Share

Bab 8. Bersama Si Vampir

"Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku.

"Maksudnya dia…. Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.

'Aduh!'

"Kenapa? Cacing kamu langsung mogok lagi?" ledek Mas Sakti terkekeh. Mungkin melihat wajahku yang sebelumnya semangat ingin makan, berubah terlihat aneh.

"Beneran, kita makan bersama Pak Mahendra yang tadi itu? Mas Sakti saja mungkin?" tanyaku tidak percaya. Bukannya tadi bicara denganku saja seperti mau muntah. Kenapa sekarang malah menghadirkanku di meja makannya? Jangan-jangan aku akan dimakan hidup-hidup dan dicabik-cabik oleh vampir itu.

"Sama kamu jugalah! Tadi sudah dibilang, kan," jawabnya sambil melangkah mengikuti Mbak Endah ke ruang VIP yang berada di ujung, aku berlari kecil untuk mensejajarinya.

"Hiiii," desisku sambil mengangkat bahu.

"Kenapa, Litu?" 

"Ngeri!" jawabku spontan. Mas Sakti terbahak mendengar ucapanku.

Setiba di depan pintu, Mbak Endah membukakan pintu dan membungkuk mempersilahkan kami masuk.

Aku memperhatikannya, sebegitukah aturan dengan orang kaya?Setelah aku masuk, sekilas aku melirik Mbak Endah tersenyum kepadaku sambil mengacungkan jempol yang sedikit dia sembunyikan. Aku membalasnya dengan anggukan dan senyum heran dengan apa yang dimaksud.

Ruangan ini, lebih indah dengan adanya taman kecil dengan kolam meni yang ada air mancur terbuat dari bambu. Air jatuh ke kuali tanah yang diposisikan seakan tumpah, menimbulkan suara gemercik air.

Di dalam,  sudah set-up meja makan besar berbentuk bulat. Hanya tiga kursi yang tersedia di sana. Piring dengan satu set peralatan makan tersedia di setiap depan kursi. Berarti, hanya kamilah yang menemaninya makan.

Mas Sakti dengan santainya masuk dan ngambil tempat duduk di sebelah kanan Pak Mahendra yang masih konsentrasi dengan ponselnya. Akupun duduk di kursi satunya.

Hening, kami menunggunya selesai dengan kesibukannya. Aku menatap Mas Sakti, dia memberi kode untuk sabar sebentar dengan mengarahkan dagu ke arah Pak Mahendra-si Vampir itu yang masih sibuk.

Beberapa saat kemudian, Mbak Endah dan rekannya membawa hidangan dan dijajar di meja bulat ini. Gelas diisi mineral water dingin. Kami juga di sodorkan buku drink list untuk memesan minuman. 

"Saya manggo juice," ucapku.

"Saya sama dengan dia!" timpal Pak Mahendra mengejutkanku, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya, entah apa yang dikerjakan. Pasti penting sekali.

"Saya orange juice!" tambah Mas Sakti.

Kami terdiam lagi. 

Huuft, acara makan yang paling garing dalam hidupku. Cacing di perutku juga merasakannya, buktinya mereka tidak protes sama sekali. Mungkin mereka sudah mogok tidak selera makan.

.

.

"Eh, kalian. Ayo makan, saya sudah lapar! Kalian tidak lapar?!" tanyanya. 

Dia melihat aku dan Mas Sakti bergantian tanpa rasa bersalah. Bener-bener nih, orang. Tidak punya hati, kita saja hampir mati kelaparan.

"Iya, Pak!" ucapku.

Aku langsung bersiap untuk makan, menunggunya mengambil nasi, kemudian Mas Sakti. Dia langsung menyodorkan kepadaku dengan menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum. Aku balas dengan seringai dan tersenyum kembali setelah Pak Mahendra melihat kami kembali. 

Ih, serasa gimana gitu!

Aneh!

Kami makan bersama. Pak Mahendra dan Mas Sakti makan sambil berbincang tentang survey hari besuk. Aku hanya mendengarkan saja dan sesekali menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadaku. 

Dua hari lagi, kami ada peresmian apartemen dan dilanjutkan acara Gala Dinner. Acara ini juga digunakan untuk memasarkan apartemen tersebut. Undangan yang datang dari banyak kalangan, tentunya yang berpotensi sebagai konsumen.

"Litu! Kamu harus ikut!" perintah Pak Mahendra kepadaku.

"Saya?"

"Iya! Yang acara gala dinner. Banyak relasi kami yang datang. Supaya mata kamu terbuka, siapa saja yang nantinya menjadi konsumen kita. Jangan sampai, rancanganmu nanti membuat kami malu apalagi rugi!" tegasnya.

Ucapannya selalu ada kata yang tidak enak. Huuft, Bos satu ini memang menjengkelkan!

Aku tersenyum kikuk dan mendelik ketika dia menunduk, Mas Sakti tersenyum simpul melihat sikapku ini.

Kami makan siang, setelah selesai basa-basi Pak Mahendra keluar terlebih dahulu.

"Akhirnya!" desahku lega. Aku selonjorkan kakiku.

"Masih lapar?" tanya Mas Sakti.

"Sudah kenyang, tetapi kurang mantap," ucapku dengan mendongakkan kepala melepas rasa kaku di leher ini.

"Masih ada dua puluh menit, ikut aku!" 

Dia langsung beranjak berdiri, melangkah keluar dan aku mengikutinya. Kami masih di cafetaria, tetapi di sudut lainnya.

"Wah, segar sekali di sini!" teriakku senang ketika baru masuk ke tempat ini. 

Mas Sakti tadi menyuruhku masuk dahulu, entah dia mau kemana.

Ruangan ini, outdoor. Dikelilingi tembok dengan ornamen batu hitam setinggi satu setengah meter dan di atasnya tralis besi hitam berbentuk organik, seperti tumbuhan yang menjalar. Tetap, tanaman hijau dimana-mana. Meja dari papan kayu utuh natural dan kursi bar tinggi, membuat kita terasa lebih nyaman.

"Nih, ice cream," ucapnya menyodorkan satu cup coklat ice cream. Ternyata dia mengambil hidangan penutup terlebih dahulu. Aku tersenyum girang dan segera menikmatinya.

"Ini ruangan khusus perokok!" jelas Mas Sakti.

"Tapi sekarang, ruangan favoritku," potongku dengan merentangkan kedua tanganku. Mas Sakti hanya tersenyum melihatku.

"Lumayan untuk melepaskan penat dan memanjakan diri sebentar. Sebelum kami menyiksamu, " ucapnya sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya.

Aku yang mulai relax langsung menegakkan badan dan menoleh ke arahnya. "Maksudnya, Mas?"

"Lihat saja besuk. "

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status