Di ruang tamu semua orang sudah berkumpul. Ada Marni, Fiko, dan Sela. Maria melirik Marni sekilas yang duduk di kursi roda sebelum berjalan santai sampai berhadapan dengan Fiko.
"Kamu tau kan di rumah tidak ada makanan. Semua orang kelaparan. Kenapa kamu malah keluar?" Fiko berucap lembut. Bagaimana pun, ini bulan kesalahan penuh Maria. Sela juga istrinya, jadi yang memasak bukan kewajiban Maria seorang.
Maria melirik Sela dan menyeringai samar sampai tidak ada yang menyadarinya kecuali Sela. "Tadi pagi aku udah mau masak. Tapi, pas aku buka kulkas, di sana tidak ada bahan apapun yang bisa di masak."
"Kenapa gak belanja?" Fiko masih berbicara dengan nada lembut. Fiko tidak ingin mengulangi kesalahannya waktu itu yang sempat membentak Maria.
Maria menampilkan wajah tak berdosanya. "Yang pegang uang gajian Mas, kan Sela. Aku kira Sela yang belanja semua kebutuhan rumah. Jadi, mana tau kalau ternyata Sela tidak bisa membagi waktu walau hanya untuk berbelanja!" Maria menjawab ringan.
Fiko melihat ke arah Sela yang kini tengah menggigit bibirnya gusar. "Kenapa gak belanaja?" Tanya Fiko penuh tuntutan.
"Itu Mas, Mas kan tau kalau aku suka kelelahan tiap malem. Masa Mas tega nyuruh aku belanja juga?" Walau gelagapan dalam menjawab, Sela tetap memperlihatkan senyum malu-malunya pada Fiko.
Fiko ikut tersenyum dan menggeleng geli. "Maaf ya, soalnya Mas ingin cepat punya anak."
Sela kini dapat tersenyum lega karena Fiko tidak memarahinya. Diam-diam dia melirik Mari dan memberikan tatapan puas.
"Fiko." Marni memanggil Fiko agak tidak senang karena Maria tidak dapat hukuman apa-apa. "Kamu biarkan Maria begitu saja. Harus di tegur dong! Kalau di biarkan nanti keterusan."
Fiko melihat ke arah ibunya. "Ibu, ini bukan sepenuhnya kesalahan Maria. Kalau saja Maria yang pegang uang gaji aku, pasti keadaannya tidak begini." Fiko melirik ke arah Sela dan memberikan senyum menenangkan. "Mulai sekarang, Maria yang akan memegang uang untuk kebutuhan rumah. Jadi, kamu gak akan merasa terbebani lagi."
Sela dan Marni sontak melotot tak terima. Berbeda dengan Sela dan Marni, Maria justru menyeringai senang karena salah satu tujuannya tercapai.
***
Maria tengah memasak sop untuk makan malam. Setelah di rasa semua bumbu sudah masuk. Maria meninggalkannya sebentar untuk menuntaskan hajatnya ke kamar mandi yang terletak di dapur.
Sela yang melihat Maria sudah masuk ke kamar mandi menyeringai licik. Dia akan membalas penghinaan Maria kemarin. Setelah memastikan tidak ada orang yang melihatnya, Sela mengambil garam dan memasukan sebanyak 5 sendok penuh ke dalam sup yang tengah dimasak. Setelah pekerjaannya selesai. Sela cepat-cepat bergegas pergi sebelum ketahuan orang.
Maria keluar dengan perasaan lega. Tanpa tau apa-apa, Maria menuangkan sop yang sudah matang ke dalam mangkuk. Setelah membawa sop ke meja makan dan menghidangkannya, Maria tersenyum senang karena pekerjaannya hampir selesai. Sembari menunggu penghuni rumah berkumpul, Maria memutuskan untuk membereskan peralatan dapur bekas memasaknya.
Fiko yang pertama datang. Dia tersenyum ketika melihat Maria tengah beres-beres di pantri. "Ya ampun, rajin banget sih istriku ini." Fiko mendekat dan membubuhkan sebuah ciuman di kening.
Maria balas tersenyum, namun tidak mengatakan apa-apa. Dia tetap melanjutkan kegiatannya sampai selesai.
Fiko yang tidak mendapat balasan sapaannya pada Maria juga tidak mempermasalahkannya. Dia duduk di kursi makan menunggu yang lain datang.
"Hai, Mas Fiko." Sela datang dengan tampilan segar sehabis mandi.
"Hai. Sini!" Fiko melambaikan tangannya untuk menyuruh Sela mendekat. Setelah Sela berdiri di sampingnya, Fiko menyuruh Sela untuk duduk di sampingnya.
Sela menyeringai melihat sup yang terhidang di atas meja. Dia tidak sabar dengan apa yang akan terjadi bila sup itu sampai termakan oleh Ibu mertuanya. Ah, Sela sangat ingin segera melihat penderitaan Maria karena Fiko memarahinya habis-habisan. Sela yakin, kali ini Maria pasti terkena rencanya.
Yang di tunggu-tunggu Sela pun datang.
"Oh, kalian udah kumpul." Marni datang sambil memutar roda kursinya.
"Sini bu." Fiko melambai mengajak Marni untuk bergabung yang langsung di turuti sang ibu. Marni menghentikan putaran rodanya ketika sampai di depan meja.
Tak lama Maria pun ikut bergabung sambil membawa piring. Maria membagikan piring di depan masing-masing orang yang duduk di kursi makan.
Senyum Sela melebar begitu Marni menyendok kuah sup dan menaruh di nasinya. Dan senyum Sela makin melebar begitu Marni memasukan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Nasi yang ada di mulut Marni begitu asin hingga membuatnya tersedak. Marni terbatuk sambil memuntahkan kembali nasi yang sudah masuk ke dalam mulutnya.
"Kamu mau meracuni saya!" Marni melotot galak ke arah Maria. Tak puas. Marni mengambil gelas berisi air di depannya dan menyiramkannya pada wajah Maria.
"Maria!" Buru-buru Fiko menghampiri Maria dan mengusap air di wajahnya. Fiko menoleh ke arah Marni. "Ibu apa-apaan, sih. Kenapa Maria ibu siram?" Fiko memandang Marni tak habis pikir.
Marni melengos namun, dia tetap berbicara walau tidak memandang Fiko. "Dia itu sengaja menaruh garam banyak-banyak agar hipertensi ibu makin tinggi." Marni melirik Maria benci. "Dia ingin ibu mati, Fiko."
"Astagfirullah ibu. Aku sama sekali tak berniat begitu. Sayur sopnya juga tidak asin. Tadi udah aku cobain sendiri." Maria mencoba membela dirinya. Karena memang Maria tidak pernah sekalipun ada niat ingin menyakiti ibu mertuanya itu.
"Halah, mana ada maling ngaku." Marni tetap keukeuh kalau Maria tengah ingin mencelakainya. Selama ini dia sudah bersabar hidup se atap dengan orang miskin seperti Maria yang numpang hidup di keluarganya. Kini, dengan kejadian ini, Marni memanpa'atkannya dengan berharap Fiko membuang Maria agar jauh-jauh dari rumahnya. "Kalau kamu tidak percaya, coba saja sendiri."
Fiko langsung mencicipi sop di atas meja. Dan benar, sayur sop itu sangat asin sampai lidah Fiko terasa kebas setelah mencicipinya. "Berapa sendok yang kamu masukin ke dalam sop?" Fiko bertanya berang.
"Se-setengah sendok teh, Mas." Maria menjawab terbata.
Fiko menatap tajam Maria. Kilat kemarahan dalam mata Fiko menjelaskan seberapa emosinya saat ini. "Berani kamu berbohong!" Fiko menyendok sayur sop di atas meja dan menyuapkannya pada Maria. "Yang begitu kamu bilang hanya memasukan setengah sendok teh?" Fiko sengaja mengejek Maria.
"Mas, a-aku tidak tau kalau sayur itu bisa se asin ini. Aku sungguh sudah berbicara jujur sama Mas." Dengan diiringi isakan lirih Maria tetap mencoba membela dirinya. Dia sendiri bingung, kenapa sayurnya bisa sangat asin. Padahal hampir setiap hari Maria memasaknya dengan takaran sama namun, tidak se asin ini hasilnya.
"Kamu harus diberi hukuman agar tidak melakukannya lagi." Fiko mengambil tangan Maria kasar dan menyeretnya tanpa menghiroukan Maria yang meronta minta dilepaskan.
"Mas, lepas Mas. Tangan aku sakit." Maria mencoba melepaskan cekalan tangan Fiko karena Pergelangan tangannya perih. "Mas mau bawa aku ke mana?"
Sesampainya di depan kamar mandi, Fiko langsung melemparkan Maria ke dalam bak mandi. Fiko lantas mengambil selang dan menyiramkannya pada kepala Maria sampai bak yang di dudukinya penuh . "Sela, ambilkan es batu!" Perintahnya yang langsung diangguki Sela dengan semangat.
Sela mengambil es batu dari dalam kulkas sebanyak-banyaknya. Dia sengaja menambahkannya dengan garam agar esnya tidak cepat mencair. Sela tertawa senang dalam hatinya karena merasa puas dapat membalaskan rasa sakitnya pada Maria mengenai kejadian kemarin.
Sela memberikan se ember es batu yang langsung Fiko ambil. Tanpa perasaan, Fiko menyiramkannya pada kepala Maria sampai habis. "Ini hukuam buat kamu, Maria!" Fiko melemparkan ember yang telah kosong sampai membentur tembok. "Ingat ini!" Fiko mencengkram dagu Maria kuat sampai si empunya meringis sakit. "Kalau sampai kamu berbuat hal-hal yang dapat mencelekai Ibu lagi, Mas gak akan segan-segan berbuat lebih dari ini." Fiko melepaskan cengkraman tangannya dengan kasar sampai wajah Maria terlempar ke samping.
"Kenapa kamu gak pernah percaya sama aku, Mas?" Maria bertanya lirih. Selalu, sekecil apapun kesalahan Maria pada Marni, Fiko selalu menyalahkannya.
Fiko hanya memandang Maria datar. Tanpa menjawab pertanyaan Maria, Fiko berlalu meninggalkan kamar mandi.
Seseorang yang menjadi akar di balik pertengkaran barusan, kini tengah memandang Maria puas. Dia berdiri di ambang pintu kamar mandi. "Gimana rasanya?"
***
Dua bulan kemudianGudy menggeliat merubah posisi tidurnya untuk mencari kenyaman, tapi saat satu tangannya meraba tempat di samping yang selalu menjadi kebiasaan Maria tidur ia tidak dapat menemukan istrinya itu. Gudy langsung membuka matanya, untuk memastikan. Benar saja, Maria tidak ia temukan di mana-mana."Sayang," Gudy memanggil serak.Tidak ada jawaban. Gydy turun dari ranjang, mencari keberadaan istri yang baru ia nikahi dua bulan lalu itu. Kini dirinya dan Maria sudah tinggal di rumah mereka, tidak lagi tinggal bersama orang tua Maria.Drama menjengkelkan dengannya Arkan tidak mau mengijinkan Maria untuk pindah membuat Gudy ingin menggigit habis sosok kakak iparnya itu. Pada akhirnya setelah sang nyonya besar Kinanti menjewer telinga Arkan, barulah ia dapat membawa Maria lepas dari sosok kakak yang selalu memonopoli istri tersayangnya itu.&
Gudy terbelalak begitu bangun di pagi hari. Menengok kanan kirinya, ia tidak menemukan Maria ada di mana-mana. Apa yang terjadi? Apa semalam memang tidak terjadi apa-apa?Gudy menunduk melihat penampilannya sendiri, baju kemeja dan celana bahan yang kemarin ia pakai untuk resepsi pernikahan. Melihat sekeliling, kamarnya masih kamar pengantin.Kemarin Gudy dan Maria melaksanan akad nikah sekaligus resepsi di hotel, jadi saat ini Gudy seharusnya bersama Maria masih ada di hotel untuk malam pertama. 3 hari menginap Gudy rasa itu adalah waktu sebentar sebelum kemudian mereka memutuskan untuk tinggal di mana.Gudy membaringkan kembali tubuhnya, berguling memeluk guling di samping kirinya. Menguyel-nguyel untuk menyalurkan rasa gregetnya. Kenapa bisa semalam ia ketiduran?CklekSaat pintu kamar mandi terbuka, Maria
"Bagaiamana saksi sah?"Seorang penghulu melirik beberapa saksi yang duduk di sisi dan belakang Gudy dengan pandangan penuh penilaian. Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis menunggu para saksi mengucapkan kata yang akan merubah Gudy menjadi seorang suami bagi Maria."Sah," serempak para saksi mengucapkan 'sah' setelah saling pandang."Alhamdulillahirobiolalamain," Sang penghulu mengucap hamdalah sambil dilanjutkan dengan doa, begitu pula orang-orang yang hadir menjadi saksi pernikahan, mereka mengangkat tangan untuk ikut berdoa."Sekarang sang mempelai wanita bisa di bawa ke sini," sang penghulu menatap Bagus yang duduk di depan Gudy.Bagus mengangguk, melepaskan jabatan tangannya dengan Gudy. Ia harus menjemput putrinya yang sudah bersuami lagi. Betapa bahagianya ia sekarang karena akhirnya dapat menyaksika
Gudy mengambil air yang tersedia di depannya, menengguk untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Ia melihat kanan kirinya, ada tiga pasang mata yang sedang mengawasinya. Ia menelan ludah, mencoba tersenyum di tengah kekalutan hatinya sendiri."Bagaimana kabar Nak Gudy sekarang?"Gudy mentap Kinanti dengan senyum tak terbaca. "Baik."Kinanti tersenyum, "sekarang Nak Gudy sudah mampir, apa..,""Ya Tante saya sudah siap mendengar jawaban dari lamaran pada Maria." Gudy berkata cepat dan hanya dalam satu tarikan napas. Ia sedikit mendongak dan itu hanya untuk mendapati semua orang menatapnya dengan wajah tercengang.Kinanti yang pertama menyadari kegugupan Gudy, ia tertawa renyah karena merasa terhibur dengan tingkah gugup Gudy. "Padahal Tante hanya mau mengajakmu makan loh.""Ma-makan?" Gu
Gudy mengerjap, tidak menyangka dengan pertanyaan mendadak dari Kinanti. Kalau di tanya begitu, memang Gudy menunggu, tapi kalau jawaban dari Kinanti yang cepat malah hanya berupa penolakan, maaf saja Gudy masih waras untuk memilih nanti saja. "Kalau Tante mau menjawab iya, maka sekarang boleh banget, tapi kalau jawabannya tidak, mohon maaf Tante, nanti saja ya. Moga-moga kalau diundur, jawaban Tante jadi berubah." Gudy tersenyum manis. Senyum dengan tujuan menenangkan diri dari goncangan dahsyat keputusan sang calon ibu mertua. Kinanti tertawa renyah, merasa lucu dengan tingkah dan ucapan pemuda di depannya. "Apa benar begitu?" Gudy mengangguk semangat, "benar Tante." Buru-buru Gudy menambahkan di saat melihat Kinanti hendak membuka mulut. Terlalu parno, Gudy takut kata yang keluar dari mulut Kinanti adalah berupa penolakan. "Maaf sekali Tante karena tidak bisa berlama-lama lagi. Saya ada meeting di perusahaan." "Lagi pula siapa yang ingin kamu berla
"Apa yang kamu katakan?" Bagus menatap tajam Arkan. Namun, Arkan sama sekali tidak terpengaruh dengan peringatan Bagus, dia kini menatap satu persatu orang-orang yang menatap serempak ke arahnya."Saya tidak mau adik saya menikah dengan dia kalau tidak menyiapkan pelangkah.""Pelangkah apa?" Maria bertanya heran. Kenapa kakaknya ini bertingkah aneh? Setaunya Arkan bukan orang yang suka meminta hal-hal seperti ini.Arkan melipat tangan di depan dada, senyum menyebalkan tersungging di wajah angkuhnya. Dia terkekeh jahat dalam hati. Kalau laki-laki ini ingin mengambil adik kesayangannya, maka dia juga bisa mengambil hal paling berharga milik Gudy."Kak?" Maria memanggil untuk menyadarkan Arkan dari khayalannya.Arkan menatap lembut Maria, kemudian menoleh ke arah Gudy dengan seringaian kurang ajar. "Saya ingin pelangkah berupa mini market milikmu. Entah kenapa, saya merasa ada ketertarikan dengan mini market itu, mungkin jodoh."Gudy berkedip.