orang lain? Buat orang lain baper, gimana? Apalagi kita tau Siska itu siapa. Mas pasti tidak ingin ada fitnah, kan?”

 “Maaf, ya, Dek.”

 “Tetap berbuat baik kepada anaknya. Tanpa berhubungan dengan ibunya. Bisa, Mas?”

 “Bisa.”

 “Besok jangan diulangi, ya, Sayang.”

 “Iya. Aku blokir nomor Siska.”

 “Udah aku blokir.”

 “Oh, ya?”

 “Iya. Kalau nggak gitu, gagal rencanaku kemarin. Karena, dia pasti bakal nge-chat kamu.”

 “Istriku pinter.”

Handphone-ku terlihat bergetar, aku segera mengambil di atas meja. Sebuah pesan W******p dari nomor tak dikenal.

 “Kamu kira, kamu menang!”

 Nomor siapa ini?

 Aku membaca pesan itu penuh tanya. Sejenak, terlintas display picture yang sama dengan akun Siska. Aku membuka untuk memastikan. Benar saja, Siska-lah pengirim pesan itu.

 “Mas, lihat ini. Dia emang cari gara-gara, kan?”

 “Siapa?”

 “Siska.”

 “Nggak usah ditanggepin, ya.”

 Aku menuruti perintah suami. Membiarkan pesan itu tak terbalas. Segera kuperintah Mas Dani untuk mandi. Melihatnya berjalan dengan tubuh yang masih terlihat lelah membuat rasa cintaku semakin membuncah. Dia adalah seseorang yang rela bekerja keras demi menghidupiku, walau sampai sekarang, aku tak kunjung menghadirkan buah hati di tengah keluarga kami.

 Sembari menunggu Mas Dani selesai mendi, aku menyiapkan makanan di dapur. Sop ayam dan tempe goreng adalah makanan kesukaan suamiku. Memang sesederhana itu. Ia tak pernah meminta macam-macam.

 Saat sedang menyiapkan bahan-bahan, terdengar ketukan pintu dari luar. Aku segera menghampiri. Terlihat seorang wanita berambut panjang telah berdiri di depan pintu. Aku seperti paham dengan tubuh ini.

 “Ada apa, ya?”

 Wanita itu membalikkan badan. Aku terkejut saat kuketahui ternyata Siska. Mau apa wanita ini? Dia bahkan sudah berani datang ke rumahku?

 Siska terlihat membawa sebuah wadah. Sedikit lengking senyum di wajahnya, terlihat penuh dendam.

 “Mau apa kamu?”

 “Mas Dani ada?”

 Apa? Siska menanyakan suamiku?

 “Nggak waras kamu, ya?” tanyaku dengan nada sedikit meninggi.

 Tanpa rasa malu sedikit pun, ia justru senyum-senyum.

 Di ujung jalan, terlihat wanita setengah baya sedang berjalan menuju rumahku. Dia adalah ibu mertuaku. Rumah kami memang cukup dekat, masih satu satu komplek. Walau begitu, Ibu jarang mengunjungiku. Biasanya, aku yang lebih sering datang ke rumahnya. Entah apa tujuan kedatangan ibu sekarang.

 Aku mengabaikan Siska demi menyambut Ibu.

 “Ibu.” Aku menyalaminya. “Sini masuk, Bu.”

 “Iya.” Ibu hanya menjawab sepatah kata saja. Ia justru mengalihkan obrolah pada Siska. “Siska? Udah dari tadi? Maaf, ya, tadi Ibu mampir ke rumah Bu Puput dulu.”

 Jadi, Ibu dan Siska sudah janjian? Mereka terlihat akrab sekali. Seolah mengabaikan keberadaanku.

 Aku yang merasa diacuhkan, akhirnya turut melebur dalam obrolan itu. Siska pasti akan senang jika aku hanya diam tak berkutik, sementara ia sedang berusaha cari muka di hadapan ibu mertuaku.

 “Emmm ... maaf, Siska. Tadi kamu belum bilang, ya, keperluanmu apa? Sekarang kalau nggak ada perlu, mending balik aja ke rumah. Istirahat di rumah, ya.” Kutepuk pundak Siska sedikit keras, tak lupa kuperlihatkan tatapan penuh intimidasi.

 “Lho, belum juga masuk, kok udah di suruh pulang? Kamu itu gimana, sih, Na?” Ibu yang justru menanggapi perkataanku. Saat ini, Siska pasti sedang tertawa girang, karena mendapat pembelaan dari Ibu.

 “Maaf, Bu. Bukan begitu. Masalahnya, dari tadi Siska nggak bilang ada keperluan apa datang ke sini. Saya ‘kan jadi bingung harus gimana?”

 “Tetangga datang, ya bisa aja mau main. Nggak harus ada keperluan, ‘kan?”

 Aku hanya tersenyum penuh paksaan. Bisa-bisanya Ibu terus membela wanita tak beretika ini.

 “Gini loh, Mbak Ana. Aku ke sini ada keperluan, kok. Aku disuruh sama ibu nganterin ini.” Siska menunjuk wadah yang dipegangnya.

 “Apa itu?”

 “Makanan buat Mas Dani sama Mbak Ana.”

 “Nggak perlu repot-repot, Sis. Lagian, aku mau masak ini.”

 “Nggak repot, kok, Mbak. Ini sebagai tanda terima kasih aja, karena kemarin udah ditraktir.”

 Siska sama sekali tak merasa bersalah. Ia terlihat percaya diri saat mengutarakan itu.

 “Lagian aku udah motong bahan-bahan tadi. Tinggal masak aja.”

 “Bahan-bahan itu, bisa buat besok lagi. Ini Siska udah bawain makanan,” ucap Ibu.

 “Iya, Mbak. Ini aku bawain Sop ayam sama tempe goreng.”

 Aku terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa Siska memasak menu yang sama denganku? Apa jangan-jangan, ia tahu makanan kesukaan suamiku? Tapi, bagaimana dia bisa tahu?

 “Yasudah. Tunggu sebentar, aku ganti wadahnya.” Terpaksa aku menerima makanan Siska, Ibu terus saja memaksa.

 Aku membawa masuk makanan itu. Terlihat, Siska ikut membuntutiku bersama Ibu. Aku menoleh ke belakang. Benar saja, padahal aku tidak menyuruhnya masuk.

 Mereka duduk di ruang tamu. Ibu dan Siska terlihat mengobrol akrab.

 Aku cepat-cepat mengganti wadah makanan itu, sebelum Mas Dani selesai mandi. Tak akan kubiarkan Siska bertemu suamiku. Ia pasti ingin tebar pesona dengan Mas Dani.

 “Siska, ini wadahnya. Makasih banyak, ya.”

 Setelah kuberikan wadah itu, kukira Siska akan pulang. Rupanya, ia masih asyik duduk.

 “Siska, ini sudah mau Magrib. Aku sama Mas Dani mau sholat dulu,” usirku secara halus.

 “Nggak apa-apa, Mbak Ana. Aku tungguin.”

 Heran! Memang sudah putus urat malunya mungkin! 

 “Habis Magrib, biasanya kami ngaji. Dan itu lama.”

 “Nggak apa-apa, Mbak,” jawab Siska santai.

 Aku mendekat ke arah Siska. Lantas memperlihatkan ponsel. Sebuah foto sudah terbuka.

 “Pulang? Atau aku kirim ini ke Bu Nur?” bisikku tepat di telinga Siska.

 Hasil tangkapan layar itu, ternyata cukup untuk membuat Siska ketakutan. Ia segera mengambil wadah makanan dan segera pamit pulang.

 “Lho, kenapa buru-buru?” Ibu mungkin heran dengan perubahan sikap Siska.

 “Siska ada urusan. Iya, ‘kan, Sis?” jawabku. “Ibu mau ikut jamaah di sini?”

 “Nggak. Mau pulang aja bareng Siska.”

 Mereka pun pulang. Dalam hati, aku tertawa geli melihat tingkah konyol kedua wanita itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status