Maria kembali memikirkan alasan di balik Fiko menikahi Sela. Bukan, bukan dia senang karena itu artinya Fiko tetap hanya mencintainya seorang melainkan ada rasa iba di hatinya untuk Sela. Walaupun Sela ingin menyingkirkannya demi menjadi istri Fiko satu-satunya, Maria tetap tau bagaimana perasaannya nanti saat tau dia cuma dimanpaatkan.
Andai Sela tau bahwa dia hanya Fiko jadikan sebatas wanita yang harus melahirkan anaknya saja, Maria tidak bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya dia nanti.
Dari pada memikirkannya terus, Maria memilih pergi ke dapur guna memasak sesuatu untuk mengisi perutnya.
Begitu sampai di dapur, Maria meletakan terlebih dahulu tas belanja yang dia bawa di kursi makan. Lalu dia menghampiri kulkas untuk mencari bahan yang bisa diolah menjadi omlet.
Maria menghembuskan napas pasrah karena begitu membuka kulkas, ternyata bahan-bahan sudah habis. Padahal dia rasa belum lama ini mengisin
Sudah tujuh bulan lamanya Maria hidup dalam kesengsaraan. Sela benar-benar sukses membuat Maria tidak pergi dari rumah dan kembali menjalankan aktvitasnya seperti biasa. Tentu itu membuat Fiko sangat puas, lalu tidak jadi menceraikan dirinya.Kebaikan hati Maria ternyata menjadi kelemahannya. Dia tidak tega tatkala Sela datang mengadu kalau Maria pergi, Sela akan diceraikan.Awalnya Maria cuek, tapi saat mendengar bahwa Sela juga ternyata sebatang kara mau tidak mau perasaannya ikut terbawa. Maria tau bagaimana sepinya hati saat tidak ada yang namanya keluarga. Katakan Maria bodoh, tapi itu yang dia rasakan. Sehingga bertahan demi madunya.Namun, saat Maria mau menjalankan pernikahan kembali, ternyata Fiko tidak berubah sama sekali. Perlakuan Fiko pada Maria malah menjadi.Janji Fiko yang hanya akan memakai kamar tidurnya untuk Sela selama satu bulan itu nyatanya hanya janji palsu. Sampai bulan selanjutnyapun kamar itu tetap dipakai Sela. Mari
Sela kini tengah menggigit bibirnya gusar. Berkali-kali dia berjalan kesana-sini karena bingung harus melakukan apa. Dia takut kebohongannya terbongkar dan Fiko meninggalkannya untuk kembali pada Maria. Dia tadi spontan mengucapkan bahwa dia hamil agar Fiko bisa melepaskan Maria. Tentu dia tak ingin usahanya selama 7 bulan ini gagal setelah susah payah dia berusaha mengalihkan perhatian Fiko dari Maria.Fiko masuk kedalam kamar dalam keadaan berantakan dengan mata bengkak dan rambut serta baju acak-acakan. Dia mengeenyit heran karena mendapati Sela tengah mondar-mandir tak jelas. "Kenapa kamu terlihat gusar?""A...ah tidak." Sela menjawab gugup. "Mas Fiko kapan masuk?" Sela balik bertanya karena baru menyadari Fiko sudah ada didalam kamar."Baru saja."Fiko berjalan mendekati Sela, dia menunduk dengan tangan terulur mengusap perut rata Sela pelan. "Benarkah anaku kini tumbuh didalam perutmu?"Tubuh Sela menegang otomatis mendengar penutur
Maria memandangi rumah minimalis peninggalan sang nenek dengan sendu. Sebelum menikah dengan Fiko, disinilah dia tinggal bersama sang nenek. Kini rumah ini kosong karena sang nenek sudah pulang ke Rahmatullah tiga tahun lalu sebelum dirinya menikah dengan Fiko. Bunyi derit pintu terdengar kasar karena banyak debu menghalangi. Rumah ini sudah lama tak dibersihkan karena memang Maria tak pernah menginjakan kakinya lagi kerumah ini setelah menikah. Dipandangnya setiap sudut sisi rumah dengan perasaan sesak. Dulu, sebelum neneknya meninggal, sang nenek pernah memintanya untuk sesekali membersihkan rumah ini walau tidak dia tempati. Karena kesibukannya mengurus rumah dan mertuanya yang sakit, ditambah jaraknya yang lumayan cukup jauh, Maria tidak sempat melaksanakan tugas itu. Sungguh dia sangat merasa bersalah terhadap neneknya. Maria mulai memberseskan dan membersihkan rumah itu sampai menghabiskan waktu seharian penuh. Dia membaringkan badannya yang pegal
"Tuh Bun orangnya!" Nudy menunjuk Gudy yang baru saja sampai dirumahnya. Arum, orang yang dipanggil Bun oleh Nudy itu menoleh pada Gudy yang baru saja sampai. Arum berkacak pinggang sambil mengetuk-ngetukan kaki kanannya kelantai karena tidak sabar menunggu Gudy berjalan mendekatinya. "Hai Bun." Gudy menyapa sang Bunda dengan santai. Gudy sama sekali tidak menyadari bahwa sang Bunda kini tengah menahan geram ingin menggetuk kepala Gudy memakai spatula yang ada ditangannya. "Apa hai-hai...hai-hai..." Arum memelototi Gudy dengan galak. "Apaan sih Bun. Itu mata udah kaya mau loncat aja." Gudy risih dipandang tak ayalnya penjahat oleh Ibunya sendiri. Dia merasa, dirinya tidak berbuat apa-apa yang bisa membuat Binda kesayangannya itu marah. Arum, sang Ibu malah makin melebarkan matanya. Tanpa ba bi bu dia langsung menjewer telinga Gudy dengan kejam sampai si empunya menjerit kesakita
Keesokan harinya Maria bersiap untuk mengantar berkas yang diperlukan untuk melamar kerja. Setelah dirasa persiapannya sudah beres, dia mengecek sisa uang dalam dompet. 250 ribu, uang itu hanya cukup untuk makan kurang lebih dua minggu bila dapat membaginya secara cermat.Maria memutuskan untuk berjalan kaki menuju Minimarket yang temannya ajukan semalam berhubing uangnya tinggal sedikit. Saat Maria hendak menyebrang, dia melihat seorang Ibu-Ibu yang hampir terserempet motor. Dengan cepat Maria menariknya hingga mereka sama-sama terjatuh diatas aspal jalan."Ibu tidak apa-apa?" Maria sibuk mengecek keadaan tubuh Ibu yang ditolongnya tanpa menghiroukan dirinya sendiri.Arum, Ibu yang ditolong Maria hanya menggelengkan kepala. Namun matanya sontak membelalak begitu menyadari ada noda darah di siku lengan kanan gadis yang menolongnya. "KAMU TERLUKA!" Teriaknya heboh. Bahkan kini orang-orang yang mengerumun semakin banyak kare
Baru saja Maria sampai ke rumahnya, dia sudah di kagetkan dengan kedatangan Fiko yang sedang menunggunya didepan pintu. Maria bingung antara meneruskan langkahnya atau berbalik kembali. Dia memang tidak berniat untuk menghindari Fiko, namun bila harus bertemu dalam waktu dekat jelas dia tidak siap.Maria ingin berbalik, tapi urung saat Fiko keburu menyadarinya. Dengan mempersiapkan hati terlebih dahulu, Maria meneruskan langkahnya.Fiko yang melihat Maria berjalan mendekatinya sontak tersenyum sumringah. Dia sudah menunggu Maria selama 3 jam. Karena kemarin malam dia tidak bisa menemui Maria, maka dia memutuskan untuk kembali menemuinya hari ini."Maria." Fiko memanggil nama Maria dengan luapan penuh rindu. Seperti mimpi, kini dia dapat melihat
Mata coklat Maria yang bulat terpejam, menikmati ketenangan dari suasana sore bersama angin sepoi-sepoi. Rasanya Maria bahkan bisa mendengar bisikan angin sejuk membelai manja wajahnya.Maria menikmatinya, keindahan seperti ini memang tidak pernah ia rasakan lagi selama 3 tahun kebelakang. Ternyata berpisah dengan Fiko tidak semua membawa kesakitan, masih ada sebagian rasa bahagia seperti yang saat ini dia rasakan."Saya heran, kenapa kamu bisa sesantai ini ketika seseorang sudah menelponmu puluhan, tidak. bahkan mungkin ratusan kali?"Dan tiba-tiba suara bicara seorang laki-laki yang membawa jejak kejengkelan itu terdengar dari arah sampingnya membuat mata Maria otomatis terbuka.Maria melirik laki-laki yang menjulang tinggi sambil memasang wajah angkuh itu agak sinis. Kalau bukan karena laki-laki ini calon Bosnya, Maria mungkin sudah mengatainya pengganggu. Berhubung laki-laki ini berkemungkinan besar yang akan menjadi sumber pemasukan
Maria melihat arloji di tangannya. Jam sudah menunjukan pukul 6:31. Dia kini berdiri di depan pintu rumah besar bergaya Eropa. Setelah mengucapkan Basmalah terlebih dahulu, dia menekan bel yang terletak di sisi kiri pintu itu sekali. Setelah menunggu beberapa saat, pintu rumah terbuka menampilkan seorang wanita paruh baya yang pernah di tolongnya beberapa hari kebelakang.Maria cukup terkejut dengan kebetulan ini. Ibu-ibu yang di tolongnya waktu itu ternyata tinggal di rumahnya Gudy yang telah menjadi Bosnya saat ini. Maria hanya bisa tersenyum kecil ketika mendapati wajah terkejut Arum. "Assalamualaiku ibu." Sapanya mendahului, karena tidak ada tanda-tanda wanita paruh baya di depannya akan menyapa dalam waktu dekat.Arum mengembangkan senyumnya dengan lebar. Dia tidak menyangka akan di pertemukan kembali dengan perempuan yang menolongnya tempo hari itu. "Wa'alaikum salam. Kamu yang nolongin saya waktu itu, ya?"Maria mengangguk sambil tersenyum kec