Share

Siska Terlihat Tak Main-Main

Aku menghela napas panjang setelah kepergian dua wanita itu. Sikap Ibu sudah menjadi makanan sehari-hari. Tak heran jika aku semakin kebal dengan perlakuannya yang seringkali menujukkan ketidaksukaan terhadapku.

Mas Dani baru selesai mandi. Ia mengucek-ucek rambutnya yang masih basah dengan handuk.

“Barusan ada siapa, Dek? Ibu, ya?”

“Iya, Mas.”

“Mana? Udah pulang?”

“Udah.”

“Kok sebentar? Ngapain emang?”

“Nggak tau juga mau apa.”

“Ngasih makanan itu, ya? Kok tumben?”

Mas Dani pasti melihat makanan dari Siska yang aku letakkan begitu saja di dapur.

“Bukan. Itu bukan dari Ibu.”

“Lah, kamu yang masak, Dek? Kok kilat banget.”

“Itu dari Siska.”

“Siska?”

“Iya. Cari gara-gara mulu ya, wanita itu.”

Mas Dani meletakkan handuk basah begitu saja di sofa. Aku hanya geleng-geleng kepala. Sudah sering kuberi tahu untuk meletakkan handuk basah di tempat yang semestinya, tetapi tetap saja pesan itu tak diindahkan.

Dengan sukarela, kupindahkan handuk tersebut di gantungan yang telah disediakan. Setelahnya, aku kembali duduk di samping Mas Dani.

“Nggak ngerti lagi deh sama si Siska," ucapku. 

“Apa mungkin, dia emang tulus ngasihnya? Ya, sebagai tetangga yang baik gitu.”

Aku mengembuskan napas kasar. Kutatap wajah suamiku lekat. “Hidup itu, tak melulu harus khusnudzon, Mas. Sedikit berhati-hati sama sikap Siska, itu juga perlu.”

“Iya, deh. Iya.”

Azan Magrib berkumandang. Mas Dani memerintahkanku untuk segera mengambil air wudu. Ia memutuskan salat di rumah.

Sajadah telah kusiapkan. Aku berada satu shaf di belakang Mas Dani. Lantunan ayat-ayat itu selalu terdengar merdu, membuat jiwaku yang sedang merasa tak karuan, menjadi tenang.

Usai menunaikan kewajiban, tak lupa kami berdoa. Satu hal yang tak pernah kulupakan dalam untaian doa-doa itu, tentu saja mengenai keluarga kecil ini. Aku ingin rumah tangga kami selalu dipenuhi kebaikan. Dan satu yang selalu kuharapkan sejak dulu, hadirnya buah hati yang akan mengisi keheningan rumah ini.

Aku  menyalami suamiku.

“Kapan, ya, Ibu bisa ngertiin keadaanku?”

Mas Dani mengusap kepalaku yang masih berbalut mukena. “Ibu itu sayang kok sama kamu.”

Aku tak menaggapi kalimat itu. Namun, mana mungkin Ibu menyukaiku, tetapi perlakuannya selalu buruk.

Lelaki ini selalu saja menguatkanku, memberikan kata-kata positif agar aku tak putus aja. Di mataku, Mas Dani adalah lelaki terbaik setelah ayah. Jadi, mana mungkin kubiarkan wanita lain merebutnya dariku? Itu tak akan mungkin terjadi. Apalagi hanya sekelas Siska.

❤❤❤

Aku baru saja menutup gerbang setelah mobil Mas Dani keluar untuk berangkat ke kantor. Setelahnya, aku menuju tanaman hias yang kuletakkan dalam pot dengan warna seragam, serba putih.

Beginilah keseharianku setelah Mas Dani pergi ke kantor. Aku hanya sibuk mengurusi rumah. Paling jika ada acara warga, aku baru akan berbaur dengan ibu-ibu.

Mas Dani yang memintaku untuk di rumah saja. Ia takut aku kecapekan jika harus bekerja. Walau begitu, ia tak pernah melarangku untuk melakukan kegiatan apa pun yang kuinginkan.

Gerbangku berbunyi, seperti ada orang yang ingin masuk. Namun, tidak ada suara salam.

Aku meninggalkan aktivitasku mengurus tanaman sejenak untuk melihat siapa yang ada di luar gerbang.

Setelah kubuka, rupanya sudah ada anak kecil di sana. Revan? Ya, dia anak Siska. Mau apa datang ke sini?

Aku memperhatikan sekitar. Barangkali ia datang bersama Siska. Namun, setelah kuperhatikan kanan-kiri, tak ada satu pun orang di sana. Bocah yang kutaksir usianya enam tahunan ini hanya datang seorang diri.

“Revan, ada apa?”

“Om Dani ada, Tante?”

Aneh sekali! Mengapa bocah ini mencari suamiku?

“Om Dani udah berangkat kerja. Emangnya ada apa?”

“E-e-enggak papa, Tante.”

Bocah ini seperti orang kebingungan.

“Beneran nggak apa-apa?”

“Iya.” Revan langsung meninggalkanku begitu saja.

Aku tak yakin, dia tak mempunyai niat. Mana mungkin ia datang ke sini jika tak ada maksud apa pun. Apalagi, Revan mencari suamiku.

Aku curiga, Siska yang memerintahkan anaknya itu. Jika benar, ini sungguh keterlaluan! Anak sendiri justru dijadikan kambing hitam.

Sebelum Revan berjalan semakin menjauh, aku segera memanggil. 

“Revan!” teriakku, agar suara ini sampai padanya. Bocah itu sudah berjalan cukup jauh.

Revan menghentikan langkahnya. Ia terlihat menoleh ke arahku.

“Sini!” Aku melambai.

Ia masih mematung di tempat semula, seperti ragu untuk mendekat.

“Sini, Tante kasih sesuatu.”

Setelah mendengar kalimatku. Revan baru mau mendekat.

Aku berjongkok, mensejajarkan tubuh pada bocah kecil itu.

“Kayaknya di kulkas Tante masih ada es krim. Revan mau es krim?”

Ia tampak berpikir sejenak. Revan belum juga menjawab.

“Ada rasa cokelat. Ada rasa stroberi. Revan mau?”

“Boleh, Tante?"

“Boleh, dong.”

“Revan suka yang rasa cokelat, Tante.” Ia tampak girang. Lucu sekali, padahal baru saja ia terlihat ketakutan. Maklum, bocah.

“Okedeh. Tante kasih es krim cokelat buat Revan.”

Aku menuntun bocah itu masuk. Kuperintahkan agar ia duduk di kursi teras rumah. Sementara, aku pamit mengambilkan es krim yang telah kujanjikan.

Saat aku keluar, Revan masih duduk di tempat semula. Ia tak banyak bertingkah. Kukira, ia akan sangat aktif seperti ibunya.

“Es krim cokelat buat Revan.”

Aku menyerahkan satu cup es krim.

“Yee.” Revan tampak senang. “Makasih, Tante.”

Setelah menerima es krim itu, Revan hendak pergi. Namun, aku segera mencegah. Misiku belum tuntus. Ada kekepoan yang harus mendapatkan jawaban.

“Lho, Revan mau ke mana?”

“Mau pulang, Tante.”

"Kok pulang? Es krimnya dimaem di sini aja. Entar meleleh loh di jalan.”

Aku mengistrusikan Revan duduk kembali. Katanya, hari ini ia libur sekolah. Jadi, aku bisa berlama-lama dengan bocah ini.

Satu suap es krim mulai masuk ke mulut mungil itu. 

“Gimana? Enak?”

“Enak, Tante.”

Revan terlihat sangat menikmati es krim itu. Kini, saatnya aku melancarkan aksi.

“Emmm, Revan, tadi nyari Om Dani, ya?”

“Iya,” jawabnya singkat. Ia masih asyik menyendok es krim.

“Disuruh Ibu, ya?”

“Iya.”

Benar dugaanku. Pasti ada rencana Siska di balik kedatangan Revan ke rumah ini.

“Emang Revan disuruh nemuin Om Dani mau ngapain?”

Tak ada jawaban, bocah itu masih fokus dengan makanan di tangannya. Huh! Memang harus sabar menghadapi anak kecil. Ini semua demi mengungkap sebuah kejanggalan.

“Revan,” panggilku lembut. “Sebelum Revan ke sini, Ibu bilang apa?”

“Suruh nemuin Om Dani.”

“Iya. Tadi pas Tante bilang Om Dani udah berangkat kerja, kok Revan langsung pergi. Padahal bilang ke Tante juga sama aja. Tante ‘kan istrinya Om Dani.”

“Nggak boleh, Tante.”

“Nggak boleh bilang sama Tante?”

“Iya.”

Parah sekali Siska. Anak sekecil ini saja sudah diracuni.

Revan terlihat sulit mengutarakan tujuan kedatangannya kepadaku. Mungkin, karena pesan ibunya di rumah. Walau begitu, aku masih berusaha menggali informasi dari bocah ini.

“Wah, hampir abis es krimnya. Oiya, Tante juga masih punya snack, loh. Enak banget. Revan mau nggak?”

“Mauuu.”

“Oke. Entar, ya. Kalau es krimnya udah abis, baru Tante ambilin.”

Revan mengangguk.

“Revan kok mau ketemu Om Dani, emang Revan sayang sama Om Dani?” Aku kembali memancing obrolan.

“Iya.”

“Kalau Ibu, sayang juga nggak sama Om Dani?”

“Iya. Revan sama Ibu, sayang sama Om Dani.”

“Masa sih? Emang Ibu pernah bilang?”

“Pernah. Kata Ibu, kalau Om Dani mau baik terus sama Revan, Revan harus sering-sering main ke sini. Ketemu sama Om Dani.”

“Ibu bilang gitu?”

“Iya.”

Astagfirullah ... licik sekali, Siska!

“Terus Ibu bilang apa lagi?”

“Katanya, Revan juga boleh minta uang sama Om Dani. Karena Om Dani, akan jadi Ayah Revan nantinya,” ucap bocah itu, walau sedikit terbata.

Seyakin itukah Siska bisa merebut Mas Dani dariku? Ah ... itu tak akan terjadi. Lagi pula, mengapa harus suamiku? Kukira banyak lelaki lajang di luaran sana yang mau dengan Siska.

“Tapi, ini rahasia, ya, Tante. Ibu bilang, nggak boleh ngomong ke siapa-siapa. Sama Kakek Nenek juga nggak boleh ngomong.”

Mendengar penuturan Revan, membuat hatiku semakin bergemuruh. Siska terlihat tak main-main ingin menguasai Mas Dani.

“Emmm ... Revan seneng nggak main di sini?”

“Seneng, Tante.”

“Revan boleh kok, sering-sering main ke sini, ketemu Tante. Nanti Tante kasih makanan yang banyak.”

“Oke, Tante.”

Ingat, Siska! Aku sudah menguasai bapak ibumu. Dan sekarang, sepertinya anakmu sudah cukup nyaman denganku. Jadi, sebelum kamu menguasai suamiku, terlebih dahulu aku sudah menguasi semua keluargamu. Bukankah kamu lebih sayang dengan mereka?

Next? Terima kasih sudah mampir. ❤

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status