Share

Bab 3. Pertemuan dengan laki-laki misterius.

"Sebaiknya mulai sekarang kamu harus tau diri!" Sela menyeringai. "Sebelum Fiko membuangmu dengan hina, lebih baik kamu pergi dengan terhormat."

Maria menatap datar Sela. "Sepertinya kamu begitu ingin saya pergi?" Maria tidak tau letak salahnya di mana sehingga Sela bisa begitu tidak menyukainya. Harusnya, di sini yang merasakan ketidak sukaan adalah dirinya karena sela telah masuk ke dalam pernikahannya. Walaupun agama memperbolehkannya, tapi itu juga harus sesuai dengan syariat yang telah ditentukan. Dan letak poligami yang Fiko lakukan tentu tidak dapat di benarkan.

"Tentu!" Sela menyilangkan tangannya di dada dan memandang Maria rendah. "Orang sepertimu hanya bagaikan batu kerikil yang ingin dipungut untuk dijadikan berlian. Harusnya kamu sadar, sekali kerikil tetap kerikil. walau digosok sedemikian rupa pun, nilai jualnya akan tetap sama rendah. Sama sepertimu yang rendahan."

"Bicaramu seolah kamu berlian saja. Saya kerikil, namun kemanfa'atannya begitu banyak bagi orang lain. Salah satunya selain kerikil itu tahan banting, untuk jalan raya. Tanpa kerikil, tidak akan ada jalan yang kuat untuk dilalui banyak mobil. Lalu kamu seolah merasa dirimu adalah berlian. Ya, mungkin memang benar. Kamukan ular. Dalam film tuh biasanya ular juga pada punya berlian." Maria tersenyum puas mendapti wajah merah Sela. "Ternyata sebegitu tidak sukanya kamu dengan keberadaanku!"

Sela kembali menyeringai. Dia berbalik, namun sebelum melangkah, dia menengok sedikit kearah Maria. "Baguslah kamu menyadarinya. Untuk membuat Fiko hanya memandangku seorang, maka benalu sepertimu harus kusingkirkan terlebih dahulu."

Maria tertegun dengan apa yang baru saja Sela ucapkan. Apakah baru saja dia diancam madunya? Maria tertawa miris, "sebegitu tidak lakunya kamu sehingga harus merebut suami orang."

Sela yang sudah berjalan sontak menghentikan langkahnya. Dia berbalik sepenuhnya menghadap Maria. "Saya tidak merebutnya dari kamu. Fiko sendiri yang menginginkanku. Lagipula, apa yang bisa diharapkan dari perempuan mandul sepertimu. Menyusahkan."

Maria meredam gejolak rasa yang ingin meledak keluar dengan beristigfar dalam hati. "Jadilah apa yang kamu inginkan. Sesungguhnya karma tau harus pada siapa dia membalas."

"Takuuut." Sela tertawa mengejek.

Maria yang melihat kepergian Sela hanya bisa menghela napas pelan. "Kenapa kamu menikahi wanita seperti itu, mas?"

***

Rutinitas sehari-hari Maria tetap sama walau di rumah itu bertambah satu anggota, yaitu Sela. Maria tidak pernah meminta Sela untuk membantu pekerjaannya dalam mengurus rumah, memasak, bahkan memberi ibu obat dengan teratur. Semua kegiatan itu Maria kerjakan sendiri karena ingin memperlihatkan pada Fiko kalau wanita yang menjadi madunya itu tidak sebaik yang Fiko pikirkan. Sela adalah wanita ular berkepala dua.

Setelah kejadian kemarin di belakang rumah. Maria kini paham dengan niat Sela yang ingin merebut Fiko dari dirinya. Dia sengaja menarik perhatian Ibu, karena Ibu merupakan kelemahan terbesar Fiko. Maria sungguh menyayangkan sikap Ibu mertuanya yang gampang terbujuk rayu oleh Sela. Maria yakin, setelah Sela mendapatkan apa yang dia mau, perlakuan Sela pada Ibu pasti berubah.

Maria yang saat ini tengah membuka kulkas guna ingin mengambil sayuran untuk di masak hanya bisa menghela napas lelah. Isi kulkas itu ternyata kosong. Dia bertanya-tanya, apakah Sela tidak berbelanja kebutuhan dapur? Lantas di gunakan untuk apa uang gaji yang di berikan Fiko?

Maria menyeringai samar. Dalam hati dia beristigfar karena memiliki niat tidak baik. Dia tidak akan memasak sarapan untuk pagi ini. Maria akan membiarkan para penghuni lapar karena tidak ada makanan. Biarkan saja Sela yang mendapat kemarahan karena salahnya tidak berbelanja. Tentu Maria tidak akan membiarkan dirinya ikut kelaparan. Dia masih mempunyai uang yang di berikan Fiko kemarin.

Dengan langkah ringan Maria pergi keluar untuk mencari sarapan. Sekitar 1 kiloan dia berjalan, akhirnya dapat menemukan penjual bubur ayam. 

"Mang, bubur ayamnya satu porsi. Jangan pakai kecap manis!" Teriaknya pada Mang Ahmad, penjual bubur ayam.

Mang Ahmad mengacungkan jempolnya.

Maria mendudukan tubuhnya di kursi kosong. Selagi menunggu bang Ahmad membuatkan pesanannya, Maria melihat sekelilingnya. Kedai ini ramai dengan para pembeli dan hampir semua kursi penuh. Mungkin kursi di sebelahnya satu-satunya yang kosong. Maria berucap syukur dalam hati karena kebagian tempat duduk. Kalau tidak, Maria terpaksa harus memakannya di rumah.

"Boleh saya duduk di sini?" Seorang laki-laki berdiri di belakang kursi yang bersebelahan dengan Maria.

Maria mengangguk. "Silahkan."

Laki-laki itu duduk dan ikut memesan. "Mang, saya pesan satu porsi bubur ayamnya, jangan tambahkan kecap manis!" Dia lalu menoleh ketika merasakan tatapan dari perempuan di sampingnya. "Kenapa?"

Maria tersenyum kecil. "Pesanan kita sama."

Laki-laki itu juga tersenyum. "Tidak menambahkan kecap manis?"

Maria menggangguk dan tertawa.

"Seleraku memang sama dengan selera adikku waktu kecil." Laki-laki itu tersenyum penuh arti. Ada emosi tertahan dalam matanya ketika memandang Maria.

Tak lama pesanan pun datang. Setelah mengucapkan basmalah dalam hati, Maria memakannya dalam diam.

"Adikku juga suka memisahkan kerupuknya untuk ia makan terakhir." Laki-laki itu berbicara kembali ketika melihat cara makan Maria yang tengah memisahkan kerupuk dari bubur.

Gerakan tangan Maria yang sedang memilah kerupuk sontak terhenti. Maria berpikir, kenapa perkataan laki-laki di sampingnya seolah mengatakan kebiasaan Maria adalah kebiasaan adiknya. Apakah Maria bisa menyimpulkan maksud dari ucapan laki-laki ini adalah Maria itu adik kecilnya karena kebiasaan mereka sama.

"Kenapa berhenti?"

Maria tersenyum kaku. "Tidak." Maria kembali melanjutkan makannya, namun kali ini dengan ritme yang agak cepat. Maria merasa orang di sampingnya punya aura yang dapat membuat orang di sekelilingnya merinding ngeri.

Setelah buburnya habis, dengan cepat Maria berdiri untuk melangkah. Karena tergesa-gesa, pinggul Maria terantuk meja dan menyebabkan Maria akan terjatuh menghantam aspal ababila sebuah tangan kekar tidak memeluk pinggang rampingnya.

Maria mengerjap kaget. Dalam pelukan seorang pria asing, harusnya Maria merasa risih, namun kenapa pelukan laki-laki ini terasa nyam dan melindungi. Perubahan emosional yang tiba-tiba, mendesak bendungan di mata bulat Maria dan menerobos banjir kecil. Isakan kecil lolos begitu saja. Seolah tubuh Maria begitu merindukan pelukan ini padahal jelas laki-laki ini adalah orang asing.

"Gak pernah berubah. Tetap ceroboh dan cengeng." Suara berat laki-laki itu terdengar mengejek. Ada senyum geli tersungging di bibirnya. Namun, binar matanya tak dapat menutupi kerinduan yang besar pada sosok dipelukannya.

Maria yang baru sadar dengan kondisinya buru-buru melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang menolongnya. Dia melihat ke sekelilingnya. Hampir semua orang kini melihat ke arahnya. "Terima kasih karena telah menolongku." Maria berlari tanpa menunggu jawaban dari laki-laki yang menolongnya.

Sedangkan laki-laki itu hanya memandang kepergian Maria dengan sendu sampai menghilang.

Di perjalanan pulang, Maria memikirkan kembali perkataan laki-laki itu. Apa maksudnya dengan kata  'gak pernah berubah. Tetap ceroboh dan cengeng'. Apakah mereka dulu saling mengenal?

"Seperti ini kelakuan istrimu Fiko! Keluarganya kelaparan eh,dianya malah keluyuran." Marni berucap sinis begitu Maria membuka pintu rumah.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status