Share

Bab 2 Tidak Punya Pilihan

Menikah dengan Abimanyu? Melahirkan putra? Setelah itu aku akan dibuang begitu saja. Apakah aku ini pelacur? Atau mereka hanya menganggapku mesin pencetak anak.

"Seminggu lagi kalian akan menikah. Pernikahan ini akan dilangsungkan secara diam-diam dan hanya dihadiri oleh keluarga dekat saja. Selanjutnya kalian harus segera melakukan hubungan suami istri!"

Lepas menyampaikan kalimatnya, Nyonya Besar Kinanti bangkit dari sofa. Wanita cantik itu berjalan dengan dada yang dibusungkan ke depan. Layaknya nyonya besar yang punya pengaruh kedudukkan tinggi.

Mataku terus mengikuti gerakkannya hingga ia menghilang dari pandangan. Aku tahu kalau ia sudah mengangkat kami dari jalanan dan memberi pekerjaan serta tempat tinggal. Namun, bukan berati harus mengatur hidupku bukan? Bukankah menolong sesama manusia adalah kewajiban? Kami hanya orang miskin yang tidak boleh bersuara atau pun menuntut hak.

Kemudian Ibu menuntunku keluar dari ruangan yang di kelilingi  jendela  kaca itu. Rumah besar itu seolah menghimpit tubuhku. Luasnya bumi tempatku berpijak seakan sempit menampung tubuhku.

Dengan sisa tenaga, aku menyeret kaki dengan lemas di atas lantai marmer yang mengkilat. Bahkan bayangan wajahku bisa terlihat di sana sedang bersedih.

Tiba di area belakang paling utama aku terduduk lemas. Di tempat para pembantu ini lah aku boleh meneteskan air mata. Cairan bening yang tadi aku tahan akhirnya luluh juga. Aku tidak kuasa menahan rintik-rintik cairan bening yang sedari tadi aku tahan. Akhirnya dengan sendirinya cairann asin itu turun meluncur deras begitu saja. Tubuhku terguncang karena terisak. Bahkan tanah tempatku berpijak seakan ringan menampung bobot tubuhku.

Ibu memelukku, tangannya  yang keriput membelai punggungku dengan halus. Di tempat yang luasnya setempat  dari ruang utama inilah aku terisak.

Bangunan dinding ini menjadi saksi biksu ketidak nyamananku. Aku tertunduk menatap kosong lantai berkeramik putih. Hanya ada tembok yang tidak bisa bicara melihatku tersedu.

  Bahkan suara cicak bernyanyi riang seolah mengejekku. Salma seorang gadis kampung beberapa hari lagi akan dinikahi majikannya dan hanya akan disentuh sampai ia hamil. Aku hanya akan dijadikan mesin pencentak anak saja oleh Den Abimanyu. Setelah anakku lahir akan diambil oleh Nyonya Nadia dan akan menjadi miliknya. 

Perintah Nyonya Besar Kinanti tidak bisa dibantah. Apalagi aku dan Ibu banyak berhutang budi dengan keluarganya. Namun, apakah dengan mengadaikan harga diri bisa untuk  membalas  kebaikkannya? Di luar dugaanku, kami malah terjebak di situasi seperti ini. Ibarat pribahasa mengatakan lepas dari kandang macan masuk ke mulut buaya. Kedaan kami belum juga membaik sampai hari ini.

Bagaimana aku bisa menikah dengan pria yang tidak pernah melirikku sebelah mata pun. Bahkan memandang saat kami berpapasan ia tak pernah menyapa sama sekali. 

Terlebih di sisinya ada wanita secantik bidadari yang selalu siap membuat Den Abimanyu bahagia kapan saja. Memanjakan dengan sentuhan lembutnya. Aku ini apa?

Seorang Salma hanya pembantu biasa dari kalangan bawah.  Pastilah kehadiranku akan menjadi bumerang dalam rumah tangganya. Aku hanya akan menjadi benalu diantara Den Abimanyu dan Nyonya Nadia. Aku madu yang tak punya harga diri karena dianggap merusak hubungan mereka. Memalukan dan tak tahu diri, itulah julukkan yang aku dapatkan.

Punggungku  berguncang saat terisak. Ibu mengeratkan pelukkannya pada putri semata wayangnya. Kemudian kami menangis bersama meratapi nasib yang tak kunjung membaik ini. Lepas dari kesusahan datang lagi kesusahan yang lain lagi. Ya Allah ... sampai kapan aku akan terlepas dari derita yang membelenggu hidupku. 

"Sabar ya, Nduk. Kamu pasti bisa melalui cobaan ini. Gusti Allah gak tidur kok." Hibur Ibu mengelus pucuk kepalaku.

Wanita berbadan kurus itu berulang-ulang kali memelukku. Sesaat kemudian kami saling berpandangan, netra menatap lurus ke depan. Tak ada kata-kata lagi yang bisa aku ucapkan sebagai ungkapan perotes.

Tangisku pecah dalam pelukkan Ibu. Aku menangis sejadi-jadinya untuk meluapkan rasa sakit hati ini biar sedikit berkurang bebannya. Rasanya aku ingin menangis lebih kencang lagi agar rasa sakitnya hilang.

Apalah dayaku seorang wanita kampung yang hanya lulusan sekolah SMP. Tidak punya gelar sarjana atau pun pendidikan yang tinggi seperti Nyonya Nadia. Bahkan kecantikannya setara dengan artis ternama. Badan tinggi, putih, hidung mancung, body mulus dan juga kaya. Dalam hidupku hanya ada satu pilihan menikah dengan Den Abimanyu. Tidak boleh menolak atau pun pergi dari sini. Dengan kekuasaan Nyonya Besar Kinanti akan melakukan apa pun agar tujuannya tercapai.

"Aku tidak punya pilihan, Bu. Mengapa harus aku yang harus menjadi Istri Den Abimanyu, sementara wanita lain di luar sana masih banyak wanita yang lebih cantik dan setara kedudukkan ya dengan Den Abimanyu," keluhku pada Ibu.

Tak henti-hentinya airmata ini mengalir deras.

"Setiap masalah pasti akan ada jalan keluarnya, Nduk. Kamu sabar dan ihklas saja jalani semua ujian ini. Mungkin Gusti Allah punya rencana yang lain buat masa depanmu," ucap Ibu menasehati.

Wanita yang masih terlihat kuat di usia senja itu berulang-ulang kali mengelus punggungku. Tak henti-hentinya ia memberi semangat.

"Aku hanya dijadikan mesin pencentak anak sama nyonya besar, Bu."

"Anggap saja ini ujian, Nduk." Kembali ibu mengulang kata yang sama. 

Tak ada yang bisa lagi kami lakukan selain hanya menangis bersama-sama. Dadaku berguncang saat terisak memeluk Ibu. 

***

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status