Share

5. Tahu Diri

Author: Namericanou
last update Huling Na-update: 2024-08-02 09:03:10

“Segera hubungi aku, Nolan. Aku membutuhkanmu!”

Daphne meremas rambutnya usai mengungkapkan kalimat permohonan melalui pesan suara yang dikirimkannya pada Nolan, kekasihnya. Sampai detik ini, pria itu tak kunjung muncul atau memberi kabar. Tepatnya semenjak para penagih utang datang dan menunjuk Daphne telah melakukan pinjaman besar, Nolan benar-benar menghilang—seolah ditelan bumi.

“Ya Tuhan, kau benar-benar melakukan semua ini padaku ... Nolan?” decaknya sambil menahan air mata. Sampai bayangan Adam dan beberapa penawaran terbaik muncul di benaknya sekarang. “Aku tidak yakin bisa melakukannya, membayar utang-utang kekasihku dengan cara mengandung anak Adam. Astaga ....”

Baru Daphne merebahkan diri di sofa ruang tamunya, pintu digebrak dari luar. Lalu suara teriakan yang memanggil namanya pun menyusul tak lama kemudian. Daphne terhenyak, buru-buru bangkit dan mendekati pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya.

“Akhirnya kau membukanya, Nona Emilyn Daphne.”

Ia menahan napas mendapati sosok pria tinggi besar dan beberapa pria lain di belakang sana dengan perawakan tak jauh berbeda.

“Apa yang kalian inginkan?” tanyanya pelan, meski sudah tahu apa maksud dari para penagih itu datang menemuinya di malam menjelang larut begini.

“Tentu saja kami ingin menagih janjimu, Nona Cantik.” Satu telunjuk pria besar itu meraih dagu Daphne sekilas. “Kau tidak akan lupa, ‘kan?”

Daphne menepis kuat-kuat dan menarik langkah mundur saat pria itu dengan lancang memasuki kediamannya. Daphne pasrah, sadar diri mengingat tubuhnya yang kecil sudah pasti kalah dengan beberapa pria di hadapannya.

“Ini sudah malam, jangan melakukan apa pun—“

“Kami hanya menagih hak kami!” Salah seorang pria menerobos dan mendekatinya dengan cepat. “Kau sudah berjanji kalau hari ini akan melunasi semuanya, ‘kan? Kalau tidak, kami bisa melakukan apa pun. APA PUN!”

Daphne menelan ludah kepayahan. Ia mengatupkan rahang dan memalingkan wajah secepatnya. Sampai beberapa pria berkeliling ke dalam unit apartemennya, entah mencari apa. Nyatanya ia tak memiliki banyak uang cash ataupun di rekening bank.

“Tolong, hentikan ....” Daphne memohon saat para penagih itu mengobrak-abrik kediamannya, bahkan tak sedikit barang yang dirusak. “Apa kalian tidak bisa melakukannya dengan cara baik-baik?” isaknya.

Satu pria mendatanginya, menempelinya dengan cara menjijikan. Belum lagi sorot mata yang menghujam Daphne dan tangan-tangan yang mampu membuatnya makin geram.

“Hentikan!” pekik Daphne ketika tubuhnya mulai digerayangi berlebihan. “Kumohon hentikan—“

Pria itu tergelak dan disusul semua orang dengan tatapan menggelikan yang sama. “Lunasi dulu utangmu sekarang, baru kami akan berhenti, Nona.”

“Itu benar, atau kau mau bersenang-senang dengan kami sekarang?” goda seorang pria lain. “Aku tidak akan menolak, kita bisa bergilir melakukannya.”

“Tidak!” Daphne menggeleng kencang, penuh penolakan. “Aku akan membayarnya!”

Ia tak sadar sudah memberikan harapan kosong pada para penagih di saat ia belum sepenuhnya yakin menyetujui penawaran Adam dan Mosha. Namun melihat bagaimana bengisnya pria-pria di sekelilingnya, ia tak memiliki pilihan lain.

Daphne meraih ponsel dan segera mengetuk kontak Adam untuk memanggilnya. Tak lama panggilannya diangkat dan suara Adam berhasil menyurutkan ketakutannya sekarang. Daphne menahan napas sampai akhirnya mengucapkan bahwa ia menginginkan semua tawaran Adam.

“Kumohon, datang sekarang juga, Adam.” Napas Daphne terengah-engah. Kepalanya tertunduk dalam, enggan mengangkat wajah, apalagi sampai memandangi wajah-wajah bengis yang masih berdiri di sekitarnya. “Aku menunggumu,” tambahnya lagi sebelum mematikan telepon.

“Rupanya selain Nolan, kau memiliki pria lain, ya,” celetuk salah satu pria. “Benar-benar luar biasa.”

“Diamlah!” teriak Daphne kesal. “Yang terpenting, aku akan membayar semuanya lunas malam ini.”

Dengan kalimat itu, para penagih terdiam dan tak lagi bergerak merusak barang-barang Daphne. Mereka tetap berdiri di tempat, ada pula yang keluar untuk menyalakan rokok dan menunggu hingga orang yang diminta Daphne datang.

“Daph?” Suara Adam menggema tak lama kemudian. “Daphne?”

Refleks tubuh Daphne merosot ke lantai karena lemas. Ia menangkap keberadaan Adam yang menghampirinya dengan wajah cemas. Raut yang diharapkan Daphne jika itu Nolan.

“Kau baik-baik saja?” tanya Adam lagi.

Daphne memaksakan senyum sekalipun tubuhnya hanya menyisakan tenaga sedikit. “Tolong lunasi utang-utangku pada mereka, Adam. Sekarang juga.”

Adam mengangguk. “Orangku sudah mengurusnya,” jawabnya tenang. “Kita tenangkan dirimu dulu, ya. Aku bantu.”

Daphne bisa merasakan tangan Adam melingkar baik di pinggulnya. Ada sensasi hangat ketika ia dibantu berdiri sampai menduduki sofa dengan nyaman. Lalu Adam melepaskan jaket yang dikenakannya dan diberikan untuk Daphne.

“Kau perlu sesuatu?” tawar Adam masih menunjukkan kepedulian besar.

Daphne menggeleng pelan. “Terima kasih sudah datang,” cicitnya dengan sedikit gemetaran.

“Semua sudah aman, aku ada di sini bersamamu, Daph.” Adam merengkuh tubuh Daphne, membawanya ke dalam dekapan hangat. “Tenang.”

Di pelukan Adam, Daphne menangis. Ia mengucapkan nama kekasihnya yang brengs*k terus menerus karena masih berharap Nolan akan datang membantunya dan mengajaknya keluar dari masalah ini. Namun Daphne justru menelan kenyataan pahit karena Nolan tidak akan pernah datang.

“Aku akan membawamu ke rumah sakit sekarang, Daph,” gumam Adam waktu mengendurkan pelukan. “Kau terlihat kurang sehat, apalagi setelah kejadian tadi.”

“Adam, a-aku ....”

“Biarkan Jordy yang membawa Daphne ke rumah sakit.” Siapa sangka suara tegas itu mampu memotong ucapan Daphne yang terbata. Selain Adam, Mosha juga turut serta datang ke apartemennya di malam begini. “Kita bisa pulang ke rumah sekarang, Sayang.”

Daphne mengulum bibir dan mengangguk. Ia tak memiliki hak untuk menyela apalagi sampai meminta Adam menemaninya ke rumah sakit. Adam milik Mosha sepenuhnya, dan Adam tidak ada tanggungjawab membantu Daphne terus menerus.

Adam menatap Daphne sekilas, lalu mengalihkan pandangan pada sang istri. “Kita pulang, tapi—“

“Tidak ada tapi-tapi,” potong Mosha tegas dan menekan. “Aku sudah lelah menunggu, kita harus melanjutkan kegiatan kita sebagai suami-istri. Bukankah begitu, Daphne?”

Mata Daphne membelalak, tak mengerti mengapa pertanyaan itu diluncurkan kepadanya. “Oh, ya. Ya benar begitu.”

“Ayolah.” Mosha merengek sambil mengulurkan tangan pada Adam. “Sayang?”

Adam menatap Daphne lagi sebelum meraih tangan Mosha. “Aku akan menemuimu besok pagi, Daph,” bisiknya yang hanya mampu didengar Daphne. “Cepatlah membaik.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   45. Asal Bersamamu

    “Adam. Jangan bercanda.”Dapat Adam saksikan bagaimana ekspresi Daphne yang terkejut bukan main. Bibir merona itu sampai bergetar, belum lagi sepasang mata yang kerap berbinar berubah dalam sekejap.Meski sulit mengakui, Adam akhirnya menganggukkan kepala pelan.“Apa kau gila membiarkan mereka melakukan hal itu di belakangmu?” Daphne meraih kemeja Adam bagian lengan dan menariknya gemas. “Sudah sejak kapan kau mengetahuinya, Adam?”Adam tersenyum seraya meraih tangan Daphne agar segera menghentikan kebiasaan buruk saat panik. Ia mendekatkan tangan mungil itu ke bibir dan melayangkan kecupan sebanyak dua kali.Baru ketika Daphne mulai tenang, ia angkat suara, “Sudahlah, Daph. Kita tidak perlu membahas hal ini lebih dalam.”“Adam, ini masalah besar.” Suara Daphne mengeras, jelas menolak setuju. “Mengapa kau bisa sepasrah ini, sih?”Napas Adam perlahan memberat. Rasanya ia baru diguyur es di kepala hingga membasahi sekujur tubuhnya. Kaget dan tak terima sudah menjadi makanan sehari-hari

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   44. Aku Membiarkannya

    Baru saja Daphne merasa lega bertemu Adam, tapi dalam sekejap kelegaan itu harus digantikan oleh penyesalan.“Harusnya aku tidak mengatakannya, tapi bukannya sudah jelas?” gumamnya sembari menuruni anak tangga.Ketiadaan Maria sedikit membuat Daphne kebingungan berada di kastil megah milik Adam dan Mosha. Sesekali perhatiannya jatuh pada spot, dari atap yang memiliki desain luar biasa hingga pijakan anak tangga yang kerap membuat jantungnya nyaris copot ketika salah gerak.Tiba di lantai tempatnya bertemu Mosha, langkahnya terhenti mendadak. Ia menepi dan menempelkan punggung di dinding seperti sedang bersembunyi.“Apa Tuan Adam tidak akan marah jika kita melakukannya siang hari, Nyonya?” Diego, pengawal yang Daphne lihat tadi sedang mengamit pinggang Mosha.“Kau mengkhawatirkan hal itu?” kekeh Mosha seperti sedang menggoda Diego. “Aku dan Adam pisah kamar, toh dia sedang sibuk memerhatikan peliharaannya. Jadi tenang saja.”Mata Daphne terpejam. Ia tidak berniat untuk menguping, tapi

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   43. Bersembunyi di Balik Kenikmatan

    Kaki Adam baru saja berpijak pada anak tangga terakhir begitu tiba di lantai yang dituju. Ia hendak pergi ke kamar untuk mengganti pakaian, tapi perhatiannya jatuh pada sosok Daphne yang celingukan dan kelihatan bingung.“Hai?” sapanya heran. “Kau ... di sini?”Kehadiran Daphne seorang diri di kastilnya cukup mengejutkan, bahkan Maria tidak terlihat. Adam menyapu pandangan, berusaha memastikan di mana asisten yang bertugas melayani Daphne, tapi nihil.Daphne tersenyum sambil mengangkat sebelah tangan. “Hai, Adam,” balasnya kikuk.“Kau sendiri? Di mana Maria?”“Sepertinya dia menungguku di dapur.”Adam manggut-manggut. Masih menunggu penjelasan tambahan yang keluar dari mulut Daphne, karena sejujurnya ia penasaran sekali.Namun setelah ditunggu beberapa saat, wanita itu masih diam. Matanya sesekali mengarah pada ruangan yang biasa menjadi tempat favorit Mosha menghabiskan hobinya.“Jadi, apa alasanmu datang ke kastilku?” Adam berusaha menahan diri untuk tidak menebak alasan Daphne data

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   42. Gelagat Misterius

    “Sekalipun Adam membalas perasaanmu, ingatlah bahwa semua itu akan berakhir begitu kau berhasil melahirkan nanti.”Mosha melangkah mendekati Daphne dan memasang wajah puas. Mungkin bagi wanita itu mengingatkan fakta pahit pada lawannya adalah kemenangan.Daphne akui, ia kehilangan kata-kata. Sampai matanya tak bisa lagi mengarah pada lawan bicara karena sadar bahwa sebanyak apa pun kata yang dilontarkan, rasanya sia-sia.“Bagaimana menurutmu?” Satu tangkai bunga Mosha arahkan padanya. “Adam menyukaiku hingga tergila-gila padaku karena kegemaranku merangkai bunga.”Daphne meringis pilu. “Kau sangat terampil. Aku akui itu,” jawabnya jujur.Mosha mengulum senyum bangga sambil menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. “Benarkah?”Ketika kembali mengangkat wajah dan menatap Mosha, Daphne berusaha keras menghadapi jejak kemerahan itu yang kelihatan masih baru. Itu tandanya, Adam dan Mosha belum lama ini melakukannya.Daphne menelan ludah. Hatinya bergetar, mengarah pada ketidaknyamana

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   41. SATU SELERA

    Berita kepulangan Mosha dan pertengkaran sepasang suami istri itu sampai ke telinga Daphne tak lama kemudian. Bukannya makin nyaman tinggal berada di kastil dengan fasilitas berlimpah, Daphne justru kian tak enak hati di sana.Daphne memandang dirinya dari pantulan cermin. Tubuhnya dibalut gaun khas yang biasa dikenakan orang-orang dengan derajat di atas rata-rata.“Nona?”Begitu suara Maria mengalun, Daphne mengakhiri sesi itu. Lantas menoleh dan menjawab panggilan.Sebuah piring besar dengan beragam jenisnya tersaji di nampan yang dibawa Maria untuknya. Semua kelihatan segar dan menggoda, membuat air liurnya penuh di mulut.“Ini ada kiriman buah untuk Nona Daphne.” Maria menyodorkan buah itu lengkap dengan alat makannya.Senyum muncul merekah di bibir Daphne. “Adam yang mengirimnya?”Maria berubah kikuk dan menggeleng. “Nyonya Mosha,” katanya. “Ini khusus dari Nyonya Mosha.”“Ah ....” Daphne menelan ludah, berusaha tenang sebaik mungkin. Ia tidak mengerti mengapa istri Adam tiba-tib

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   40. Pengakuan

    Usai janji manis Adam berikan pada Daphne kemarin, kini bencana besar datang tanpa aba-aba. Langkah Mosha yang lebar dan menciptakan suara sepatu berhak tinggi yang bergesekan dengan lantai sukses memantik rasa gugup.Adam bangkit dari kursi dan mengaitkan tali jubah tidurnya selagi melangkah mendekati pintu. Jemarinya nyaris memegang gagang pintu, tapi sosok Mosha lebih dulu muncul.Rona merah terlihat jelas dari wajah Mosha. Entah karena sengatan terik matahari atau si empunya yang sedang terpancing emosi cukup besar.“Hai—“Plak!Belum sempat Adam menyambut kepulangan Mosha dengan hangat, tiba-tiba saja sensasi panas menimpa sebelah pipi kanannya. Telapak tangan sang istri rupanya kelewat kuat, tanpa ia duga.“Siapa yang memberimu izin mengajak perempuan itu tinggal di kastilku?” Suaranya lantang, membuat pelayan kompak menundukkan kepala. “Jawab aku, Adam!”Urung menjawab, Adam menarik tangan Mosha. Lalu ia bergegas menutup pintu kamar rapat-rapat.“Kecilkan suaramu.” Telunjuk Ada

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status