Share

Masih Bertingkah Saat Kerja Bakti

Pagi ini, aku beserta suami sudah bersiap dengan kaos dan celana training. Setiap hari Minggu memang selalu diadakan bersih-bersih. Selain menjaga lingkungan, kegiatan ini juga sebagai ajang bersilaturahmi bersama tetangga. Selesai bersih-bersih, kami akan makan bersama. Walau tergolong hidup di kota. Namun, gotong-royong masih tertanam kuat.

Di lokasi, tampak warga telah berkumpul dengan membawa peralatan kebersihan masing-masing. Mas Dani segera bergabung bersama grup bapak-bapak. Sementara, aku berkumpul dengan ibu-ibu yang terlihat sedang sibuk menyiapkan makanan di teras rumah Pak RT. Keramaian mewarnai perkumpulan mereka. Entah apa yang sedang dibahas. Namun, mereka terihat saling menyahut. Sesekali terdengar tawa terbahak.

“Rame bener.”

“Eh, Mbak Ana, sini!” sapa salah satu warga.

Ada yang aneh pada pemandangan kali ini. Wanita yang baru kemarin berseteru denganku, ternyata berada di tempat yang sama. Tidak biasa Siska turut terjun bersama warga melaksanakan kegiatan mingguan. Biasanya, hanya bapak dan ibunya yang hadir. Entah apa yang akan wanita ini lakukan. Mencoba menepis semua prasangka buruk, tetapi tetap saja aku berpikiran negatif, setelah apa yang ia perbuat kemarin.

Aku membantu Bu Nur mengiris wortel untuk dibuat isian tahu. Aku dapat merasakan, Siska berulang kali melirik ke arahku. Sebenarnya, bisa saja langsung menyerangnya. Namun, kali ini, aku tidak ingin kehilangan wibawa, apalagi di hadapan para tetangga. 

Amarahku kian bergermuruh, Siska mulai menunjukkan ketidaksukaannya terhadapku. Ia seperti sengaja menumpahkan air, tepat mengenai bajuku. Apalagi, wajahnya yang menyiratkan raut sinis. Rupanya, wanita ini kembali ingin mencoba menyalakan api.

“Eh, maaf,” kata Siska sok polos.

“Hati-hati, Siska. Maaf, ya, Mbak Ana. Ceroboh sekali Siska ini.” Bu Nur menimpali.

“Engga apa-apa, Bu. Ini cuma basah dikit. Nanti juga bisa kering sendiri.”

Aku mencoba memikirkan strategi. Bagaimana bisa menjatuhkan Siska? Namun, dengan cara yang elegan. Kurasa, wanita seperti Siska akan tertawa puas saat emosiku meledak. Karena, hal  itu yang memang diharapkan darinya. Dia kira, aku tak paham. Gelagatnya sudah terbaca.

“Bu Nur, Siska tumben ikutan ke sini?” tanyaku. 

“Iya. Tumben banget?” Beberapa ibu lain turut bersuara.

“Nggak tau itu. Tadi katanya mau ikut. Ya, tak ajak ke sini.”

“Oh, mungkin, kangen sama saya, Bu. Iya, nggak, Sis?” tanyaku diikuti tawa kecil.

Tak ada jawaban dari Siska. Ia hanya tersenyum kecut. Aku sudah punya senjata. Di mana sekali tembak, akan mampu melumpuhkan lawan. Namun, ini bukan saat yang tepat. Aku masih menjaga adab untuk menyimpan aib saudaranya. Iihat saja nanti, jika Siska tetap berulah, maka tunggu peluru tepat mengenai sasaran.

“Siska, sini, deh. Bantuin kupas bawang!”

“Bentar.”

“Siska, itu dipanggil Mbak Ana. Jangan main HP aja.” Lagi-lagi, Bu Nur memberikan pembelaannya terhadapku. Sebelum Siska menguasai suamiku, aku sudah terlebih dahulu menguasi ibunya. Jadi, jangan harap bisa mengambil apa yang telah menjadi milikku.

Siska tak bisa menolak perintah ibunya. Dia segera datang menghampiriku dengan raut wajah ditekuk. Sebenarnya, untuk menjadi sekelas pelakor, Siska ini belum terlalu handal. Kemampuannya masih terlalu minim. Apalagi harus berhadapan dengan istri sepertiku.

“Sini, duduk di sampingku.” Aku menarik tangan Siska dengan tarikan sedikit keras. Menginstrukan agar ia duduk.

“Siska, tumben banget kamu ikut kegiatan warga. Ada apa gerangan ini?”

tanyaku kembali. 

“Pengen aja.”

“Besok lagi, gini, ya. Ikut kumpul sama kita. Asyik kok. Bisa bercanda macem-macem. Apalagi Bu Reni sama Bu Rima. Sukanya bahas sinema ikan terbang yang pelakor-pelakoran. Seru. Iya, kan, Bu?”

“Ha-ha. Iya. Bu Rima tuh yang mulai,” jawab Bu Reni.

“Ah, abisnya gemes. Pengen bejek-bejek wanita yang suka godain suami orang. Kaya nggak ada laki-laki lain aja. Kalau ketemu wanita macam itu, udah aku habisin, deh.” Bu Rima menambahkan.

Benar saja, pancinganku berhasil. Topik yang dibahas mengarah pada sikap Siska. Dia pasti tidak nyaman dengan sindiranku. Perbincangan terus saja seputar masalah itu. Ibu-ibu tetap menikmati obrolan. Mereka tidak tahu, jika sedang ada dua hati yang berperang.

“Oiya, Sis. Kapan-kapan, kita makan bareng lagi, ya.”

Belum ada jawaban dari Siska, Bu Reni sudah menyela. “Loh, kalian makan bareng?”

“Iya, kemarin. Berbanyak, kok. Ada aku, Mas Dani, Bu Nur, Pak Hadi, sama Siska.”

“Ceritanya double date, nih? Eh, tapi Siska sendiri. Hi-hi."

“Iya. Jadi obat nyamuk, dong?” Bu Rima terkikik. Kerempongan duo R itu memang tidak diragukan lagi. Mereka suka bicara cepas-ceplos. Apalagi jika sedang ada sasaran buli seperti ini. Pasti bersemangat. Walau semua hanya sebagai candaan semata untuk mengasyikkan suasana.

“Makanya, cepetan cari bapak baru buat Rehan.”

“Eh, tapi katanya Siska udah punya tambatan hati, kok. Betul begitu, Sis?” Aku kembali memanaskan suasana.

“Siapa?” tanya duo R serentak.

“Belum,” jawab Siska sepatah kata saja.

“Belum ada yang dikenalin ke rumah, kok.” Bu Nur menambahkan.

“Semoga cepet dapat bapaknya Revan yang baru. Tapi, harus pastikan, kalau dia bukan suami orang.” Sindiran kuberikan untuk Siska kembali.

Dari balik pintu, terlihat Bu RT membawa teko beserta gelas. “Bu Nur, tolong kasih minuman ini ke bapak-bapak yang sedang bersih-bersih di sana, ya.”

“Iya, Bu.”

“Biar Siska bantu, Bu.”

Tiba-tiba, Siska menyerobot saja. Ia mengambil nampan berisikan gelas. Lalu, segera membawa ke tempat laki-laki bersamaan dengan Bu Nur. Lagi-lagi, aku tak bisa berpikir positif. Apa yang akan dilakukan Siska saat sedang berhadapan dengan para lelaki? Tebar pesona? Ah, entah. Kuharap itu tidak terjadi. 

Beberapa saat, Bu Nur telah kembali. Satu yang mencengangkan, ia kembali tanpa Siska. Di mana wanita itu?

“Loh, Bu Nur, Siska mana?”

“Katanya, mau bantuin nyapu sebentar di depan,”

Pikiranku semakin tidak karuan. Entah, rasa malunya, ia taruh di mana. Jelas-jelas tidak ada kaum wanita di sana. Hanya ada para lelaki, karena wanita memang sudah memiliki tugas sendiri. Aku tak yakin, Siska tak memiliki niat terselubung di balik kehadirannya pada kegiatan ini.

Ingin turut menemui Siska, tetapi apa bedanya aku dan dia? Aku tidak sama dengan Siska yang telah kehilangan rasa malu. Akhirnya, aku hanya mampu menunggu dengan perasaan was-was. Kepercayaan, masih tercurah kepada Mas Dani. Ia pasti tidak akan tergoda dengan Siska.

Siska baru kembali setelah kegiatan selesai. Ia datang bersama rombongan lelaki yang berjalan menuju rumah Pak RT. Hidangan telah siap, kami akan makan bersama di halaman rumah Pak RT. Tempat ini memang sudah biasa menjadi tempat perkumpulan warga. Ada bale persis di depan rumah Pak RT.

Ibu-ibu sibuk mempersiapkan makanan. Siska, terlihat sudah stand by di garda terdepan untuk memberikan kepada antrean bapak-bapak. Ingin sekali kutonyor kecentilannya itu. Entah, hanya aku saja yang merasakan kejanggalan sikap Siska, atau ibu-ibu lain juga turut merasakan. Kali ini, aku yang telah mengamati dengan jelas.

“Mas Dani, minumnya mau saya ambilin sekalian?” Samar terdengar suara Siska. Aku yang sedang berada di belakang, segera maju menghampiri Siska.

“Mas ... minumnya ada di sebelah sana. Kamu bisa ngambil sendiri, kan? Atau, perlu aku ambilin?”

“Nggak usah, Dek. Aku ambil sendiri aja sekalian.”

Berani-beraninya Siska bersikap sok manis kepada suamiku. Padahal, ia tahu aku berada di tempat yang sama. Lagian, kalau niat ingin membantu, mengapa hanya suamiku saja yang ditawari untuk diambilkan minum? Dasar, tak tahu malu! 

Bersambung .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status