Share

7. Mantan pacar

Penulis: Esteifa
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-12 09:16:27

"Ketakutan yang aku punya masih sama, bahkan setelah tahun berlalu rasanya malah bertambah parah. Selain kamu. Tidak ada penawar. Tidak akan. Sama sekali. Tidak ada."- Jasmine

---

"Tekanan darahmu rendah," wanita dewasa berwajah cantik yang memakai jas putih khas petugas kesehatan itu melepas alat tensi darah yang semula melingkar erat di lengan atas Jasmine. Menyerukan angka sekitaran sembilan puluh, yang mana itu berarti tekanan darahnya cukup rendah untuk seorang yang perlu banyak gerak.

Dokter cantik itu menghela napas dalam, heran pun khawatir, Jasmine terlihat biasa saja berbanding terbalik dengan orang 'kurang darah' pada umumnya yang mana mengeluh pusing lemas dan mata berkunang-kunang, ia mengerti Jasmine bukanlah pribadi yang suka rela kelemahannya diketahui orang, tapi harusnya ia tak usah berpura-pura apalagi di depan dokter, sakit bukanlah kelemahan.

"Tidurlah yang cukup dan kurangi pikiran tidak penting, Nona Jasmine."

Jasmine memajukan bibir.

Memasukan tangan ke dalam saku jaket kulit yang ia pakai, sesekali matanya melirik dinding berhias benda melingkar yang menampilkan detik, atau kemudian matanya beralih pada tirai kecil di sana. Seakan ingin cepat-cepat pergi.

Ruang putih yang rutin dikunjunginya ini selalu saja tak mampu membuatnya nyaman, jika bukan karena dokter pribadinya punya jadwal operasi yang bentrok dengan jadwal kerjanya, Jasmine tidak mau kemari guna mengecek kesehatan menyeluruh tiap bulan.

"Telingamu bagaimana? Ada keluhan?" tanya dokter muda itu kemudian, sambil menulis sederet kalimat pada data pasien dengan tulisan yang tak dapat dibaca oleh mata telanjang orang awam. Jasmine pernah mencoba membacanya, tetapi tulisan itu tidak lebih baik dari geliat cacing tanah yang tak beraturan.

Sangat wajar ditanyakan.

"Telinga saya nggak ada masalah, Bu Dokter. Gue ini sudah sembuh total," jawab Jasmine.

Sang dokter mengangguk satu kali, teringat kembali pada catatan medis yang dibawa Jasmine ketika pertama kali datang padanya. Catatan medis yang dibawanya dari sebuah rumah sakit dari negeri yang jauh. "Syukurlah, tapi mengingat presentasi sakit syaraf yang selama ini saya tangani, beberapa dari mereka yang sudah sembuh mengalami gejala awal sakit itu datang, dan berpotensi kambuh kembali," ujarnya menghela napas. "Itulah mengapa saya selalu mewanti-wanti agar kamu menjaga kesehatan. Ini pertama kali tensi-mu turun, jadi wajar kalau doktermu ini menanyakannya karena khawatir."

Jasmine menggeleng singkat. "Don't worry."

Wanita berjas lab putih itu meletakkan bolpoint di atas meja, ia mengumpulkan dua tangan jadi satu. Dokter sudah pergi, yang ada di sana sekarang adalah seorang teman. "Kalau begitu, ceritain masalahnya, mencurahkan isi hati ketika stress itu opsi penyembuhan nomor satu. Apa yang bikin lo gelisah akhir-akhir ini?"

Jasmine mendesah berat.

Yang membuatnya gelisah?

Banyak.

Belakangan, ia memang menjadi pribadi yang sedikit lebih terbuka pada teman-temannya, jika mereka berkumpul, Jasmine tidak lagi cuma mendengar, ia juga kadang mengeluarkan unek-unek yang kiranya ingin diungkapkan.

Tetapi, biasanya, bukan masalah tentang pria atau percintaan. Jasmine bahkan hampir tak pernah membicarakan topik merah muda itu. Tidak untuk lima tahun terakhir.

Tidak ada merah muda lain baginya selain Juan. Dan membicarakan Arjuan sama saja membuka luka.

"Mantan pacarmu," sahut Jasmine akhirnya.

Sang dokter mengernyit, menampilkan raut bertanya walau sebenarnya ia mengerti betul siapa yang dimaksud Jasmine.

"Mantan yang mana? Ada tiga mantan gue yang lo tahu, jadi yang mana? James? Adam? Atau… Arjuan yang ganteng itu?"

Setelah tahu tensi darah Jasmine turun mungkin Suya memang sengaja ingin membuatnya naik lagi.

"Mantan pacarmu yang ada affair denganku," tutur Jasmine sebal.

Suya sontak tergelak. Affair katanya. Mereka memang terlibat cinta segitiga waktu SMA, dan kisah cinta picisan itu sudah berakhir, walaupun disayangkan karena mereka mengakhirinya dengan cara yang kurang baik, atau lebih tepatnya, menggantung.

"Jadi itu cowok ngapain sampai mampu mempengaruhi Jasmine Sahanaya sebesar ini? Setahuku dia cuma orang lama di hidup lo."

Jasmine mengendikan bahu. "Dia nggak melakukan apa pun. Gue yang melakukan segalanya."

"Hah?"

Faktanya memang seperti itu.

Jika dipikir kembali, Juan memang tidak melakukan apapun, apalagi kesalahan, Juan tidak melakukan barang satu silap pun, dia cuma menjadi dirinya yang sekarang, hidup dengan baik, memiliki Kei, sukses, serta menghapus Jasmine dari segala ruang ingat.

Fakta bahwa Juan punya wanita lain, dan pria itu tak lagi menginginkannya membuat ia sakit.

Dan Jasmine sendiri yang tersakiti oleh semua itu. Padahal Juan tidak melakukan apapun. Pria itu tidak salah apapun.

Dan karena fakta itu juga, Jasmine semakin ingin masuk ke dalam hidup Juan kembali. Namun keadaan seakan tak mendukung Jasmine untuk menjadi lebih egois, semesta ingin ia merelakan Juan, dengan remukan hati yang lagi-lagi pilu kala netra beningnya menangkap presesi lelaki itu.

Jadi haruskah ia mengabaikan segala perih lebam di relungnya untuk mendapatkan Juan kembali?

"Sekarang, peran antagonismu pindah ke gue, dan rasanya gak enak banget," eluh Jasmine.

Suya tersenyum. Tidak terlalu lebar, namun senyum tipis itu mampu memancarkan segala aura positif yang dimilikinya.

Mungkin sedikit mengerti dengan permasalahan Jasmine meski gadis itu tidak mengatakan dengan gamblang problematika yang ia bawa. Katanya, Suya pernah mengalami hal itu, bukankah semua orang tau jawabannya?

"Dan lo ngerti sekarang kenapa dulu gue kekeh bertahan sampai tanpa tau malu main labrak-labrakkan?"

Kalimat yang berhasil membuat kekehan Jasmine mengudara. "Cinta memang sialan."

"Jadi apa yang mau lo lakukan selanjutnya?" tanya Suya. "Menyerah dari awal, atau tetap memperjuangkan tapi akhirnya akan gagal... kayak gue?"

Harusnya dua pilihan itu jadi dilema besar bagi Jasmine.

Namun alih-alih memikirkan resiko penolakan, gagal serta patah hati yang lebih parah, saat ini, ia justru tak punya ragu sama sekali.

Waktu mengajarkannya untuk bertindak selagi masih ada kesempatan.

Masalahnya, Jasmine tak tau. Apakah ia memang masih punya sedikit kesempatan atau tidak.

Jasmine mengukir senyum. "Tentu saja berjuang, tapi tidak akan gagal... kayak elo."

--

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kharem Nisya
update sering" donk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Me after him (Indonesia)   19

    Tidak sibuk? Kalau saja dua jam yang lalu Jasmine menjawab pertanyaan singkat itu dengan kata 'aku sibuk' ia tidak akan bersanding canggung bersama bunga-bunga yang gugur, melewati jalanan pinggiran kota sambil membawa kemelut di dada yang belum reda. Namun sayang, teman-temannya bersantai ia pergi. Mendukung kala pria berjas hitam meminta ijin tadi untuk membawanya sebentar. "Mau bicara apa?" Jasmine maju, kakinya berhenti melangkah. Bernaung di bawah pohon yang rindang. Dan tak lepas dari mata bagaimana gerakan halus Juan ketika pria itu berputar, menghadapnya. Netranya berbicara banyak kata, namun bibir besi lelaki itu tidak terbuka. Jasmine cukup paham ia tak akan mendapat jawaban setidaknya hingga lima menit ke depan, maka dari itu ia melanjutkan. "Atau kamu cuma mau membuat aku senang? Dengan mengajakku jalan bersama?" Masih. "Sebagai obat setelah apa yang kamu katakan kemarin." Jasmine mengulas lengkungan tipis. Yakin bahwa senyum tipisnya tak terlihat wanita cantik itu m

  • Me after him (Indonesia)   18

    18."Je?""Hm?"Lili menghela napas sabar. Melirik Suya di sebelahnya yang juga menatap penuh pengertian. "Sudah tiga kali."Sedari tadi, sejak pertama kali duduk di bangku kafe berbau kopi ini tiga kali sudah Lili memergoki sahabatnya kehilangan fokus. Tenggelam dalam pikiran. Menatap kosong pada satu arah."Milkshake-mu sudah mencair," Suya menunjuk satu gelas besar minuman berwarna merah muda. "Nah, temanku yang cantik, Gue sudah pernah bilang kalau bercerita merupakan step awal pengurangan stress bukan?"Jasmine tersenyum, kemudian menggeleng singkat, mengucek matanya lembut seperti sedang mengembalikan kesadaran. Memandang ke beberapa sudut kafe yang beberapa bulan lalu dikunjunginya."Apa ada hubungannya dengan si mantan pacar itu lagi?" Suya menebak curiga. Mengingat terakhir kali Jasmine berkonsultasi padanya membawa nama Juan.Suya ingin bertanya lebih. Namun urung ketika jemari tangannya digenggam oleh Lili, gadis jangkung berambut hitam sebahu itu menggeleng meminta ia untu

  • Me after him (Indonesia)   17

    17.Di ruang kamar berukuran sedang itu berputar musik klasik. Mengiringi sosok wanita cantik berbalut dress floral selutut dengan satu berita harian di tangannya. Meski wajah gadis kecil bersurai hitam legam itu disamarkan, ia bisa tahu dengan jelas."Putrimu?" Suara lelaki menggema di seluruh ruang.Si wanita berambut merah bergeming. Memandang koran yang menampilkan artikel tentang skandal percintaan artis muda, Tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara, tak perlu menjawab karena diamnya sudah cukup mengatakan segalanya.Langkah kaki mendekat, berhenti dua langkah dari pribadi bersurai merah disisi kanan. Menyerahkan satu lembar kertas foto. Menampakkan dua insan yang berciuman."Mereka jadi lebih dekat. Ayah dari anakmu, dan Jasmine." Lelaki bertubuh tinggi itu melaporkan. "Kamu mau apa sekarang, Irish?"Hal yang sebenarnya sudah dibayangkan sejak lama. Yang ia takutkan.Wanita yang dipanggil Irish itu mengangguk. "Melakukan yang harusnya kulakukan sejak awal."———"Masih sam

  • Me after him (Indonesia)   16.

    "Debar jantungmu jadi satu-satunya alasan mengapa aku mau bertahan." -Jasmine Sahanaya. — Tidurnya terusik. Mimpi siang hari yang baru saja dirajutnya beberapa menit menit tiba-tiba buyar entah ke mana, bersamaan dengan sapuan lembut pada puncak kepala, membawa separuh sadar, namun enggan menyikap kelopak mata. Jasmine mengerang. Kali ini karena sebuah bulatan keras menyusup ke ceruk lehernya. "Aunty Je, lelah sekali ya?" Waktu itu Jasmine tersenyum. Tak ada niatan membuka mata sedikit pun. Ia benar-benar lelah dan membutuhkan tidur berkualitas, namun anak orang yang amat lucu ini mengusik dengan cara yang amat menggemaskan sepanjang dunia. Jasmine memeluk Kei erat, membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapan hangat, agar ikut tertidur. Tidak memikirkan bagaimana cara anak empat tahun ini bisa sampai ke ruang tunggu sebuah stasiun televisi. Yang tentunya bukan tempat yang bisa dikunjungi orang sesuka hati. Jasmine mendusel kepala, menghirup aroma khas bayi milik Kei hingga gadis

  • Me after him (Indonesia)   15. Teman

    —— "Presdir Namu yang menawarkannya padaku." Jasmine menjeda kalimat, sembari menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga. "Dia bilang aku boleh mengubah poin-poin jika keberatan dan menambah beberapa jika memang dibutuhkan." Gadis berbalut mantel bulu berwarna abu-abu muda, berambut coklat tergerai yang wajahnya berhias make up tipis natural itu memindahkan tatapan mata dari cangkir kopi yang mengepul pada pribadi rupawan di kursi depan. Yang ternyata sama. Pria dewasa itu menatapnya juga. Dengan mata yang masih tajam seperti terakhir kali. Jasmine tidak tahu. Apa yang membuat pancaran mata Juan terasa begitu mengintimidasi ketika mereka bertatap muka, juga tentang bagaimana atmosfer dalam ruang rasanya berganti amat drastis jika mereka bersama. Arjuan mengangkat tangan, melirik arloji yang ternyata sudah hampir jam makan siang. Kafe mulai terisi orang-orang baru, yang tentunya tidak akan nyaman berbincang dengan artis besar di tempat ramai. Jadi ia memutuskan untuk seg

  • Me after him (Indonesia)   14. Dia hanya marah

    -Selimut hitam pekat itu tersikap setelah matahari merajai bumi.Kicau burung gereja di ranting pohon tak lagi terdengar. Alarm yang disetel pukul lima tak lagi ada bunyinya, Jasmine lupa melempar benda itu ke arah mana. Bahkan setelah segar menyiram diri dengan air dingin, rasanya Jasmine enggan keluar kamar untuk sarapan.Dengan gulungan handuk putih di kepala serta kaos hitam dan celana selutut Jasmine menyandarkan diri ke kepala ranjang. Meraih ponsel di nakas, mengabaikan ratusan notifikasi yang datang dan memilih mengetik sebuah pesan pada Yuni- managernya. Setelah itu ia melepas handuk di kepala, membiarkan rambut setengah basah agar kering sendiri lalu keluar kamar, pergi ke dapur guna membakar dua potong roti untuk sarapan, walau sudah terlalu lambat untuk itu. "Lo ini sakit atau memang gila, sih?"Jasmine terlonjak. Roti bakar berlapis nutella yang baru ia makan segigit itu terhempas ke atas meja dapur. Memandang dengan mata terbelalak sosok berkaos hitam yang tengah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status