Share

9. Hanya aku

"Lo gila, ya?"

Jasmine pikir setelah jemari putih tangannya menutup pintu apartemen berhasil mengusir seorang pria pergi, ia akan memasuki kamar dan duduk membaca naskah skit drama spesial ditemani segelas rose tea tanpa gula dengan damai. Mungkin yang tersisa cuma sedikit pikiran mengganggu yang akan hanyut bersama satu atau dua teguk wine nanti malam.

Namun sepertinya ia terlalu berharap banyak.

Jasmine lupa ia memelihara pria menyebalkan lain di unit apartemen miliknya.

Jasmine bergeming. Memuat tubuh menatap pria berkaos abu tua di belakangnya, tepat pada dinding berkeramik coklat Jay bersandar dengan tangan terlipat di dada.

"Lo sadar nggak sih tadi ngapain?" Jay menunjuk arah pintu, matanya melebar dengan kening mengernyit tanda tak suka.

Tidak mengerti sama sekali.

"Terus kenapa dia bisa sampai kemari? Lo kasih alamat rumah ke itu orang?" Jay melanjutkan tanpa menunggu Jasmine menjawab. Pertanyaan yang ia sampaikan tidak butuh sebuah jawab. "Sejak kapan kalian rutin ketemu?"

Jay kembali bertanya, seakan tak puas melempari kakak perempuannya dengan berbagai macam penghakiman. "Kenapa lo gak bilang kalo itu orang yang datang?"

Kini Jasmine mengalihkan pandangannya ke arah kaca yang menampilkan keseluruhan kota, ia rasanya ingin keluar, menikmati sedikit gigil menusuk hingga tulang kemungkinan bisa menjadikan suasana hatinya menjadi lebih baik. Karena, hujan di luar serta gurat sinar di langit seakan mendukung aksi marah Jay saat ini.

Jasmine pikir ia harus merasakan petir jika ingin bisa tahu bagaimana dirinya dari sudut pandang Jay.

Sedangkan Jay masih dalam kekelabuan yang sama. Waktu seakan menelantarkan sabar yang selama ini ia pelihara. Jay selalu menemani Jasmine, sabar, mengerti, apa pun itu masalahnya, bahkan jika memang Jay tidak tahu ia akan sebisanya mencoba mengerti. Tetapi bukan untuk ini.

"Emang apa susahnya sih ngelupain?" Jay melangkah, sampai pada jarak jangkau terbilang dekat di depan Jasmine. "Lo gak bisa hidup kayak gini terus, Kak."

Jay menggeleng lirih. "Gue larang. Gue nggak suka."

Sejatinya, kelemahan Jasmine memang ada pada tiap pribadi yang ia sayang. Melihat Jay memasang raut sedih membuat Jasmine rasanya ingin memaki, ia lebih baik melihat seringai Jay ketika adiknya itu merusuhi kamar atau seisi apartemen miliknya daripada harus diberi raut wajah begini.

Jasmine mengulas satu senyum, senyum yang dulu sangat jarang terlihat dan kini senyum itu seakan jadi identitas baginya. "Nggak dengar seberapa kerasnya tadi? Juan gue usir, Jay."

Dan yang Jay lakukan cuma mengerjap, menghapus kerut di dahi serta menenangkan mata besar miliknya.

"Jangan khawatir, gue tahu kok harus ngapain," ujar Jasmine. Mungkin Jay memang berpikir kalau Jasmine akan kembali jatuh untuk yang ke sekian kali semudah dan segampang itu.

Kendati dirinya memang benar jatuh, tetapi logika dan juga akal yang Jasmine miliki tetap berjalan dengan baik, hati yang lebam tentu tak dapat menyaingi logika Jasmine yang kuat.

Jasmine memilih untuk menolak Juan.

Dan itu final.

Setidaknya untuk saat ini.

Masalah hati biar ditangani lain kali, kalau dibilang patah hati, toh ini bukan yang pertama kali.

Sudah saatnya Jay angkat tangan dari masalah pribadi Jasmine. Dia tidak mungkin akan terus hidup berdampingan dengan Jasmine, mereka sudah dewasa, dan Jay sudah harus memikirkan dirinya sendiri.

Jasmine jadi gemas sendiri. Gadis itu kemudian berjinjit menepuk pelan puncak kepala Jay, dengan sangat halus membelai sayang dari atas hingga ujung rambut yang sudah hampir menutupi mata itu. Kemudian di antara jari telunjuk dan jempol ia mengapit sedikit daging pipi Jay hingga empunya mengaduh.

"Pantas saja banyak yang naksir. Adikku ternyata gemesin banget." Jasmine tersenyum lebar ketika Jay meringis sambil memegangi pipi yang Jasmine yakin itu terasa panas. Rosa bilang cubitan Jasmine itu capit Mr. Crab, si kepiting mata duitan dalam kartun Spongebob.

"Tan sudah dikasih makan?" tanya Jasmine kemudian, mengalihkan pembicaraan. Menanyakan perihal pakan anak angkatnya sejak SMA, hewan berbulu itu sudah agak malas bergerak belakangan karena terlalu tua, Jasmine harus ekstra merawatnya, kendati tak jarang ia menitipkan di rumah karena jadwal yang padat, dan Jasmine terlalu sibuk.

Jasmine berdecak pinggang, memicing curiga. "Dan kenapa juga akhir-akhir ini lo jadi sering banget ke rumah gue? Pulang sana!"

Namun anehnya. Jay tidak membalas, tidak melakukan hal serupa pada Jasmine seperti biasanya, jika biasanya salah seorang dari mereka memukul maka yang terjadi berikutnya adalah baku hantam, tetapi kali ini tidak. Jay diam saja. Entah karena sedang menghindari pertengkaran atau memang sadar perhatiannya sedang berusaha dialihkan.

Jasmine pun ikut diam. Ia menunduk untuk menghindari tatapan mata Jay.

Lalu tak berapa lama Jay berkata kembali, tak mau lepas dari topik serius yang mereka bicarakan sebelumnya.

"Terus barusan lo ngomong apa?"

Jasmine berkedip samar, mencoba mengingat.

"Yang mana? Yang bilang cinta?" jawab Jasmine sambil melangkah menuju lemari pendingin. "Harus banget dijawab?"

Tidak.

Jay tahu semua itu, ia terlalu paham, jadi tanpa perlu bertanya atau dijawab ia sudah pasti mengerti kalau kakaknya yang tolol memang masih mencintai Juan.

Namun yang ia bahas saat ini bukanlah itu.

"Bukan," balas Jay. Nada suaranya serius, membuat Jasmine yang akhirnya memilih mengeluarkan cola daripada menyeduh rose tea itu menoleh kembali.

Menjawab melalui tatapan mata yang bicara 'lalu apa?'

"Kakak nggak serius waktu bilang punya niat buat merebut dia, kan?" tanya Jay lagi. "Dia sudah punya istri."

Jasmine tertegun.

Ternyata Jay mendengar sebanyak itu.

Jasmine melengos, memfokuskan diri kembali pada kaleng cola di tangan, ia kemudian menutup pintu lemari pendingin.

"Enggak. Itu cuma spontan saja gue ngomong begitu. Biar dia mau pergi," jelas Jasmine.

Iya, yang tadi itu memang diucapkan Jasmine secara spontan. Ia seakan merasa harus mengatakan kata-kata itu tanpa berpikir ataupun merasa satu atau dua kalimat yang salah. Kalimat tadi bukan apa-apa.

Meski ia sendiri kurang yakin apa perkataan yang keluar tanpa filter itu memang berasal dari hati yang akan ia lakukan suatu saat nanti, atau memang cuma sebuah spontanitas tak berarti.

Mendengar jawaban itu tampaknya Jay sedikit puas, terlihat dari raut lega di wajah lelaki bergigi kelinci itu. Setidaknya untuk saat ini ia percaya ucapan Jasmine.

"Gue percaya." Sambil tersenyum kecil, merebut kaleng minuman bersoda dari tangan Jasmine lalu ditegaknya sendiri. "Gue nggak tahu nantinya lo bakal ambil langkah yang mana. Tapi yang pasti jika nanti lo melakukan suatu hal yang tidak masuk akal Cuma gara-gara Juan, Gue tidak akan tinggal diam. Lo boleh saja mengorbankan segalanya agar dia tetap sama elo, tetapi, jangan sampai mengorbankan diri juga. Jangan berubah cuma karena cinta."

--

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status