Share

Masih Berani, Siska?

“Kamu, kok di sini?” tanya Bu Nur yang keheranan karena mendapati anaknya berada di tempat yang sama.

“Maaf, Bu Nur, Pak Hadi ... saya nggak cerita dulu kalau ngajak Siska sekalian. Nggak apa-apa, kan, Bu? Itung-itung pertemuan dua keluarga. He-he.” Aku menjawab pertanyaan Bu Nur. Sementara, Siska masih terdiam di kursinya.

“Tau gitu, kan bisa berangkat bareng. Tadi bilangnya mau ada urusan. Ternyata urusannya sama-sama di sini.” Pak Hadi menambahkan.

“Yaudah. Kita pindah sana, yuk!” Aku menunjuk meja panjang di tengah. Siska pandai sekali mengambil posisi. Seolah semua telah terencana secara matang. Ia memilih meja bundar dengan dua kursi saling berhadapan. Meja itu terletak di pojok ruang, dekat jendela. Jadi, bisa terlihat jelas lalu lalang kendaraan. Ditambah, vas dengan bunga berwarna merah menggenapi meja. Aku benar-benar yakin, Siska telah merencanakan sebuah pertemuan romantis.

Aku mempersilakan duduk. Memanggil pelayan untuk meminta daftar menu. Pak Hadi dan Bu Nur tampak sibuk membaca menu. Begitu pula Mas Dani. Kuedarkan pandangan ke wajah Siska, ternyata dia juga sedang menatapku dengan sorot tajam. Aku hanya mempersembahkan senyum manis yang sedang berusaha ia renggut.

“Bu Nur sama Pak Hadi pesen aja. Entar saya sama Mas Dani yang traktir. Iya, kan, Mas?”

“Iya, Dek.”

“Wah ... jadi ngerepotin, Mbak Ana.”

“Enggak kok, Pak Hadi. Itung-itung tanda terima kasih karena keluarga Pak Hadi udah baik banget sama kami.”

Siska sama sekali tidak menanggapi. Bahkan, ketika kami terbahak bersama karena humor yang dilontarkan Bu Nur, ia tetap saja terdiam. Tidak turut melebur dalam perbincangan. Salah sendiri coba-coba menyalakan api, dia sendiri yang terbakar, kan?

“Eh, Siska ... pesen juga sekalian. Nggak usah malu-malu.”

Tak ada jawaban dari Siska. Ia hanya menjawab dengan senyum getir. Setelah semua pesanan tercatat, aku segera menyerahkan kepada pelayan. Kali ini, wanita itu benar-benar kehilangan jati diri. Tidak seperti chat-nya semalam yang terlihat agresif. Dia sok-sokan kalem di hadapan kami.

Sembari menunggu pesanan datang, Bu Nur mulai bercerita banyak hal. Tentang kehidupan rumah tangganya dengan Pak Hadi yang lucu, tetapi penuh keromantisan. Aku pun tak kalah menceritakan kisahku dan Mas Dani. Siska? Dia bagai nyamuk yang hadir di antara dua pasangan.

Aku memang sengaja tak mengajaknya berbicara. Ibu dan bapaknya saja seolah melupakan kehadiran anaknya itu. Aku mulai tersenyum saat kulihat wajah Siska yang sudah menunjukkan raut ketidaknyamanan.

Obrolan kami melebar ke mana-mana, sampai melupakan tujuan pertemuan sebenarnya. Tentang seragam ibu-ibu pengajian yang justru lupa kami bahas. Ah, biar saja. Itu bisa dibicarakan nanti. Aku masih ingin menyaksikan wajah Siska yang penuh kemuraman.

“Oiya, Bu Nur ....”

“Iya, Mbak Ana.”

“Katanya, Siska mau ngomong sesuatu, loh.” Kusaksikan Siska yang terlihat terkejut. Ia membulatkan mata, membalas tatapanku. Wajahnya datar, tak ada gurat kebahagiaan sedikit pun yang terpancar di pipi bulatnya. Ditambah, alis tebal hasil ukiran yang terangkat satu. Jika boleh kuprediksi, jatungnya pasti sedang berdegup tak beraturan.

“Mau ngomong apa, Sis?” Bu Nur menatap anak permpuannya penuh pertanyaan.

“Emmmm ... eng-enggak. Siapa yang mau ngomong?”

“Lho ... kamu. Kemarin, kita bahas di-chat. Masa lupa?”

“Aku nggak bilang apa-apa.”

“Masa, sih? Kalau ada yang mau diutarain, mending langsung aja. Mumpung komplit juga. Iya, kan, Bu Nur?”

“Emangnya kamu mau bicara apa, sih, Sis?” Sekarang giliran Pak Hadi yang menimpali pertanyaan.

“Iya, bilang aja, Sis.” Aku sengaja turut menambahkan. Wanita itu seperti sedang diserang beberapa orang sekaligus. Aku hanya tersenyum menyaksikan Siska yang telihat salah tingkah. Beberapa kali, tangannya mengusap dahi. Lucu sekali, kepanasan di ruangan ber-AC.

“Oh ... yaudah, deh. Mungkin Siska Lupa.”

Bukan tidak ingin membuka tingkah Siska, tetapi memang belum saatnya saja. Ini hanya sebuah permulaan. Jika nanti ia masih bertingkah, maka lihat saja. Akan ada api panas yang lebih dari sekarang.

Aku mengalihkan pembicaraan sambil menikmati hidangan yang telah tersaji. Tak lupa membahas gamis yang menjadi tujuan utama. Dalam pertemuan ini, bisa dihitung berapa kali Siska bersuara. Ia lebih banyak diam. Sambil sesekali sibuk dengan ponselnya.

“Siska, makan yang banyak. Kok cuma diliatin aja makanannya?” Siska hanya sibuk memainkan sendok dan garpu. Makanan pun baru beberapa suap masuk ke mulutnya. Terlihat seperti seseorang yang sedang tidak berselera makan.

Lagi-lagi, Siska tidak menjawab. Ia hanya menanggapi dengan senyum kecut. Makanan kami hampir tandas, hanya Siska yang piringnya masih penuh.

“Oh, atau mungkin, Siska lagi diet, ya?” godaku. Tak lupa kuperlihatkan senyum kemenangan.

“Siska kok diet. Dia apa-apa dilahap. Makanya badannya jadi berisi gitu.” Bu Nur menjawab sambil terkekeh-kekeh.

Setelah pembahasan usai, kami bersiap-siap meninggalkan tempat ini.

“Bu Nur, Pak Hadi sama Mas Dani ke parkiran dulu aja. Siska, bisa minta tolong temenin aku ke kasir sebentar, ya?”

Siska sempat menolak. Namun, setelah diberi pengertian oleh ibunya, ia terpaksa menuruti permintaanku. Mas Dani dan yang lain tampak telah melewati pintu keluar. Tubuh mereka tak terlihat lagi dari pandangan. Kini saatnya melancarkan aksi.

“Gimana, Sis? Pertemuan yang asyik, bukan?”

“Maksudmu apa, kaya gini segala?”

“Aku hanya menuruti permintaanmu. Katanya mau ketemu Mas Dani? Bukannya aku baik?”

“Awas aja!”

“Awas apa? Ini baru permulaan. Kalau kamu masih bertingkah. Maka, akan ada yang lebih panas dari ini!”

“Lihat aja! Kamu belum tau siapa aku?”

“Oh ... aku sangat tau siapa kamu. Seorang wanita yang mencoba merayu suami orang, tapi gagal. Dengerin, Sis ... kamu belum cukup terlatih untuk ini. Belajar dulu, gih!”

“Dasar wani—“

“Apa?” Belum sempat Siska menuntaskan kalimatnya, aku sudah menyela.”Ingat! Kalau tidak ada bahu untuk bersandar, ya jangan nyari sandaran suami orang. Masih ada tembok, masih ada tiang. Nyandar aja di sana.”

Setelah puas berbincang, aku segera menuju parkiran, meninggalkan Siska yang masih berdiri mematung. Jika lama-lama di sini, Bu Nur dan suaminya bisa curiga. Mereka masih terlihat mengobrol di parkiran.

“Mbak Ana, Siska mana?”

“Ke toilet sebentar katanya, Bu.” Aku terpaksa berbohong. 

“Oh. Yaudah kita tunggu dulu.”

Tak lama, wanita itu datang. Siska menghampiri kami dengan wajah datar. Aku masih memperhatikan, seperti tak ingin ketinggalan langkah demi langkahnya. Sebenarnya, Siska akan terlihat anggun jika diiringi akhlaq yang baik. Sayang saja, niat buruk melunturkan kecantikannya.

Siska hampir terjatuh saat menuruni anak tangga. Mungkin, grogi saat kuperhatikan. Aku hampir saja tertawa lepas, tetapi segera kukontrol. Karena tak enak dengan Bu Nur.

“Ya ampun ... hati-hati makanya,” kata Pak Hadi yang melihat anaknya hampir terjatuh. Wajah Siska memerah. Pasti dia malu. Ah, sampai segitunya.

“Siska, nggak mau bareng kami?” Aku memberi penawaran. Hanya sekadar basa-basi. Sebenarnya juga enggan satu mobil bersama dia. Bisa merusak suasana.

“Enggak, makasih.”

Pak Hadi dan Bu Nur mengendarai sepeda motornya. Sementara, Siska tak terlihat membawa kendaraan pribadi.

“Iya. Bareng Mas Dani sama Mbak Ana aja. Mereka, kan pake mobil.”

“Nggak usah, Bu. Aku mau mampir ke toko depan dulu.”

Ah, Siska ... alasan! Bilang saja karena tidak ingin mendapat serangan dariku lagi. Namun, ya sudahlah. Biarkan ia terlantung sendirian.

“Yaudah kalau gitu. Kami pulang duluan, Siska.” Aku pergi dengan senyum merekah. 

Mau bertingkah lagi? Ingat, Siska! Aku masih punya bukti chat itu! 

Bersambung .... 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status