Share

Mayat-Mayat Hidup
Mayat-Mayat Hidup
Author: Ari Keling

1 - Mayat Pertama

            Arus kendaraan Jalan Tol Jakarta-Cikampek siang ini ramai lancar. Dari arah Bekasi ke Jakarta maupun sebaliknya didominasi kendaraan pribadi. Cahaya matahari cukup terik menyinari sehingga aspal jalanan tampak panas, terlebih suhu di kota ini mencapai 34 derajat celcius.

            Sebuah mobil berwarna hitam berpindah dari lajur cepat ke lajur lambat. Sang sopir kemudian mengarahkan mobilnya keluar dari tol menyusuri jalur menuju Gerbang Tol Bekasi Barat. Sopir bernama Hadi ini menghentikan mobilnya karena harus mengantre lima mobil di depan gerbang tol tersebut.

            Gugun yang duduk di sebelah Pak Hadi menoleh ke belakang karena mendengar Anja terbatuk-batuk. “Nanti pas sampe rumah, lu harus istirahat total,” tegurnya kemudian. Laki-laki berkulit putih dan bermata sipit ini tampak khawatir pada Anja, terlebih dia yang paling dituakan dalam kelompok pertemanan.

            Anja tidak menyahut. Cowok berkulit sawo matang berusia 18 tahun ini menatap Gugun dengan mata kuyu. Di lengan, kaki, dan wajahnya terdapat beberapa luka gores. Kulit kening kirinya yang robek sudah dijahit dan ditutupi kain kasa. Sementara di bagian kedua tulang pipinya memar membiru. Dia pun terlihat lemah dan pucat. Meski AC mobil aktif, dia berkeringat.

            “Kenapa lu keringatan gitu?” Kiman yang duduk di sebelah kanan Anja makin bingung. Sedari tadi dia memperhatikan Anja yang kian aneh dan terlihat tak sehat.

            Alih-alih menjawab, Anja kembali terbatuk-batuk. Dia demam. Tenggorokannya terasa kering. Sementara kepalanya begitu pening.

            Pak Hadi sekilas melihat Anja melalui kaca spion tengah, lalu memfokuskan pandangannya kembali ke kaca depan. Dia menjalankan mobil melewati gerbang tol.

            Candra yang duduk di sebelah kiri Anja jadi ngeri menyaksikan kondisi temannya itu yang semakin parah. Saking takutnya, dia sampai tidak berkomentar. Dia hanya memperbaiki posisi topinya, sikap itulah yang menandakan bahwa dia tengah gugup.

            Secara mendadak, Anja memuntahkan darah, sehingga cairan merah itu membasahi dagu dan bajunya. Kedua matanya tertutup. Dia menggigil sampai giginya bergemelutuk. Keadaan itu sontak membuatnya dipegangi Candra dan Kiman.

            “Pak, tolong langsung ke rumah sakit aja,” kata Gugun dengan panik.

            “Rumah sakit terdekat di mana, Mas Gun?” tanya Pak Hadi yang juga ngeri mendapati kondisi Anja.

            “Belok kiri aja,Pak.”

            Di pertigaan dekat mal, Pak Hadi lantas mengarahkan mobil ke jalur kiri.

            “Lurus terus aja, Pak,” kata Gugun lagi. “Sebelum stadion ada rumah sakit.”

            “Cepatan, Pak!” seru Kiman.

            Pak Hadi tidak menimpali ucapan Kiman. Dia menginjak pedal gas lebih dalam melewati perempatan Kali Malang.

            Gugun kembali memerintah Pak Hadi, “Ambil jalur kiri aja, Pak.

            Pak Hadi mengangguk seraya melihat spion kiri.

            Sementara itu, Anja semakin menggigil. Darah bukan hanya keluar dari mulutnya, tetapi juga dari kedua lubang hidung dan telinganya.

            Kiman dan Candra membuka mata mereka lebih lebar, sehingga biji mata mereka jadi terkesan membesar. Sementara itu, mimik keduanya menampilkan kengerian yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Kini, yang gemetar bukan hanya tubuh Anja, tetapi juga kedua tangan Kiman dan Candra.

            Dengan bergegas dan panik, Pak Hadi mengarahkan mobil masuk ke area rumah sakit untuk langsung menuju IGD dan berhenti di depan ruangan itu.

            Gugun keluar dari mobil dengan cepat. Dia bersama Pak Hadi, Kiman, dan Candra segera menggotong Anja masuk ke IGD.

            “Langsung baringkan ke ranjang aja, Mas,” kata seorang suster yang melihat mereka.

            Anja dibaringkan di baris kiri ranjang ketiga. Tubuhnya menggelepar-lepar seperti ayam yang baru saja disembelih. Dia terus dipegangi Gugun, Pak Hadi, Kiman, dan Candra supaya tidak terjatuh dari ranjang yang berderit-derit.

            Suster bernama Ana merapatkan tirai. “Satu orang langsung ke pendaftaran yang ada di sebelah kiri.”

            “Baik, Sus,” sahut Gugun yang segera berlalu.

            Seorang dokter lelaki bernama Idrus masuk dan lantas mendekati Anja yang masih bergerak-gerak seperti kerasukan setan. “Ini kenapa?”

            “Gak tahu, Dok,” sahut Kiman yang masih memegang lengan kiri Anja. “Tahu-tahu dia menggigil, terus kejang-kejang, muntah darah juga.”

            “Dari hidung dan telinganya juga keluar darah. Dok,” kata Candra menambahkan. Dia terus memegangi lengan kanan Anja.

            “Tolong segera ditanganin, Dok,” tegas Pak Hadi yang memegang kuat kedua kaki Anja.

            Dokter Idrus lebih mendekati Anja seraya agak membungkuk. Belum sempat dia memeriksa, tiba-tiba saja wajahnya terkena semburan darah yang dimuntahkan Anja. Seketika dia terpukul. Ini kali pertama dia mengalami kejadian seperti itu. Dia mengusap darah di wajahnya dengan tangan gemetar, sementara jantungnya berdebar-debar.

            Semua orang pun kaget, apalagi ketika Anja membuka mata yang merah. Sepertinya pembuluh-pembuluh halus di bola matanya telah pecah. Urat-urat saraf di leher dan mukanya pun menonjol, tampak membiru dan seakan-akan mau meledak.

            Saking terkejutnya, Kiman dan Candra sampai sontak melepaskan cengkeraman tangan mereka dari lengan Anja. Keduanya mundur satu langkah sambil menelan ludah. Sementara dokter dan suster terpaku, seolah-olah terhipnotis dengan kejadian itu. Sedangkan Pak Hadi justru menguatkan cengkeraman tangannya pada kedua kaki Anja.

            Anja kini bergerak duduk. Kedua tangannya menggapai-gapai ke depan. Gerakan tangan itu sulit diartikan, entah meminta tolong atau malah mau menyerang. Sampai kemudian, dengan mata yang melotot, seketika itu pula dia kembali terbaring dan bergeming.

            Setelah beberapa detik dikuasi ketegangan, akhirnya Dokter Idris memberanikan diri memeriksa Anja. Bagaimanapun dia yang paling kompeten dalam hal ini. Meski nyalinya sudah menciut sejak tadi, tetapi dia harus menguasi dirinya sendiri.

            Suster Ana tahu betul apa yang dirasakan Dokter Idrus. Pasalnya, dia pun mengalami ketegangan yang sama. Maka dari itu, dia berupaya mendekati Dokter Idrus untuk sekadar mendampingi, bahwa sang dokter tidak sendiri.

            Kiman, Candra, dan Pak Hadi saling bersitatap diselimuti ketakutan dan kebingungan.

            Setelah memeriksa dan memastikan kondisi Anja, Dokter Idrus pun berkata, “Dia udah meninggal dunia.”

            Pak Hadi, Kiman, dan Candra makin terkejut. Ketiganya tak bisa berkata-kata. Meski tahu kondisi Anja sedang sakit, tetapi mereka tidak menyangka kalau Anja berpulang hari ini, terlebih dalam kondisi yang mengenaskan.

            Tirai tersibak. Gugun masuk. “Gimana, Dok?”

            Dokter Idrus membalikkan badan. Dia menatap Gugun dengan sorot mata tegang dan mimik penuh penyesalan. “Temanmu udah meninggal dunia.”

            Bulu kuduk Gugun sontak berdiri, saat itu juga dia merasa semakin ngeri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status