Share

Part 1

Suasana taman kota di hari Minggu selalu saja ramah. Innara kecil menggoyangkan kaki mungilnya yang menggantung di atas jalanan batu di bawahnya. Kepalanya tertunduk memandang pita yang menjadi penghias sepatu berwarna merah mudanya. Dia bukannya tidak menikmati keadaan di sekitar, hanya saja, jika dia mendongakkan kepala, dia takut menangis karena merasa iri. 

Di depannya, banyak sekali anak seusianya yang sedang asyik bermain dengan orangtua mereka. Ayah dan ibu, dan juga adik. Sementara dirinya, dia hanya bisa duduk sendirian, menunggu sang nenek datang kembali setelah menjanjikan akan membelikannya eskrim.

"Nara kenapa?" pertanyaan lembut itu membuat Innara mendongak. Mata kelabu sang nenek memandangnya dengan khawatir. "Ada yang salah? Nara sakit?" tanya sang nenek seraya menyodorkan eskrim rasa coklat padanya.

Innara mencoba mengembangkan senyumnya dan menggelengkan kepala. "Nara gak sakit, Nin." Jawabnya dengan suara ceria yang dia buat-buat. 

Ya, untuk anak berusia tujuh tahun, Innara sudah bisa berakting dengan lihai. Ia pandai menutupi perasaannya yang sebenarnya dan selalu berusaha menunjukkan senyumnya pada dua orang wanita super yang menjadi pelindungnya. 

"Disini panas, makanya Nara nunduk." Jawabnya seraya membuka bungkusan es krim berbentuk corong tersebut. Neneknya hanya tersenyum. Saat rambut Innara jatuh menghalangi pipinya, neneknya kemudian mengulurkan tangan dan memasangkan jepitan di rambutnya.

"Nara kecewa ya, karena gak bisa kesini sama Bunda?" tanya neneknya lagi.

Innara tidak menjawab pertanyaan sang nenek dan memilih untuk menjilat eskrim di tangannya sebelum es itu meleleh dan jatuh pada sela-sela jarinya. 

"Nara harus inget, Bunda kerja buat Nara. Buat biaya sekolah Nara. Kan Nara dulu bilang kalo Nara juga mau jadi dokter kayak Bunda, bukan begitu?" tanya neneknya lagi yang dijawab anggukkan Innara.

Ya, ibunya adalah seorang dokter muda yang sedang mengambil spesialis kedokteran. Ia belum bisa membuka praktiknya sendiri karena masih menjalani masa residen. Saat masa akhir kuliahnya, ibunya bertemu dengan ayahnya yang kala itu sedang menengok saudaranya yang sedang proses melahirkan. Dan ibunya selalu mengatakan bahwa saat itulah mereka saling jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah beberapa bulan setelahnya.

Ayah Innara adalah seorang TNI Angkatan Laut. Dan saat usia Innara dua tahun, ayahnya tewas dalam baku tembak saat sedang menjaga perbatasan. Ada seorang penyelundup yang mengambil ikan dari perairan Indonesia secara illegal, dan saat mereka tertangkap, mereka ternyata bersenjata lengkap. 

Menurut kesaksian rekan ayahnya, ayahnya yang kala itu sedang tak siap menjadi sasaran para penjahat. Beliau sudah mendapatkan pertolongan pertama, namun karena keadaan darurat dan tembakan yang mendekati jantung membuat ayahnya mengalami pendarahan hebat, ayahnya meninggal sebelum helikopter yang menjemputnya sampai ke daratan.

Innara jelas tidak mengingat kejadian itu. Dia mendengar semua itu dari cerita ibu dan juga neneknya, juga dari keluarga mendiang ayahnya. Di mata semua orang, ayah Innara adalah pria yang hebat. Ayah yang sayang sekali terhadap putrinya dan suami yang sangat mencintai keluarga. Dan di mata negara, ayah Innara adalah seorang pahlawan yang patut dibanggakan. 

Dan ya, meskipun Innara tidak mengenal ayahnya, meskipun dia hanya mendengar tentangnya dari orang-orang di sekitarnya, Innara menjadi sangat mencintai pria itu. Ia bahkan menyimpan foto sang ayah di kamarnya, dan ibunya tak pernah melarang itu.

Hubungan ibunya dan juga keluarga mendiang ayahnya juga sangat baik. Meskipun tidak memiliki ayah, Innara tetap mendapatkan limpahan kasih sayang dari kedua neneknya. Ia tidak punya kakek, karena kakek dari pihak ayahnya sudah berpulang jauh sebelum Innara lahir. Sementara kakek dari pihak ibunya, meninggal dua tahun terakhir, dan hal itu membuat Innara kehilangan sosok ayah.

Ibu Innara anak tunggal. Jadi Innara tidak punya paman atau bibi. Sementara dari ayahnya, Innara punya dua orang bibi. Namun keduanya mengikuti suami mereka sehingga mereka tinggal berjauhan dan hanya bisa bertemu sekali dua kali kalau mereka datang ke Jakarta. Dan beberapa bulan yang lalu, ibu ayahnya itu pun diajak pergi oleh salah satu bibinya karena tidak tega ditinggal sendirian di Jakarta. Jadi kini, Innara hanya tinggal bersama ibu dan nenek dari pihak ibunya.

Innara sebenarnya tidak kekurangan cinta. Yang ia dapat dari ibu dan neneknya sudah lebih dari cukup. Tapi tetap saja, ia selalu merasa iri jika melihat teman sekolahnya datang ke sekolah atau pulang dengan dijemput oleh ayah mereka. Menceritakan akhir pekan mereka bersama ayah yang selalu terdengar menyenangkan di telinganya. Hal itu membuat Innara juga ingin tahu bagaimana rasanya dicintai seorang ayah dan berandai-andai ayahnya masih ada bersamanya.

"Nin, kalo misal Ayah masih ada, apa Bunda bakal sesibuk sekarang?" tanyanya dengan polosnya.

Nyonya Saidah mengusap kepala cucunya dengan pelan. Jadi inikah yang membuat cucu tersayangnya terdiam sejak tadi? Pikirnya dalam hati. Wanita paruh baya itu menyunggingkan senyumnya dan mengangguk. "Bunda masih akan sesibuk ini seandainya Ayah masih ada.” Jawabnya jujur. “Karena inilah pekerjaannya. Nara tahu kan kalau pekerjaan dokter itu adalah membantu mereka yang kesakitan?" Innara menganggukkan kepala. "Bahkan jika misalkan saat ini, Bunda tidak ada pekerjaan, lalu ada orang di depan sana jatuh dan membutuhkan pertolongan, maka Bunda akan bantu mereka. Itulah pekerjaan Bunda."

Innara kembali menganggukkan kepala. "Kalau Ayah masih ada, apa Nara bakal punya adik?" tanyanya lagi ingin tahu. Nyonya Saidah kembali tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Nara mau punya adik?" tanyanya ingin tahu. Nara hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. "Kenapa?" tanyanya lagi.

"Temennya Nara punya adik, dan dia bilang dia ada temennya kalo Mama sama Papanya sibuk. Nara juga mau punya temen main." Jawabnya apa adanya.

"Kalau Nara punya adik, memangnya Nara mau ngasuh adik Nara? Adik bayi itu sukanya ngeces, kalo pup dia bau, kalo nangis dia suka kenceng-kenceng nangisnya. Nara gak apa begitu?" tanya Nyonya Saidah lagi sebagai umpan. Nara kembali menganggukkan kepalanya dengan antusias. "Kalau begitu, minta Bunda nikah lagi, minta Bunda kasih Nara adik, biar nanti Nara gak kesepian lagi." Ucap neneknya yang hanya dijawab Innara dengan tatapan bingung.

"Bunda gak akan marah kalo Nara minta adik?" tanyanya ingin tahu.

Nyonya Saidah tersenyum dan menggelengkan kepala. "Bunda gak akan marah, tapi Nin gak bisa janji apa Bunda bakal ngabulin apa yang Nara mau atau tidak." jawabnya bijak. "Tapi, segala sesuatunya harus dicoba dulu, bukan begitu?" tanyanya yang dijawab anggukkan antusias oleh Nara.

Dan perbincangan itu Innara realisasikan beberapa hari kemudian. Ibunya sedang ada di rumah karena beliau tidak memiliki jadwal jaga di rumah sakit. Dan seperti kegemarannya, jika sedang berada di rumah, ibunya suka sekali membuat kue. Kue apapun itu, entah itu kue basah atau kue kering. 

Seperti siang ini, ibunya sedang berkutat dengan adonan dan cetakan dan Innara memilih untuk mendekati sang ibu, duduk di seberangnya, melipat kedua tangannya di atas meja makan dan memperhatikan sang ibu dalam diam.

"Kenapa?" tanya ibunya dengan senyum geli di wajahnya. Innara terlihat seperti mendiang suaminya jika sedang menginginkan sesuatu. Duduk diam dan hanya memandangnya sampai ditanya.

"Bunda," panggil Innara dengan suara kecilnya.

"Iya, Nara Sayang." Jawab ibunya dengan nada lambat.

"Bunda bisa kasih Nara adik?" tanyanya dengan polosnya yang membuat Sita tertegun.

"Adik?" tanyanya dengan dahi berkerut memandang putri semata wayangnya. Innara menganggukkan kepala cantiknya dengan antusias. "Innara mau adik? Kenapa?" tanyanya bingung.

"Nara mau punya temen, dan kata temen Nara, adik juga temen. Bunda bisa ngasih Nara adik?"

Sita kemudian tersenyum dan kembali dengan pekerjaannya. "Ngasih adik itu gak semudah beli boneka, Sayang."

Innara menganggukkan kepala. "Iya, Bunda harus nikah dulu, trus bisa punya adik." Jawabnya masih dengan nada polosnya. Sita menganggukkan kepala mengiyakan ucapan putrinya. "Innara juga mau kok punya Ayah baru." Lanjutnya yang membuat Sita kembali membeku di tempatnya.

Ia memandang putrinya dan kemudian melihat ke belakang dimana ibunya yang sedang duduk di sofa tampak tertunduk dengan bahu bergetar. Tentu saja putrinya tidak akan sepolos itu memiliki sebuah ide 'brilian' jika tidak ada pendorongnya. Dan siapa lagi yang bisa mendorong Innara jika bukan ibunya.

"Sayang, tapi menikah tidak semudah itu." ucap Sita lagi dengan nada lemah lembutnya.

Innara lagi-lagi menganggukkan kepala. Tangan mungilnya terulur dan mencolek adonan yang ada di dalam mangkuk, lalu kemudian ia masukan ke dalam mulutnya. Hal yang membuat Sita kembali teringat pada kebiasaan mendiang suaminya. 

"Tapi Nin bilang, sesuatu gak akan kita tahu hasilnya kalo gak dicoba. Makanya, Bunda coba aja dulu nikah, trus coba kasih Nara adik. Ya?" ucap gadis kecil itu dengan polosnya yang kembali membuat Nyonya Saidah terbatuk menahan tawa.

Sita hanya bisa memandang putrinya dengan senyuman di wajahnya. Ia mengangguk pelan dan mendapati senyum cerah di wajah putrinya. Seketika Innara bersorak gembira dan berlari mendekati sang nenek yang sejak tadi sudah mendengarkan percakapan ibu dan dan anak itu.

"Nin, Bunda bilang Bunda mau coba. Jadi nanti, Nara beneran punya Ayah baru sama adik baru kan ya?" tanyanya yang dijawab anggukkan oleh neneknya. Nyonya Saidah menoleh ke belakang, memandang putri semata wayangnya yang balas mencebik seraya memutar bola matanya pada sang ibu.

Tahun berlalu begitu saja, Innara kini sudah duduk di kelas enam SD. Setahun lagi dia akan masuk Sekolah Menengah Pertama dan dia sudah memiliki targetnya sendiri untuk masuk ke sekolah favorit yang ada di kotanya. Karena itulah dia belajar dengan sangat giat supaya bisa masuk kesana karena dari yang Innara dengar, ujian untuk masuk ke sekolah itu amatlah ketat. Selisih nol koma satu saja bisa membuatnya terhapus dari daftar siswa baru.

Di pertengahan semester, Innara cukup dibuat terkejut kala ibunya datang dengan membawa seseorang untuk dia perkenalkan pada Innara dan juga sang nenek. Itu adalah sosok pria tinggi besar dengan wajah ramah yang jika tersenyum akan membuat orang yang melihatnya turut tersenyum juga. Namanya Om Parsa Zakaria. Itulah yang ibunya beritahukan.

Innara menyukai Om Parsa, beliau pria yang baik dan perhatian. Dan di kali kedua pertemuan mereka, Om Parsa mengatakan bahwa Om Parsa memiliki seorang anak perempuan yang usianya dua tahun lebih muda dari Innara, namanya Azanie Layly. Dinamakan Azanie karena dalam bahasa Persia Azanie berarti perhiasan dan Layly artinya malam hari. jadi Azanie Layly adalah perhiasan yang terlahir saat malam hari.

Om Parsa juga mengatakan kalau ibu Azanie sudah tidak ada, sama seperti ayah Innara. Beliau meninggal dunia saat ibu Azanie akan memberikan adik untuk Azanie.

"Apa Azanie punya adik?" tanya Innara ingin tahu. Om Parsa menggelengkan kepala.

"Ibu Azanie dan adiknya tidak bisa selamat. Karena itulah sekarang hanya ada Om sama Azanie saja. Nara mau kenalan sama anaknya Om?" tanyanya dengan lembut. Innara hanya mengangguk antusias. Memikirkan dia akan punya teman dan sama-sama perempuan jelas membuatnya senang. Om Parsa kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan wajah seorang gadis cantik yang memiliki rambut kecoklatan dan kulit putih dengan mata lebar. Gadis itu tersenyum dan menunjukkan giginya yang ompong yang membuat Innara ikut tersenyum dibuatnya.

"Kalo Innara mau, nanti Om bawa Azanie main. Kalian bisa ketemu dan main sama-sama. Nara mau?" tanya pria itu lagi. 

Innara kembali mengangguk antusias. Tanpa ia tahu kedua wanita yang selama ini membesarkannya hanya memperhatikan di salah satu sudut rumah dan mendengarkan. Keduanya tampak terlihat lega melihat cara Parsa mendekati Innara dan juga bagaimana respon positif yang ditunjukkan Innara pada pria pilihan ibunya.

Dan seperti yang sudah dijanjikan, keduanya pun di pertemukan. 

Innara menyukai Azanie pada pertemuan pertama. Innara yang tertutup dan sedikit bicara, Azanie yang ceria dan sangat terbuka membuat hubungan itu tidak timpang. Kedua orang dewasa yang memperhatikan itu pun tak kalah bahagianya.

Waktu terus berlalu, dan proses pendekatan mereka rasa sudah cukup. Waktunya membahas pembicaraan yang lebih serius. Parsa dan Sita kemudian mengemukakan niatannya pada kedua gadis yang ada di hadapannya. Mereka meminta pendapat pada putri mereka masing-masing tentang kemungkinan untuk tinggal bersama sebagai sebuah keluarga. Menjelaskan secara pelan-pelan pada keduanya bahwa pada akhirnya Parsa dan Sita akan menikah. Dan dengan antusias keduanya mengangguk setuju. Maka kemudian terjadilah rencana itu. Parsa dan Sita menikah, dalam sebuah acara yang megah di sebuah hotel bintang lima yang ada di kota mereka tinggal.

"Bukankah ini indah?" suara kekaguman Innara diangguki oleh Azanie kedua bocah itu kini mengenakan pakaian yang sama yang sengaja dibuat khusus untuk acara pernikahan kedua orangtua mereka.

"Nanti, kalau sudah besar, Zanie juga akan minta Papa buat bikin pesta seperti ini." jawab Azanie dengan matanya bulatnya yang berbinar. Innara memandang adik tirinya dan tersenyum lantas menganggukkan kepala. Mereka lantas mendekati pelaminan dimana kedua orangtua mereka melambaikan tangan memanggil mereka untuk mendekat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status