"Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku.
"Maksudnya dia…. Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.
'Aduh!'
"Kenapa? Cacing kamu langsung mogok lagi?" ledek Mas Sakti terkekeh. Mungkin melihat wajahku yang sebelumnya semangat ingin makan, berubah terlihat aneh.
"Beneran, kita makan bersama Pak Mahendra yang tadi itu? Mas Sakti saja mungkin?" tanyaku tidak percaya. Bukannya tadi bicara denganku saja seperti mau muntah. Kenapa sekarang malah menghadirkanku di meja makannya? Jangan-jangan aku akan dimakan hidup-hidup dan dicabik-cabik oleh vampir itu.
"Sama kamu jugalah! Tadi sudah dibilang, kan," jawabnya sambil melangkah mengikuti Mbak Endah ke ruang VIP yang berada di ujung, aku berlari kecil untuk mensejajarinya.
"Hiiii," desisku sambil mengangkat bahu.
"Kenapa, Litu?"
"Ngeri!" jawabku spontan. Mas Sakti terbahak mendengar ucapanku.
Setiba di depan pintu, Mbak Endah membukakan pintu dan membungkuk mempersilahkan kami masuk.
Aku memperhatikannya, sebegitukah aturan dengan orang kaya?Setelah aku masuk, sekilas aku melirik Mbak Endah tersenyum kepadaku sambil mengacungkan jempol yang sedikit dia sembunyikan. Aku membalasnya dengan anggukan dan senyum heran dengan apa yang dimaksud.
Ruangan ini, lebih indah dengan adanya taman kecil dengan kolam meni yang ada air mancur terbuat dari bambu. Air jatuh ke kuali tanah yang diposisikan seakan tumpah, menimbulkan suara gemercik air.
Di dalam, sudah set-up meja makan besar berbentuk bulat. Hanya tiga kursi yang tersedia di sana. Piring dengan satu set peralatan makan tersedia di setiap depan kursi. Berarti, hanya kamilah yang menemaninya makan.
Mas Sakti dengan santainya masuk dan ngambil tempat duduk di sebelah kanan Pak Mahendra yang masih konsentrasi dengan ponselnya. Akupun duduk di kursi satunya.
Hening, kami menunggunya selesai dengan kesibukannya. Aku menatap Mas Sakti, dia memberi kode untuk sabar sebentar dengan mengarahkan dagu ke arah Pak Mahendra-si Vampir itu yang masih sibuk.
Beberapa saat kemudian, Mbak Endah dan rekannya membawa hidangan dan dijajar di meja bulat ini. Gelas diisi mineral water dingin. Kami juga di sodorkan buku drink list untuk memesan minuman.
"Saya manggo juice," ucapku.
"Saya sama dengan dia!" timpal Pak Mahendra mengejutkanku, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya, entah apa yang dikerjakan. Pasti penting sekali.
"Saya orange juice!" tambah Mas Sakti.
Kami terdiam lagi.
Huuft, acara makan yang paling garing dalam hidupku. Cacing di perutku juga merasakannya, buktinya mereka tidak protes sama sekali. Mungkin mereka sudah mogok tidak selera makan.
.
.
"Eh, kalian. Ayo makan, saya sudah lapar! Kalian tidak lapar?!" tanyanya.
Dia melihat aku dan Mas Sakti bergantian tanpa rasa bersalah. Bener-bener nih, orang. Tidak punya hati, kita saja hampir mati kelaparan.
"Iya, Pak!" ucapku.
Aku langsung bersiap untuk makan, menunggunya mengambil nasi, kemudian Mas Sakti. Dia langsung menyodorkan kepadaku dengan menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum. Aku balas dengan seringai dan tersenyum kembali setelah Pak Mahendra melihat kami kembali.
Ih, serasa gimana gitu!
Aneh!
Kami makan bersama. Pak Mahendra dan Mas Sakti makan sambil berbincang tentang survey hari besuk. Aku hanya mendengarkan saja dan sesekali menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadaku.
Dua hari lagi, kami ada peresmian apartemen dan dilanjutkan acara Gala Dinner. Acara ini juga digunakan untuk memasarkan apartemen tersebut. Undangan yang datang dari banyak kalangan, tentunya yang berpotensi sebagai konsumen.
"Litu! Kamu harus ikut!" perintah Pak Mahendra kepadaku.
"Saya?"
"Iya! Yang acara gala dinner. Banyak relasi kami yang datang. Supaya mata kamu terbuka, siapa saja yang nantinya menjadi konsumen kita. Jangan sampai, rancanganmu nanti membuat kami malu apalagi rugi!" tegasnya.
Ucapannya selalu ada kata yang tidak enak. Huuft, Bos satu ini memang menjengkelkan!
Aku tersenyum kikuk dan mendelik ketika dia menunduk, Mas Sakti tersenyum simpul melihat sikapku ini.
Kami makan siang, setelah selesai basa-basi Pak Mahendra keluar terlebih dahulu.
"Akhirnya!" desahku lega. Aku selonjorkan kakiku.
"Masih lapar?" tanya Mas Sakti.
"Sudah kenyang, tetapi kurang mantap," ucapku dengan mendongakkan kepala melepas rasa kaku di leher ini.
"Masih ada dua puluh menit, ikut aku!"
Dia langsung beranjak berdiri, melangkah keluar dan aku mengikutinya. Kami masih di cafetaria, tetapi di sudut lainnya.
"Wah, segar sekali di sini!" teriakku senang ketika baru masuk ke tempat ini.
Mas Sakti tadi menyuruhku masuk dahulu, entah dia mau kemana.
Ruangan ini, outdoor. Dikelilingi tembok dengan ornamen batu hitam setinggi satu setengah meter dan di atasnya tralis besi hitam berbentuk organik, seperti tumbuhan yang menjalar. Tetap, tanaman hijau dimana-mana. Meja dari papan kayu utuh natural dan kursi bar tinggi, membuat kita terasa lebih nyaman.
"Nih, ice cream," ucapnya menyodorkan satu cup coklat ice cream. Ternyata dia mengambil hidangan penutup terlebih dahulu. Aku tersenyum girang dan segera menikmatinya.
"Ini ruangan khusus perokok!" jelas Mas Sakti.
"Tapi sekarang, ruangan favoritku," potongku dengan merentangkan kedua tanganku. Mas Sakti hanya tersenyum melihatku.
"Lumayan untuk melepaskan penat dan memanjakan diri sebentar. Sebelum kami menyiksamu, " ucapnya sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya.
Aku yang mulai relax langsung menegakkan badan dan menoleh ke arahnya. "Maksudnya, Mas?"
"Lihat saja besuk. "
*****
Hari ini, aku bersiap untuk survey lapangan. Menggunakan baju senada seperti kemarin, hanya berbeda warna saja. Hari ini biru cerah, aku ingin kegiatan hari ini cerah sebiru bajuku. Aku menggunakan sepatu trepes, masih terlihat resmi tetapi lebih santai dan nyaman. Tidak ketinggalan, kaca mata hitam anti silau. Yang terakhir ini sebagai andalanku untuk meningkatkan penampilan. "Wah, sepertinya ada yang sudah tidak sabar lagi!" teriak Mas Sakti melihat aku sudah bersiap. Dia berpakaian lebih santai lagi, celana kain dan baju lengan panjang yang di gulung sampai siku. "Pagi Pak Sakti!" sapaku. "Hlo, kok Pak?" tanyanya heran. "Latihan. Supaya tidak keceplosan!" jawabku. Kemarin Mas Sakti sudah memberitahu, aku harus memanggilnya pak, di depan Pak Mahendra yang kolot itu. Jangan sampai salah, aku tidak mau ada ungkapan yang mematik keinginanku untuk menimpuk kepalanya. Terlalu ekstrim, ya? "Okey! Up to you, lah!" ucapnya sambil bersiap. Kami bergegas ke ruangan Pak Mahendra dan m
"Kamu kenapa, Litu?" suara berat terdengar di sebelahku, membuatku kaget. Hampir saja ponsel di tanganku terpental. Ternyata kalau bersuara lirih, kedengaran di telinga berbeda. Ada rasa menggelitik di hati ini, menyelusup dan gimana gitu."Ti-tidak, Pak. Tadi minum kopi terlalu kental," jawabku asal nyomot. Tidak mungkin aku berterus terang penyebab sebenarnya. Bisa jadi, aku langsung di pecat. "Sakti, tadi kalian minum kopi tanpa makan apapun?!" tanyanya dengan suara agak keras. "Iya, tadi kita tunggu lebih setengah jam sambil minum kopi. Yang lebih kasihan itu Litu. Karena terlalu bersemangat, datangnya lebih awal. Pasti dia tidak sempat sarapan!" seloroh Mas Sakti berbalas pelototan mata dariku. Sialan aku dijadikan alasan. "Baik, aku minta maaf sudah terlambat. Kamu mau makan pagi apa, Litu? Saya traktir," ucapnya dengan menatapku. Aku langsung menatapnya balik, beneran yang bicara barusan si Vampir itu? Minta maaf? Dan, dengan suara pelan lagi. Lebih enak didengar tetapi te
"Ada apa, Sakti? " Suara yang menjadi mimpi buruk membuat badanku kaku seketika. ‘Duh, kenapa sampai ketahuan Si Vampir?’ Mas Sakti tertawa melihat wajahku yang memberi kode untuk tidak berkata sejujurnya. Alih-alih menutupi apa yang terjadi, dia justru berkata yang tidak-tidak. “Litu kawatir kalau aku tinggal dia pulang dengan siapa. Takut kamu tinggal. Kamu akan menunggunya, kan?” ucap Mas Sakti membuat mataku semakin melotot ke arahnya. Kenapa dia justru berkata kebalikannya? Bikin malu saja! “Ti-tidak, Pak. Saya tidak bilang seperti itu,” ucapku sembari membalikkan badan. Namun, yang dituju justru sudah melangkahkan kaki menjauh dari kami. ‘Ish … dasar bos tidak punya sopan santun. Orang belum selesai bicara sudah diringgal pergi!’ gerutuku dalam hati. *** Setelah beberapa waktu kami sibuk menggali data. Aku berbincang dengan Kepala Proyek, Mas Sakti sudah pergi dengan penanggung jawab pembangunan aparteman, sedangkan Pak Mahendra terlihat sibuk dengan ponselnya. "Bu Li
"Litu! Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Mas Sakti setiba aku di ruangan. Dia sudah sibuk di balik meja kerjanya dengan setumpuk berkas dihadapannya. "Tidak apa-apa bagaimana? Tadi saya mempertaruhkan nyawa!" jawabku sambil menghempaskan tubuh ini di kursi kerjaku. Dia langsung berdiri dan menghampiriku."Tadi kamu bertemu dengan Siska? Anak lapangan memberi tahu tadi." Jadi kejadian tadi sudah menyebar kemana-mana. Pantas saja, mereka bersikap seperti itu. Menatapku seakan menjadi tersangka pada sebuah kejadian."Siska? Perempuan itu, namanya Siska? Mas Sakti kenal?" tanyaku dan menegakkan dudukku. Jiwa penasaranku langsung bangkit, aku tatap Mas Sakti menuntut penjelasan."Kenapa? Kenapa kamu melotot kepadaku?" tanyanya dengan memundurkan wajahnya."Mas, ayolah. Beri saya penjelasan. Saya bisa mati penasaran kalau nantinya dicelakainya. Mas Sakti mau saya hantui?!" ucapku sambil menyeringai ke arahnya. Dia malah tertawa."Kamu sudah siap jadi hantu demi Mahendra? Hahaha ..." ledeknya
"Weee! Melamun saja!" teriak Alysia mengagetkan aku. Entah kapan dia pulang ke rumah. Tiba-tiba sudah nongol di pintu kamar. Dia menghampiriku yang berbaring malas di tempat tidur. "Main, yuk! Pusing, aku!" teriaknya sambil meloncat berbaring di sebelahku. "Tumben pusing. Biasanya kamu orang yang tidak pernah pusing?" tanyaku melihat mukanya yang cemberut. Dari kuliah dulu, dia memang seperti ibu peri. Tempat berkeluh kesah dan pemberi semangat, dan sekarang kelihatan seperti orang kalah. "Kesal saja, ngadepin pelanggan yang ngeselin! Seperti dia saja yang punya uang. Gemes aku!" teriaknya sambil menggoyang-goyangkan kaki ke atas. Katanya kalau kesal, cara membuang energi dengan olah raga. Termasuk gerakan dia sekarang ini. Ada-ada saja! "Kalau gemes, cubit aja pipinya!" celetukku sambil tertawa. "Pipinya sudah kempot, Say! Sudah tua, tapi otaknya tidak jalan!" keluhnya. "Siapa, sih?!" tanyaku dengan memiringkan badan ke arahnya. Alysia mendapat pelanggan baru, orang berduit
Astaga!Dia perempuan yang berbaju merah yang membuatku takut tadi!Siska, mantan Pak Mahendra.Aduh ...!Bagaimana ini?Tanganku mendingin, ingatanku dengan wajah marahnya terbayang jelas. Bagaimana kalau dia bertemu denganku lagi? Bisa jadi aku dicincangnya. Ingatan itu membuatku begidik.Aku langsung menarik kepalaku dan meringkuk bersembunyi di balik tanaman tinggi. Alysia mengikuti apa yang aku lakukan."Kenapa kita bersembunyi?" tanya Alysia memegang tanganku. "Litu, kenapa kamu terlihat takut?" tanyanya sekali lagi "Ssstt ...! Dia itu Siska, yang aku ceritakan tadi," ucapku dengan berbisik. "Apa!" teriak Alysia kaget dan aku membungkam mulutnya sebelum bersuara keras lagi. "Ssstt ...!"Keributan itu masih terjadi, pegawai yang sepertinya supervisor tidak mampu menanganinya. Dia malah semakin menjadi, pegawai itu dibuatnya mati kutu. Dia baru berhenti setelah ada laki-laki berjaket kulit warna hitam, menghampiri mereka. Dia bersama beberapa laki-laki berbaju senada, hitam. Be
"Pak! Saya tidak mau di anggap perempuan tidak benar!" protesku. Tiba-tiba dia menghentikan mobilnya. Samar, dari terangnya lampu jalan terlihat rahangnya yang mengatup keras. Sempat rasa takut menghinggapi hati ini, tapi mengingat perlakuan yang seenaknya rasa kesal lebih menuntutku untuk bicara. "Lituhayu! Ingat, saya tidak pernah menganggapmu seperti itu! Aku hanya menyelamatkanmu!" "Menyelamatkan atau membahayakan saya? Saya merasa diculik. Tanpa saya tahu kenapa saya diposisi ini. Seperti pencuri saja," ucapku kesal. Rasa segan terkalahkan dengan kesalku. Percuma bicara dengan orang tanpa hati seperti vampir di sebelahku ini. "Itulah alasan kenapa saya tidak suka merekrut perempuan! Apalagi seperti kamu.” “Kenapa kalau perempuan, Pak? Saya harus terjebak dengan situasi yang saya tidak mengerti. Bahkan saya tidak melakukan kesalahan apapun!" ucapku membalas tatapannya yang tidak berpindah dariku. "Siapa bilang kamu tidak melakukan apapun? Segala yang kamu lakukan membuat
"Tidakkan ini berlebihan? Ini seperti bukan aku," ucapku ketika melihat tampilan wajahku di cermin. Rambutku kembali ke warna semula, hitam dan dirapikan di beberapa bagian. Aku terlihat berbeda, lebih segar. Wajahku dirias tipis tetapi membuat wajahku seakan berkilau. Tempat rujukan Alysia mengubahku berbeda, jujur, terlihat lebih ekslusive. Senyumku mengembang dengan sendirinya, ibuku pasti pangling."Nah, gini dong. Kamu seperti perempuan!" celetuk Alysia dengan tertawa."Ngaco! Jadi selama ini aku kelihatan seperti lakik!" "Ya, begitulah! Sekarang cantik!" ucapnya dengan merapikan rambut baruku ini.Tadi malam, kami bertiga aku, Alysia dan Mas Sakti membahas, bagaimana aku bisa mendatangi gala dinner kalau Sandra mengenaliku. Bisa jadi acara menjadi rusak dan berujung dipecatnya diriku. "Sebenarnya dia tidak tahu benar wajah kamu, yang dia ingat, kamu berambut pirang," jelas Mas Sakti kepadaku. "Kalau begitu diganti saja warnanya!" sela Alysia. "Siiip, kalau begitu. Besuk ka