Share

8. Jatuh yang kedua kalinya

Sepertinya.

Bunga mekar terlampau cepat, hingga sebelum matahari lenyap ia sudah harus layu, jauh dari harap.

Dan mungkin,

Seindah senja yang waktu itu ia lihat di langit Eropa, seterang warna jingga berpadu dengan lazuardi yang hendak ditelan kelabu berganti dengan hitam menyapa malam datang. Hadirnya sama indah, akan ia ingat selamanya.

Lelaki yang setara indahnya dengan senja itu akan selalu ada di ruang pikirnya. Cinta yang cuma sekejap itu juga masih tumbuh di sudut hatinya.

Ia memang terlalu besar kepala.

Kemarin, Jasmine dengan yakin mengatakan kalau ia pasti akan mendapatkan Juan kembali saat mengobrol dengan Suya, iya, dia mengatakan dengan sangat percaya diri, seakan-akan tahu dewi mana pun akan membantunya jika itu masalah tentang cinta, tetapi sekarang ke mana dewi itu pergi?

Ke mana perginya ambisi artis cantik yang selalu dipuji itu?

Mengapa bertanya? Bukankah jawabannya sudah jelas?

Yang bisa melenyapkan segala ambisi serta rasa percaya diri Jasmine tak lain tak bukan hanya Arjuan Tanutama.

Dan pertanyaannya sekarang adalah, kenapa lelaki itu bisa sampai di unit apartemen Jasmine?

Tidak tahukah dia kalau hadirnya lebih manis daripada mimpi tadi malam?

Jasmine bahkan tak ingin terlelap kembali. Ingin tetap berdiri di depan pintu menikmati raut wajah itu, merasakan betapa sejuta rasa memenuhi dirinya saat ini.

Jasmine tidak tahu tepatnya apa saja, namun yang pasti, rasanya seperti lakmus biru dan merah hadir bersamaan meminta untuk diisi, pahit serta manis, gelisah juga kegembiraan. Semua jadi satu. Membingungkan. Namun anehnya, Jasmine sama sekali tidak merasa bingung atau berpikir satu kejanggalan pun.

Ia cuma ingin memuaskan diri menatap pribadi menawan yang sebulan lalu dilihatnya ini.

"Hai," sapa Juan terdengar canggung. "Boleh masuk?"

Jasmine bergeming. Bukan karena tak menangkap apa yang diucapkan suara berat itu, namun ia lebih-lebih meresapi bagaimana mata indah milik Juan menatapnya, terlampau cantik pun damai, membuat Jasmine ingin terperangkap di sana, selamanya.

"Aku tidak bermaksud lebih, ku pikir beberapa orang akan mengenalmu kalau kita tetap bicara di depan pintu,” ujar lelaki tampan itu lagi. "Aku tidak ingin model perusahaanku terlibat skandal."

Jasmine masih diam.

Arjuan menggunakan hoodie hitam serta jeans hitam juga, rambutnya hitam panjang menyentuh mata. Tampan, sulit percaya bahwa pria ini berada di akhir dua puluhan.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Juan lagi, walau masih tanpa balasan ia tetap mencoba bicara. "Aku ada perlu."

Ada perlu? Ya sudah bicara saja.

Jasmine tersenyum tipis, tipis sekali, ia tidak mengatakan apa pun.

"Em, sebelumnya aku minta maaf untuk yang aku lakukan satu bulan lalu,” kata Juan pelan.

Tentang apa?

Waktu dia berniat mencium Jasmine dan berakhir mengatakan perkataan menyakitkan?

Itu sudah satu bulan? Pantas saja Jasmine merasakan rindu yang berat.

"Aku keterlaluan," tutur Juan menyesal, ia benar-benar memikirkannya, waktu itu pertama kalinya Juan sekasar itu dengan wanita, Juan sendiri tak tahu betul apa yang merasukinya.

"Dan, em, tentang kontraknya."

Jasmine masih mendengarkan.

"Aku di sini untuk meyakinkanmu."

Jujur, Jasmine sempat merasa kecewa.

"Lets be friend, dan tolong lupakan kata-kataku tentang bertingkah layaknya orang asing."

Sebegitunya?

Lama menunggu jawaban, Juan berkata. "Kita akan sering bertemu dan saling sapa."

Oh ya?

Tiba-tiba Juan melebarkan mata seakan menyadari sesuatu yang seharusnya tak ia katakan. Cepat-cepat pria itu merevisi. "Tidak ada perasaan, kalau kamu khawatir soal itu. Aku sudah tidak mencintaimu, kamu juga tak ada perasaan seperti dulu, jadi kita bisa beraktivitas dengan nyaman tanpa perlu memikirkan hal-hal semacam itu."

Tidakkah Juan terlalu sering mengatakannya? Haruskah ia terus menerus mengatakan itu dan lagi-lagi membuat goresan baru di hati Jasmine?

"Tapi aku cinta." Suara Jasmine terdengar lirih.

Susah payah gadis itu menjawab. Tenggorokannya sakit, rasanya segumpal batu menumpuk di sana.

Sayangnya kalimat pertama yang Jasmine ucapkan justru membuat Juan mematung. Tertegun dengan mulut sedikit terbuka, sedikit tak percaya dengan yang dikatakan gadis itu.

Bukankah selama ini dia tahu betul status Juan?

"Aku sudah punya Kei." Juan mengingatkan.

Jasmine menelan ludah kasar, tentu saja ia tak akan lupa fakta yang satu itu. "Aku tahu."

Dia tahu tapi bertingkah seolah tak ada yang salah dengan menyatakan cinta pada pria beristri?

"Mungkin untukmu tidak ada pengaruhnya kalau kita harus berpapasan dan saling sapa, tapi buatku, itu sama saja menjejalkan diri pada kemalangan," ucap Jasmine lagi, matanya lekat memandang Juan. Kemudian tersenyum miris. "Kamu hebat, Juan, satu-satunya yang berhasil membuatku gila begini."

Yah, Jasmine mengakui ia gila karena menginginkan pria milik wanita lain.

Juan tak tahu harus bereaksi seperti apa. Cukup mengejutkan. Gadis di depannya ini tak seperti gadis yang membuatnya jatuh cinta dulu. Dia berubah.

"Enam tahun, itu lama, semua orang berubah dalam jangka waktu selama itu. Dan aku yakin kamu juga sama," sahut Juan meyakinkan bila mana yang Jasmine rasakan merupakan sebuah kebimbangan karena kehadirannya yang mendadak.

"Bagiku, nggak ada yang berubah." Jasmine menjelaskan dengan nanar. "Enam tahun bahkan gak cukup buatku memaafkan diri sendiri, atau sekedar memberanikan diri untuk menemuimu secara diam-diam di kedai kopi. Tidak ada yang hilang, Juan. Semua malah bertambah besar."

Juan menggeleng samar.

"Bukankah kamu ingin kita jadi teman? Kita bisa berteman seperti inginmu," ujar Juan.

Benar. Itu yang diinginkannya, tetapi sekarang alih-alih menyambut niat baik lelaki itu dengan senang hati, Jasmine justru merasa janggal dengan hatinya.

Ia tak ingin jadi teman.

"Awalnya iya. Ku pikir berteman tidak terlalu buruk setelah aku tahu kamu punya Kei. Aku merasa aku pantas mendapatkannya setelah semua yang kulakukan. Namun, belakangan, bertemu denganmu saja aku membuatku sulit bernapas karena sesak, jadi mana mungkin aku bisa bertahan dengan status teman?"

Juan bersumpah hadirnya di sini tak lebih untuk meyakinkan Jasmine kembali tentang kerja sama terkait pekerjaan. Ia tak menduga kedatangannya berujung pada pengakuan gadis itu yang membuat otaknya hilang fungsi.

"Ego menguasaiku tiap-tiap kali kamu menyinggung bahwa kamu sudah tak ada rasa." Jasmine masih menatap Juan, dengan pendar lebih tegas. "Aku mau kamu kembali, Juan."

Ini gila.

Kerutan halus muncul di kening Juan. "Kamu tahu itu tidak mungkin."

"Aku sangat tahu itu!" tandas Jasmine, sedikit menekan tiap kata. "Karenanya aku menjauh. Menepis tiap kamu hadir, menyingkir saat kamu ada di depanku. Namun kamu tetap saja datang dan itu membuatku makin gila!"

Jasmine masih mencecar menggebu-gebu, ia ungkapkan segala yang dirasakan selama ini, dari akhir musim gugur hingga kini musim semi datang menyapa.

Sejak Juan memutuskan untuk menyapanya di kedai kopi.

Jasmine menggeleng kecil, tenggorokannya tercekat. "Egoku sangat besar saat kamu gak ada, aku bahkan punya niatan menjadi jalang untukmu. Tetapi saat presesimu tertangkap mata, yang ada cuma rasa bersalah. Aku gak mampu melakukan apa pun selain membiarkanmu pergi."

Lagi-lagi Jasmine menampilkan sisi lemahnya di depan Juan.

"Maka dari itu, jangan buat usahaku sia-sia. Berhentilah muncul di hadapanku dengan alasan apa pun kalau memang kamu gak pengen aku masuk dan merecoki rumah tanggamu. Karena jika aku melihatmu lagi, saat itu, aku bersumpah akan mendapatkanmu kembali."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status