Share

6. Kesepakatan

Author: Namericanou
last update Last Updated: 2024-08-03 10:13:13

Tubuh Daphne masih gemetaran sesekali ketika mendengar suara yang mengejutkannya. Meski kini ia bermalam di rumah sakit atas permintaan anak buah Mosha, rasanya tetap menegangkan. Bayangan pria-pria besar yang terlihat bengis terus terlintas di ingatannya.

“Sampai kapan aku di sini?” tanyanya pada seorang pria yang membawanya ke rumah sakit. Pria itu baru muncul setelah dua jam lalu pamit pergi keluar.

“Sebaiknya kau tidur, Nona.” Ajudan Mosha yang bernama Jordy itu menduduki kursi di dekat pintu. “Nyonya Mosha akan kembali pagi nanti. Ini masih jam 5.”

Daphne bangkit duduk sambil menyandarkan punggung di tumpukan bantal. “Aku tidak bisa tidur,” akunya. Sangat sulit untuk memejamkan mata setelah kejadian menegangkan itu di apartemennya. “Bisakah kau mengantarku pulang?”

Jordy menggeleng cepat. “Sepulang dari sini, kau akan pindah ke apartemen yang telah disediakan Tuan Livingston,” jelasnya mengejutkan Daphne.

Daphne meremas selimutnya kuat-kuat. “Lalu barang-barangku—“

“Semua aman,” Jordy menyela. “Aku sudah memerintahkan anak-anak untuk membereskannya. Kau tidak perlu khawatir, Nona.”

Mendapati pernyataan itu, Daphne menyerah. Ia memilih diam dan kembali membaringkan tubuhnya di ranjang rumah sakit. Semua terkesan terlalu cepat. Apalagi sekarang hidupnya akan berada di bawah kendali Mosha dan Adam. Pasangan itu memang sudah berjasa membayar semua utang-utangnya dan sekarang ia yang harus membalasnya dengan mengandung anak Adam.

“Akan aku bangunkan jika Nyonya Mosha datang,” ujar Jordy sesaat sebelum mengakhiri percakapan.

Entah bagaimana caranya Daphne terlelap. Ia hanya mencoba memejamkan mata dan hanyut dalam kantuk, lalu masuk ke dalam kubangan mimpi. Sampai kemudian tubuhnya digoyangkan pelan oleh tangan-tangan asing. Daphne membuka mata dan menangkap sosok Mosha sudah berada di depannya sekarang.

Mosha dengan perawakannya yang ideal itu menggunakan pakaian mahal dari atas hingga bawah. Daphne cukup terkesima melihat bagaimana sempurnanya istri Adam itu. Sangat jauh berbeda dengan keadaannya yang berantakan di pagi ini.

“Tidurmu cukup nyenyak, ya.” Kata-kata Mosha terdengar seperti sindiran menyebalkan. Namun Daphne hanya mengulum senyum sambil bergerak duduk dari posisi berbaringnya. “Sebentar lagi kau dipindahkan ke tempat tinggal baru.”

Daphne mengangguk mengerti, mulai beradaptasi dengan semua ini. “Baiklah.”

“Adam akan datang tiga sampai empat kali dalam seminggu ke apartemenmu nanti,” sambung Mosha. “Tapi kupikir, kalian cukup melakukannya tiga kali sampai kau benar-benar hamil.”

Daphne menelan ludah kala mendengar penjelasan Mosha yang terkesan menganggapnya seperti barang, alih-alih manusia. Akan tetapi, kali itu ia menahan diri untuk tidak meluapkan emosi atau pertentangan karena tahu kepribadian Mosha berbeda jauh dengan Adam.

“Saat kalian melakukannya, jangan sekali-sekali memuaskan Adam.” Mosha menyeringai saat menaiki ranjang dan menangkup wajah Daphne. “Kau harus tahu siapa dia, Daphne. Dia milikku dan akan terus menjadi milikku. Ingat statusmu yang hanya dijadikan tempat keturunan kami tumbuh. Paham?”

Sudut bibir Daphne bergetar. Ia mencoba mengulum senyum sambil menganggukkan kepala. Pedih rasanya diperlakukan seperti ini, tapi ia tak memiliki jalan lain. Adam dan Mosha sudah membayar cukup banyak uang, lalu sekarang ia harus membalasnya dengan baik.

“Penjelasan lengkap kontrak antara kita akan dijelaskan Jordy. Terutama kebutuhan sehari-harimu sampai bayi itu lahir,” ujar Mosha seraya menjauh dari ranjang. “Dan aku masih memiliki hati nurani untukmu. Jadi, kau akan tetap mendapatkan bayaran setimpal begitu melahirkan. Aku akan menjamin karirmu sebagai aktor. Bagaimana menurutmu?”

Senyum Daphne yang awalnya dipaksakan, kini berubah lebar dan terlihat lebih tulus. Menjadi aktor yang sukses dengan banyaknya project adalah impiannya, tapi apakah itu mungkin ia dapatkan di saat tak memiliki banyak kenalan di bidangnya? Namun sekarang Mosha menawarkan, bahkan mengulurkan tangan untuknya.

“Tentu!” sembur Daphne penuh semangat. “Aku tidak akan menolak.”

“Bagus kalau begitu.” Mosha tersenyum lebar penuh kemenangan. “Maka lakukan tugasmu dengan baik, Emilyn Daphne.”

***

Beberapa kali Daphne mengerjap dan mengucek matanya agar pandangannya lebih jelas. Namun semua benda dan apa-apa yang dilihatnya terlihat sama. Daphne masih terkesima saat tiba di tempat tinggalnya yang baru. Ini bukan apartemen yang biasa ia tinggali sebelumnya, melainkan tempat tinggal mewah yang mampu dimiliki orang-orang kelebihan uang.

Belum lagi satu wanita yang akan mendampinginya selama tinggal di sana. Maria namanya, seorang wanita 40-an yang cukup cekatan dan terlihat mampu diajak kerjasama.

“Jangan menyentuh apa pun, Nona,” Maria memberi peringatan begitu Daphne ingin mengeluarkan barang-barangnya.

“Aku hanya ingin memindahkan beberapa barang ke kamar, Maria,” balas Daphne tanpa menoleh.

“Nona?” Maria memanggil pelan seolah sudah pasrah. “Tolong—“

“Apa kau selalu bebal seperti ini, Daphne?”

Suara Maria lenyap dan digantikan oleh suara berat milik seseorang. Daphne menegakkan tubuh saat sadar pemilik suara itu. Ia sontak membalikkan tubuh dan menangkap Adam sedang berdiri di ambang pintu sambil menyandarkan kepala. Tatapan Adam yang mengagumkan itu mengarah padanya sekarang.

“A-adam?”

Pria itu mengulum senyum sambil mengangkat tangan untuk menyapa. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya seraya melangkah maju di saat Maria berlalu keluar dari ruangan. “Kulihat kau sangat sibuk sekarang?”

Daphne menahan napas ketika kata-kata Mosha yang menerangkan aturan kedatangan Adam ke tempat tinggalnya adalah untuk melakukan hubungan. Namun ia tidak berpikir akan secepat ini melakukan tugasnya. Terlebih setelah pulang dari rumah sakit sejam lalu.

“Adam, aku ....” Mendadak Daphne tergagal sewaktu Adam berdiri menjulang di dekatnya. “Maaf, tapi aku baru saja pulang, dan—“

Pelan, Adam merendahkan tinggi tubuhnya hingga bisa sejajar dengan Daphne. “Kau tidak perlu minta maaf, duduklah,” katanya sambil mengedik pada sofa panjang di dekat mereka. “Denganku.”

“Oh, baiklah.” Daphne menelan ludah dan membalas tatapan Adam sesaat sebelum beringsut lebih dulu.

Kini keduanya duduk berdampingan. Lebih tepatnya Adam mengarahkan posisinya pada Daphne, membuat situasi kembali canggung dan aneh.

“Aku lega melihatmu sudah sehat seperti ini,” gumam Adam tenang. “Kau menyukainya?”

Kepala Daphne menunduk mulanya, lalu menengadah seketika karena kaget. “Hah?”

“Maksudku tempat ini,” ralat Adam buru-buru. “Aku sengaja yang memilihkannya untukmu, walaupun harus berdebat kecil dengan istriku. Aku harap, kau menyukainya, Daph.”

“Ya, kau benar.” Daphne mengangguk-angguk sambil memendarkan pandangan. “Ini sangat bagus dan mewah untuk orang sepertiku.”

“Jangan merendahkan dirimu.” Daphne bisa merasakan sentuhan tangan Adam menimpa jemarinya. Membuat sensasi aneh seperti tersengat listrik dadakan. “Kau tahu itu, ‘kan?”

“Ah, ya.” Perlahan Daphne menarik tangannya dan sontak membuat Adam berdehem pendek. Mungkin sama kagetnya dengan Daphne tadi.

“Maaf, aku tidak bermaksud—“

Daphne bergerak sedikit mengambil jarak dari tubuh Adam. “Kupikir, aku belum siap untuk melakukannya hari ini,” cetusnya jujur, mengingat dirinya masih dibayang-bayangi kejadian semalam. “Aku minta maaf.”

“Maksudmu?” Kerut muncul di kening Adam, mulanya samar-samar dan berubah sejelas itu. “Aku kemari bukan untuk memintamu melakukannya. Ini ... bukan.” Adam menggelengkan kepalanya lemah. “Aku hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja, Daphne.”

Refleks Daphne melotot kaget. Lalu ia menutup mulutnya karena malu. “Astaga, maafkan aku. Kupikir kau datang untuk—“

Kekehan Adam membuat Daphne menjeda ucapan. “Kita bisa memulainya besok, atau di saat kau benar-benar siap,” katanya gamblang. “Memangnya kau pikir aku setega itu memintamu melakukannya sekarang?”

Daphne membasahi bibir. “A-aku mungkin akan tetap melakukannya jika kau yang meminta, Adam ....”

Anggap saja Daphne gila karena sudah bertindak seterus terang itu, tapi respon Adam justru membuatnya semangat. Pria itu meraih pinggulnya agar mendekat. Kemudian bibir itu menghujam milik Daphne tanpa aba-aba.

“Daphne, aku—“

Daphne menggeleng. “Lanjutkan, Adam ...” katanya di sela lenguhan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   45. Asal Bersamamu

    “Adam. Jangan bercanda.”Dapat Adam saksikan bagaimana ekspresi Daphne yang terkejut bukan main. Bibir merona itu sampai bergetar, belum lagi sepasang mata yang kerap berbinar berubah dalam sekejap.Meski sulit mengakui, Adam akhirnya menganggukkan kepala pelan.“Apa kau gila membiarkan mereka melakukan hal itu di belakangmu?” Daphne meraih kemeja Adam bagian lengan dan menariknya gemas. “Sudah sejak kapan kau mengetahuinya, Adam?”Adam tersenyum seraya meraih tangan Daphne agar segera menghentikan kebiasaan buruk saat panik. Ia mendekatkan tangan mungil itu ke bibir dan melayangkan kecupan sebanyak dua kali.Baru ketika Daphne mulai tenang, ia angkat suara, “Sudahlah, Daph. Kita tidak perlu membahas hal ini lebih dalam.”“Adam, ini masalah besar.” Suara Daphne mengeras, jelas menolak setuju. “Mengapa kau bisa sepasrah ini, sih?”Napas Adam perlahan memberat. Rasanya ia baru diguyur es di kepala hingga membasahi sekujur tubuhnya. Kaget dan tak terima sudah menjadi makanan sehari-hari

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   44. Aku Membiarkannya

    Baru saja Daphne merasa lega bertemu Adam, tapi dalam sekejap kelegaan itu harus digantikan oleh penyesalan.“Harusnya aku tidak mengatakannya, tapi bukannya sudah jelas?” gumamnya sembari menuruni anak tangga.Ketiadaan Maria sedikit membuat Daphne kebingungan berada di kastil megah milik Adam dan Mosha. Sesekali perhatiannya jatuh pada spot, dari atap yang memiliki desain luar biasa hingga pijakan anak tangga yang kerap membuat jantungnya nyaris copot ketika salah gerak.Tiba di lantai tempatnya bertemu Mosha, langkahnya terhenti mendadak. Ia menepi dan menempelkan punggung di dinding seperti sedang bersembunyi.“Apa Tuan Adam tidak akan marah jika kita melakukannya siang hari, Nyonya?” Diego, pengawal yang Daphne lihat tadi sedang mengamit pinggang Mosha.“Kau mengkhawatirkan hal itu?” kekeh Mosha seperti sedang menggoda Diego. “Aku dan Adam pisah kamar, toh dia sedang sibuk memerhatikan peliharaannya. Jadi tenang saja.”Mata Daphne terpejam. Ia tidak berniat untuk menguping, tapi

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   43. Bersembunyi di Balik Kenikmatan

    Kaki Adam baru saja berpijak pada anak tangga terakhir begitu tiba di lantai yang dituju. Ia hendak pergi ke kamar untuk mengganti pakaian, tapi perhatiannya jatuh pada sosok Daphne yang celingukan dan kelihatan bingung.“Hai?” sapanya heran. “Kau ... di sini?”Kehadiran Daphne seorang diri di kastilnya cukup mengejutkan, bahkan Maria tidak terlihat. Adam menyapu pandangan, berusaha memastikan di mana asisten yang bertugas melayani Daphne, tapi nihil.Daphne tersenyum sambil mengangkat sebelah tangan. “Hai, Adam,” balasnya kikuk.“Kau sendiri? Di mana Maria?”“Sepertinya dia menungguku di dapur.”Adam manggut-manggut. Masih menunggu penjelasan tambahan yang keluar dari mulut Daphne, karena sejujurnya ia penasaran sekali.Namun setelah ditunggu beberapa saat, wanita itu masih diam. Matanya sesekali mengarah pada ruangan yang biasa menjadi tempat favorit Mosha menghabiskan hobinya.“Jadi, apa alasanmu datang ke kastilku?” Adam berusaha menahan diri untuk tidak menebak alasan Daphne data

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   42. Gelagat Misterius

    “Sekalipun Adam membalas perasaanmu, ingatlah bahwa semua itu akan berakhir begitu kau berhasil melahirkan nanti.”Mosha melangkah mendekati Daphne dan memasang wajah puas. Mungkin bagi wanita itu mengingatkan fakta pahit pada lawannya adalah kemenangan.Daphne akui, ia kehilangan kata-kata. Sampai matanya tak bisa lagi mengarah pada lawan bicara karena sadar bahwa sebanyak apa pun kata yang dilontarkan, rasanya sia-sia.“Bagaimana menurutmu?” Satu tangkai bunga Mosha arahkan padanya. “Adam menyukaiku hingga tergila-gila padaku karena kegemaranku merangkai bunga.”Daphne meringis pilu. “Kau sangat terampil. Aku akui itu,” jawabnya jujur.Mosha mengulum senyum bangga sambil menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga. “Benarkah?”Ketika kembali mengangkat wajah dan menatap Mosha, Daphne berusaha keras menghadapi jejak kemerahan itu yang kelihatan masih baru. Itu tandanya, Adam dan Mosha belum lama ini melakukannya.Daphne menelan ludah. Hatinya bergetar, mengarah pada ketidaknyamana

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   41. SATU SELERA

    Berita kepulangan Mosha dan pertengkaran sepasang suami istri itu sampai ke telinga Daphne tak lama kemudian. Bukannya makin nyaman tinggal berada di kastil dengan fasilitas berlimpah, Daphne justru kian tak enak hati di sana.Daphne memandang dirinya dari pantulan cermin. Tubuhnya dibalut gaun khas yang biasa dikenakan orang-orang dengan derajat di atas rata-rata.“Nona?”Begitu suara Maria mengalun, Daphne mengakhiri sesi itu. Lantas menoleh dan menjawab panggilan.Sebuah piring besar dengan beragam jenisnya tersaji di nampan yang dibawa Maria untuknya. Semua kelihatan segar dan menggoda, membuat air liurnya penuh di mulut.“Ini ada kiriman buah untuk Nona Daphne.” Maria menyodorkan buah itu lengkap dengan alat makannya.Senyum muncul merekah di bibir Daphne. “Adam yang mengirimnya?”Maria berubah kikuk dan menggeleng. “Nyonya Mosha,” katanya. “Ini khusus dari Nyonya Mosha.”“Ah ....” Daphne menelan ludah, berusaha tenang sebaik mungkin. Ia tidak mengerti mengapa istri Adam tiba-tib

  • Mauku Jadi Satu-satunya!   40. Pengakuan

    Usai janji manis Adam berikan pada Daphne kemarin, kini bencana besar datang tanpa aba-aba. Langkah Mosha yang lebar dan menciptakan suara sepatu berhak tinggi yang bergesekan dengan lantai sukses memantik rasa gugup.Adam bangkit dari kursi dan mengaitkan tali jubah tidurnya selagi melangkah mendekati pintu. Jemarinya nyaris memegang gagang pintu, tapi sosok Mosha lebih dulu muncul.Rona merah terlihat jelas dari wajah Mosha. Entah karena sengatan terik matahari atau si empunya yang sedang terpancing emosi cukup besar.“Hai—“Plak!Belum sempat Adam menyambut kepulangan Mosha dengan hangat, tiba-tiba saja sensasi panas menimpa sebelah pipi kanannya. Telapak tangan sang istri rupanya kelewat kuat, tanpa ia duga.“Siapa yang memberimu izin mengajak perempuan itu tinggal di kastilku?” Suaranya lantang, membuat pelayan kompak menundukkan kepala. “Jawab aku, Adam!”Urung menjawab, Adam menarik tangan Mosha. Lalu ia bergegas menutup pintu kamar rapat-rapat.“Kecilkan suaramu.” Telunjuk Ada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status