Hari ini, aku bersiap untuk survey lapangan. Menggunakan baju senada seperti kemarin, hanya berbeda warna saja. Hari ini biru cerah, aku ingin kegiatan hari ini cerah sebiru bajuku. Aku menggunakan sepatu trepes, masih terlihat resmi tetapi lebih santai dan nyaman. Tidak ketinggalan, kaca mata hitam anti silau. Yang terakhir ini sebagai andalanku untuk meningkatkan penampilan.
"Wah, sepertinya ada yang sudah tidak sabar lagi!" teriak Mas Sakti melihat aku sudah bersiap. Dia berpakaian lebih santai lagi, celana kain dan baju lengan panjang yang di gulung sampai siku.
"Pagi Pak Sakti!" sapaku.
"Hlo, kok Pak?" tanyanya heran.
"Latihan. Supaya tidak keceplosan!" jawabku.
Kemarin Mas Sakti sudah memberitahu, aku harus memanggilnya pak, di depan Pak Mahendra yang kolot itu. Jangan sampai salah, aku tidak mau ada ungkapan yang mematik keinginanku untuk menimpuk kepalanya. Terlalu ekstrim, ya?
"Okey! Up to you, lah!" ucapnya sambil bersiap.
Kami bergegas ke ruangan Pak Mahendra dan menunggunya di ruang tunggu. Setelah Mas Sakti masuk menemui sekretaris pak bos, dia keluar dan memberitahukan kalau jadwalnya mundur sebentar.
"Kamu mau minum kopi? Sekitar setengah jam baru berangkat. Masih ada waktu! Pak Bos masih ada urusan," jelasnya sambil mengajak ke ruangan untuk istirahat. Ruangan ini yang biasanya digunakan karyawan untuk santai, makan, atau sekadar minum untuk melepas penat.
"Boleh. Kopi hitam," sahutku cepat.
Ini perlu buatku, penambah semangat dan mengurangi tingkat kesetresan sebelum menghadapi Si Vampir. Lalu Mas Sakti meminta OB mengirim segera ke ruang ini. Tidak memakan waktu lama, secangkir kopi yang mengepul sudah tersedia di depan kami.
Kami pun berbincang tentang keadaan di proyek.
"Nanti rekam keadaan tanah di sana. Jadi setelah itu, kamu sesuaikan dengan konsep yang ditetapkan," jelas Mas Sakti sambil menyesap kopi hitam.
"Nanti ada pemetaan keadaan tanah, kan?"
"Ada!" jawab Mas Sakti.
Informasi awalnya, tanah di lokasi ini tidak rata. Ini merupakan tantangan kami untuk menaklukkan posisi ini. Kalau diolah dengan benar, kita akan mendapatkan rancangan yang cantik dan tidak monoton. Jangan sampai kita membuang energi dan dana untuk merubah struktur tanah. Lebih baik perbedaan level tanah dimaksimalkan saja. Mengolah lahan seperti ini adalah tugas kami sebagai arsitek.
"Pak Sakti dan Bu Litu, sudah ditunggu di parkir oleh Pak Mahendra," ucap sekertarisnya yang menghubungi Mas Sakti melalui ponsel.
"Ok. Siap!" jawab Pak Sakti. Ternyata, dia baru datang dan langsung segera pergi ke lokasi. Kami menuju tempat parkir khusus direksi di lantai yang sama ini.
"Kita satu mobil dengan ...."
"Iya. Dengan Mahendra. Dia bilang, sekalian akan jelaskan sesuatu kepada kita," terang Mas Sakti.
Setiba di parkir, sopir sudah membukakan pintu belakang. Terlihat Pak Mahendra sudah duduk di dalam, dengan melihat ponsel di tangannya.
"Bu Litu di belakang dan Pak Sakti di depan," ucapnya sopan. Badannya membungkuk mempersilahkanku masuk. Mas Sakti menepuk bahuku sambil tersenyum.
Apa ...! Aku satu mobil dan satu tempat duduk dengan si Vampir ini?!
Aduh! Sepertinya, hariku tidak sebiru bajuku.
Pelan, aku masuk ke dalam mobil. Duduk serasa tidak enak, melebihi tidak enaknya kena bisul di bokong. Super tidak enaknya, pokoknya.
"Nduk, jadi orang harus berani karena benar dan takut karena salah! Ingat selalu kata Bapak.”
Tapi, ini wejangan yang kurang tepat untuk keadaan sekarang ini. Aku tidak takut, tetapi malas stadium akut. Tidak ada stok wejangan Bapak cara menghadapi orang menyebalkan. Satu-satunya jalan aku mencari di internet, mumpung yang di sebelahku masih sibuk dengan ponselnya.
Aku ketik, 'Cara Menghadapi Orang Menyebalkan'.
Ada!
Satu, cari tahu penyebabnya. Dia tidak suka karena aku perempuan, tidak mungkin kan aku mengubahnya.
Kedua, jangan memupuk kebencian. Mungkin dia bersikap seperti itu karena ada masalah dengan dirinya. Iya betul! Dia mempunyai kenangan buruk bekerja dengan perempuan. Betul!
Ketiga, penyelesaian. Bantu dia untuk merubah penyebab kebencian menjadi berbalik.
Maksudnya? Aku mengernyitkan dahi. Jadi aku harus merubah kenangan buruk menjadi kenangan manis? Gitu?
Iih, amit-amit.
"Kamu kenapa, Litu?" Suara berat terdengar di sebelahku,
*****
Apa yang dicari dalam hidup ini, kalau tidak ketenangan? Untuk apa berlimpah harta dan kekuasaan, tetapi bergelimang kecemasan akan kehilangan? “Karenanya, aku berusaha menyelesaikan urusan-urusanku sebelum menjalani hidup tenang bersamamu, Litu.” Aku menjawab dengan senyuman sambil mengeratkan tangannya yang mengusap perut ini. Hangat tubuh yang selama ini aku nikmati dari bajunya yang tidak dicuci, sekarang bisa aku hidu setiap waktu. Senyuman begitu lekat di wajah ini. Sesekali meneleng ke belakang untuk menyambut ciumannya. “Kak Mahe tidak pergi meninggalkan aku lagi?” “Untuk apa? Semua sudah aku bereskan.” “Janji?” “Janji. Demi anak kita, Litu,” ucapnya sambil membalikkan tubuh ini kepadanya. Wajahnya menunjukkan keseriusan, dengan mata tidak terlepas dariku. “Apa yang terjadi kepadamu, membuat aku berpikir. Kalau aku tetap mempertahankan posisi dan apa yang aku lakukan sekerang, bukan tidak mungkin anak kita nanti akan mendapatkan kemalangan. Aku tidak mau itu.” “Iya. A
Apa salah kalau seorang istri ingin merasa dipentingkan oleh suami sendiri? Apakah tidak benar, kalau aku ingin malam-malamku ditemani suami sambil mengusap perutku yang sudah mulai buncit ini?“Nduk, kamu ingin rujak manis mangga muda? Ibuk bikinkan, ya?”“Tidak usah ditawari. Langsung dibuatkan saja. Pasti Litu kemecer,” sahut Bapak menjawab pertanyaan Bapak.Bukannya aku tidak ingin, tapi aku menginginkan mangga muda yang diambilkan Kak Mahe sendiri. Keinginanku itu sudah tertahan satu minggu, dua minggu, dan sekarang sudah menginjak di bulan kedua. Namun tidak ada kabar sama sekali tentang Kak Mahe.“Suamimu baik-baik saja. Hanya dia belum bisa menghubungimu demi keselamatanmu, Litu,” ucap Mas Sakti kalau aku mengajukan pertanyaan yang sama melalui sambungan telpon.Sampai sekarang aku tidak tahu ada urusan apa yang lebih dia pentingkan. Kalau bisnis, kenapa justru dia meninggalkan perusahaan dan menyerahkan kepada Mas Sakti?Aku seperti istri yang tidak mengerti suaminya seperti
“Kamu benar ingin meninggalkan suamimu?” Alysia menangkup tanganku, menghentikan gerakanku yang sedang memasukkan baju ke dalam koper.Aku menatapnya sebentar. Rasanya ingin menyerah dan pasrah, tetapi hati ini sudah terlanjur terpantik rasa kesal. Menjadi seorang istri yang tidak dianggap. Ucapanku hanya dianggapnya angin lalu.“Iya. Aku ingin pulang ke Jogja. Di sini aku tidak dianggap apa-apa. Bahkan tidak dianggap penting,” ucapku kemudian melanjutkan yang aku lakukan tadi.“Litu. Pak Mahendra pergi karena ada urusan penting.”“Siapa yang bilang? Dia hanya mengurus orang-orang yang menurutnya harus dilibas,” ucapku sambil tertawa. “Alasan saja demi aku. Tapi menurutku itu hanya demi egonya sendiri.”“Sakti pasti benar. Pak Mahendra sedang ada__”“Sedang apa dia, Alys?” ucapku memotong ucapan sahabatku. Sejenak aku mengambil jeda untuk mengatur napas. Mencoba meredam amarah.“Kalau dia memang benar-benar mencintaiku dan sayang kepada anaknya, pasti sekarang ini dia menunggui aku ya
Tangannya memegang erat lenganku. Sorot matanya menunjukkan ketidakrelaan, menyurutkan gerakanku untuk berdiri.“Kak Mahe, aku tidak ingin keributan.”“Tapi Litu. Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku harus membalas perlakuannya kepadamu. Enak saja. Belum tahu siapa Mahendra ini?!” ucapku dengan mengeratkan kepalan tangan ini. Aku berusaha meredam amarahku, terlebih dihadapan Lituhayu.“Sst…. Kalau marah jangan keras-keras, Kak. Nanti dia dengar.” Istriku berdesis sambil menuntukkan telunjuk di depan bibirnya. Aku mengernyit.“Dia? Dia siapa?” tanyaku dengan menoleh ke sekeliling. Hanya ada kami berdua.Lituhayu tersenyum, kemudian menarik tangan ini ke arah perutnya. “Dia, Kak. Anak kita. Walaupun masih kecil di perut, dia sudah mendengar. Bahkan bisa juga merasakan apa yang ada di hati orang tuanya.”Aku terperanga seketika, tersadar dengan perasaan yang aneh ini. Yang menyelusup dan bersarang di hati ini.Anak? Anakku?Rasa yang tidak bisa aku gambarkan. Yang aku tahu, dia m
Aroma wangi bunga menyelusup di penciuman. Kicauan suara burung terdengar bersautan yang mengantarkan kedamaian, mengusikku untuk membuka mata.Mata ini mengerjap, menajamkan pandangan yang terhalang tirai putih berkibar tergantung di tiang ranjang. Sesekali terlihat pemandangan yang menakjubkan, seiring dengan angin yang berembus halus.‘Dimana aku ini?’Penasaran. Aku beringsut dan perlahan kaki ini turun dari ranjang berwarna serba putih. Telapak kaki tergelitik seketika, saat beradu dengan ujung rumput.‘Apakah aku sudah di surga?’ bisikku dalam hati setelah menyibak tirai. Pemandangan indah terhampar luas. Aku di tengah-tengah taman indah dan beratapkan langit biru yang menyejukkan.Masih teringat lekat, tubuh ini melayang di udara. Telingaku yang mendengar teriakan pak sopir di sela suara Mas Sakti dan berakhir dengan silau yang menyerang mata ini.Siapa mereka?Sosok berbaju berbaju putih menunduk mengerumuni keranjang rotan.Penasaran. Langkah ini seakan melangkah dengan sendi
Kalau mempunyai keinginan, memang harus diupayakan. Aku setuju tentang itu. Akan tetapi bukan begini juga prakteknya.Kebersamaan kami tidak hanya di rumah saja. Keinginan segera memiliki buah hati juga digaungkan di kantor. Hampir setiap ada kesempatan, Kak Mahe memanggilku ke ruangannya. Tentu saja berakhir di ruang rahasia belakang kabinet.Ranjang yang menghadap jendela lebar, seakan merindukan kehangatan kebersamaan ini. Menjadi saksi bisu kegigihan upaya kami berdua.“Kamu selalu cantik, Sayang.”Kak Mahe mengaitkan rambutku ke belakang telinga. Seakan selesai kerja keras, pendingin ruangan tidak menyurutkan keringat yang melembabkan kulit ini. Aku menggeliat, meregangkan tubuh yang lelah karena ulahnya. Seakan mengerti, selimut ditangkupkan di tubuhku yang masih meringkuk. Aku seperti atlit maraton yang mengibarkan bendera putih tanda menyerah.Senyum ini mengembang, saat dia mencium lembut kening ini. Mata ini pun enggan terpejam, saat dia dengan tubuh polosnya beranjak santa