"Debar jantungmu jadi satu-satunya alasan mengapa aku mau bertahan." -Jasmine Sahanaya. — Tidurnya terusik. Mimpi siang hari yang baru saja dirajutnya beberapa menit menit tiba-tiba buyar entah ke mana, bersamaan dengan sapuan lembut pada puncak kepala, membawa separuh sadar, namun enggan menyikap kelopak mata. Jasmine mengerang. Kali ini karena sebuah bulatan keras menyusup ke ceruk lehernya. "Aunty Je, lelah sekali ya?" Waktu itu Jasmine tersenyum. Tak ada niatan membuka mata sedikit pun. Ia benar-benar lelah dan membutuhkan tidur berkualitas, namun anak orang yang amat lucu ini mengusik dengan cara yang amat menggemaskan sepanjang dunia. Jasmine memeluk Kei erat, membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapan hangat, agar ikut tertidur. Tidak memikirkan bagaimana cara anak empat tahun ini bisa sampai ke ruang tunggu sebuah stasiun televisi. Yang tentunya bukan tempat yang bisa dikunjungi orang sesuka hati. Jasmine mendusel kepala, menghirup aroma khas bayi milik Kei hingga gadis
17.Di ruang kamar berukuran sedang itu berputar musik klasik. Mengiringi sosok wanita cantik berbalut dress floral selutut dengan satu berita harian di tangannya. Meski wajah gadis kecil bersurai hitam legam itu disamarkan, ia bisa tahu dengan jelas."Putrimu?" Suara lelaki menggema di seluruh ruang.Si wanita berambut merah bergeming. Memandang koran yang menampilkan artikel tentang skandal percintaan artis muda, Tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang bicara, tak perlu menjawab karena diamnya sudah cukup mengatakan segalanya.Langkah kaki mendekat, berhenti dua langkah dari pribadi bersurai merah disisi kanan. Menyerahkan satu lembar kertas foto. Menampakkan dua insan yang berciuman."Mereka jadi lebih dekat. Ayah dari anakmu, dan Jasmine." Lelaki bertubuh tinggi itu melaporkan. "Kamu mau apa sekarang, Irish?"Hal yang sebenarnya sudah dibayangkan sejak lama. Yang ia takutkan.Wanita yang dipanggil Irish itu mengangguk. "Melakukan yang harusnya kulakukan sejak awal."———"Masih sam
18."Je?""Hm?"Lili menghela napas sabar. Melirik Suya di sebelahnya yang juga menatap penuh pengertian. "Sudah tiga kali."Sedari tadi, sejak pertama kali duduk di bangku kafe berbau kopi ini tiga kali sudah Lili memergoki sahabatnya kehilangan fokus. Tenggelam dalam pikiran. Menatap kosong pada satu arah."Milkshake-mu sudah mencair," Suya menunjuk satu gelas besar minuman berwarna merah muda. "Nah, temanku yang cantik, Gue sudah pernah bilang kalau bercerita merupakan step awal pengurangan stress bukan?"Jasmine tersenyum, kemudian menggeleng singkat, mengucek matanya lembut seperti sedang mengembalikan kesadaran. Memandang ke beberapa sudut kafe yang beberapa bulan lalu dikunjunginya."Apa ada hubungannya dengan si mantan pacar itu lagi?" Suya menebak curiga. Mengingat terakhir kali Jasmine berkonsultasi padanya membawa nama Juan.Suya ingin bertanya lebih. Namun urung ketika jemari tangannya digenggam oleh Lili, gadis jangkung berambut hitam sebahu itu menggeleng meminta ia untu
Tidak sibuk? Kalau saja dua jam yang lalu Jasmine menjawab pertanyaan singkat itu dengan kata 'aku sibuk' ia tidak akan bersanding canggung bersama bunga-bunga yang gugur, melewati jalanan pinggiran kota sambil membawa kemelut di dada yang belum reda. Namun sayang, teman-temannya bersantai ia pergi. Mendukung kala pria berjas hitam meminta ijin tadi untuk membawanya sebentar. "Mau bicara apa?" Jasmine maju, kakinya berhenti melangkah. Bernaung di bawah pohon yang rindang. Dan tak lepas dari mata bagaimana gerakan halus Juan ketika pria itu berputar, menghadapnya. Netranya berbicara banyak kata, namun bibir besi lelaki itu tidak terbuka. Jasmine cukup paham ia tak akan mendapat jawaban setidaknya hingga lima menit ke depan, maka dari itu ia melanjutkan. "Atau kamu cuma mau membuat aku senang? Dengan mengajakku jalan bersama?" Masih. "Sebagai obat setelah apa yang kamu katakan kemarin." Jasmine mengulas lengkungan tipis. Yakin bahwa senyum tipisnya tak terlihat wanita cantik itu m
"Melupakan kamu adalah goals prioritas aku untuk tahun ini, and I wish that I can do that, Juan. Aku nggak bohong sama sekali waktu itu, waktu aku minta kamu buat nggak muncul di hadapanku lagi." Karena bahkan tanpa kehadirannya, Arjuan Tanutama mampu membuat Jasmine Sahanaya hilang kewarasan.Jasmine berjinjit sedikit, membiarkan Arjuan tau betapa detak jantungnya berdegup kencang atau sedikit menyapa dengan deru nafas tak beraturan. Tanpa pikir panjang ia membubuhkan bibirnya pada bibir Arjuan, entah keberanian dari dewi mana, membiarkan dua partikel lembut itu menempel tanpa gerak menghantarkan segenap rasa hangat pada ujung relung.Ia bahagia.Ini gila, namun Jasmine tidak perduli. Bahkan jika ada satu, dua atau puluhan kamera merekam apa yang dilakukannya barusan Jasmine benar-benar tidak masalah. Arjuan bisa saja mendorong Jasmine menjauh jika memang keberatan, namun alih-alih dorongan yang Jasmine dapatkan justru cuma sebuah sirat tanda tanya besar dari pria itu.Arjuan setia d
Ruangan itu tidak besar, namun cukup luas untuk dikata sempit, berwarna putih tulang, juga ada dua jendela kecil yang tertutup tirai. Meja mahoni tak terlalu lebar, dua kursi di depan juga belakang, sofa bad berwarna merah, lemari, juga lukisan-lukisan.Jasmine tak tau harus apa lagi.Ia tidak ingat sudah berapa kali memutar mata guna menscan apa saja yang ada di dalam ruang kerja Arjuan, lengkap dengan jemari bertaut risau.Sedangkan satu gelas ukuran besar berisi milkshake strawberry di meja belum tersentuh sama sekali. Jasmine seakan tak punya hasrat bahkan untuk menelan satu teguk air putih.Ini di luar dugaannya.Meski sudah menyiapkan diri. Ia tau, cepat atau lambat dirinya dan Arjuan akan bertemu dan berbicara tentang masa lalu yang berakhir kurang baik.Jasmine mengerti bahwa ditinggalkan tak pernah terasa indah. Namun ia meninggalkan Juan.Jadi, sudah hampir enam tahun lamanya ia menyiapkan diri untuk menerima ujaran kasar atau setidaknya caci maki dari Arjuan. Menerima jika m
-Enam tahun yang lalu.--Gadis delapan belas tahun yang menggunakan seragam ungu itu mendecak keras, mengusap wajahnya lalu menghembuskan napas kasar.Niatnya melampiaskan emosi malah berujung menambah emosi.Gadis bersurai coklat itu membuka pintu mobil lalu mengambil ponselnya. Dengan cepat, Jasmine mendial nomor Lili- salah satu sahabatnya. Hanya nada sambung yang terdengar, entah ke mana gadis jangkung itu pergi hingga panggilan Jasmine pun tidak dijawabnya.Jasmine mendial nomor Lili lagi, satu tangannya memegang ponsel dan satunya lagi memperlihatkan jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir masuk, tapi Lili tidak juga menjawab. Jasmine mengedarkan pandangan, jalanan beroperasi lancar tapi tidak ada satupun yang dikenalnya untuk meminta bantuan. Taksi pun tak terlihat di daerah ini. Setelah ketiga kalinya nada dering itu berhenti, Jasmine meletakan ponselnya di saku. Menyerah.Masa bodoh, akhirnya dia bolos juga.Gadis itu mengambil tasnya, men
"Lo tahu?!"Kejutan datang bertubi-tubi.Bahkan saat hari libur di mana teman-teman Jasmine ingin mampir untuk sekedar bertemu, Jasmine harus menikmati rasanya terkejut lagi.Rosa, dia datang dengan anak kecil yang beberapa bulan lalu Jasmine lihat. Dan Jasmine tidak punya kuasa untuk tidak terkejut.Sebenarnya Jasmine yang selalu menghindar kalau teman-temannya mulai membahas pembicaraan mengenai Arjuan, jadi Jasmine tidak bisa menyalahkan Rosa.Jasmine mengangguk menjawab pekikan Rosa, tentu saja, ingatannya kembali melayang pada Arjuan tiga bulan lalu waktu pria itu mengenalkan Kei sebagai anaknya. Dadanya tiba-tiba sesak. Si brengsek itu berani-beraninya membuat Jasmine jatuh cinta, dan malah bersikap tanpa dosa menghasilkan buntalan lucu seperti Kei bersama wanita lain.Dan jawaban untuk pertanyaan 'kenapa Kei bisa bersama Rosa?' adalah Jimmy. Rosa menjalin hubungan dengan sahabat karib Arjuan."Kapan? Kenapa lo gak bilang kalo kalian udah ketemu?" tanya Rosa, tak bisa menutupi ra