Share

Bab 3 Nikah Tanpa Cinta

Seminggu menjelang pernikahan, rumah Tuan Cokro Widodo diramaikan pertengkaran Nyonya Nadia dan Nyonya besar. Den Abimanyu yang selalu melerai pertengkaran mereka. Lelaki muda itu selalu memeluk sang istri dan membujuknya jika sudah menangis.

Den Abimanyu dan Nyonya Nadia saling berpelukkan di belakang bangunan utama. Letaknya yang tersembunyi menjadi tempat untuk mereka berdua saling mencurahkan isi hati. Sering kali aku memergoki mereka berdua berada di sana jika kebetulan aku sedang bertugas membersihkan taman. Di hadapan mereka terhampar kebun bunga yang luas ditanami bunga mawar dan melati. Bunga kesukaan Nyonya Besar Kinanti. 

Sayup-sayup aku mendengar Den Abimanyu merayu istrinya dengan seribu kata-kata manis agar membuatnya tenang. Lalu, wanita berambut pirang itu akan luluh hatinya dan merebahkan kepalanya di dada sang suami.

Sungguh nyata cinta yang mereka miliki, berbeda denganku yang hanya seorang pembantu rumah tangga. Mana mungkin Den Abimanyu akan jatuh cinta padaku. Seorang Salma hanya gadis miskin yang bekerja menjadi pembatu rumah tangga tidak mungkin akan bersanding dengan seorang tuan muda besar yang tampan, kaya serta berpendidikan tinggi. Jangankan membayangkan wajahnya menatapnya saja aku tidak berani. Manalah mungkin aku menjadi istrinya. Kedudukkanku hanyalah akan dianggap rendah di matanya.

Seperti hari ini, Nyonya Besar Kinanti memintaku memanggilnya. Dengan ragu aku menuruti perintahnya. Menolak keinginan nyonya besar sama saja bunuh diri. Meski aku enggan mendekati kedua pasangan sejoli itu, harus kulakukan karena perintah Nyonya Besar Kinanti. 

"Ma, maaf, Den. Nyonya besar Kinanti memanggilmu." Dalam keraguan aku memberanikan diri menyampaikan pesan Nyonya Besar Kinanti.

Di ambang pintu penghubung  rumah utama dan beranda itu, aku terpaku menyaksikan Nyonya Nadia menangis dalam pelukkan lelakinya. Dengan sabar dan lembut Den Abimanyu membelai rambut sang istri sembari mengatakan hal-hal yang indah membuat Nyonya Nadia tersenyum seolah melupakan masalahnya sejenak.

Dua sejoli yang tadi berpelukkan itu terperangah melihat ke datanganku. Mereka langsung melepaskan pelukkan dan melemparkan pandangan ke arahku seperti sebuah pedang tajam yang siap menghujamku.

Jantungku berdegup kencang seperti sebuah gendang yang dipukul bertalu-talu. Tatapan Nyonya Nadia  tak mau lepas memperhatikanku. Jika saja bukan karena perintah nyonya besar sudah pasti aku juga enggan memanggil keduanya. Kedatanganku memanggil keduanya hanyalah karena tugas dari nyonya besar saja.

Aku menahan napas kala pasangan suami istri itu berjalan melewatiku. Jelas kudengar Nyonya Nadia mencibirku dengan kata calon madu.

Mungkin ia ingin menampar atau menjambakku, namun enggan ia lakukan karena akan hanya memperburuk keadaan. Ia tahu betul kalau melakukan hal rendah hanya akan menjatuhkan harga diri dan martabatnya.

Seorang Nyonya Nadia yang berpendidikan tinggi dari keluarga terhormat tidak mungkin akan berbuat serendah itu pada seorang asisten rumah tangga. Jika sampai ia berani bertindak kriminal padaku sudah pasti hukuman menanti dari Nyonya Besar Kinanti.

Sampai di ruang keluarga Nyonya Nadia dan Den Abimanyu duduk berhadapan dengan Nyonya Besar Kinanti. Tangan Nyonya Nadia merangkul suaminya seakan tidak mau jauh darinya.

"Besok aku akan mengirimmu keluar negeri, Nadia. Kamu akan berlibur di sana selama satu minggu tanpa suamimu," ucap Nyonya Besar Kinanti santai.

Tangannya dilipat ke dada menatap menantunya.

"Kenapa, Mas Abi tidak ikut, Mami?" tanya Nyonya Nadia ragu.

Pandangannya menunduk tak berani menatap wajah  mertuanya.

"Abimanyu sedang ada pekerjaan penting di kantor. Kamu tidak boleh manja sebagai istri. Harus bisa belajar mandiri jika suami sedang ada urusan kerja," lanjutnya lagi.

Nyonya Nadia memandang ke arah suaminya. Den Abimanyu hanya mengenggam tangannya dan mengelus dengan lembut mencoba menenangkan istrinya. Ia tahu kalau ibunya akan melaksanakan pernikahan jika Nyonya Nadia sudah dikirim ke luar negri.

"Tenang, Sayang. Kamu gak usah takut, aku akan segera menyusulmu jika urusan ini sudah selesai di sini," bisik Den Abimanyu lembut.

Seraya mempererat genggaman tangannya kepada sang istri.

Kata Nyonya Besar Kinanti, istri Den Abimanyu akan dikirim keluar negeri jika suasana sudah tenang.

Nyonya Besar Kinanti akan mengijinkan Den Abimanyu menyusul istrinya jika sudah menyentuhku. Menanamkan benih di rahimku lebih tepatnya. Dan yang lebih menyedihkan lagi Den Abimanyu boleh tak mendatangi kamarku jika aku sudah hamil dalam satu kali sentuhan. Menyakitkan bukan? Aku tidak boleh menolak hanya bisa menerima aturan dari Nyonya Besar Kinanti. 

Wanita bermata bulat itu lantas mengeluarkan sebuah tiket dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada Nyonya Nadia.

"Ini tiket keberangkatanmu besok, Nadia. Sopir akan mengantarkanmu ke bandara tepat pukul delapan pagi. Tujuanmu adalah Belanda, aku sudah mengatur semuanya di sana termasuk tempat kamu menginap."

Nyonya Besar Kinanti  berkata dengan wajah serius. Den Abimanyu dan istrinya hanya menundukkan kepala tak berani menatap wajahnya. Di rumah besar ini semuanya hanya tunduk terhadap perintahnya.

Sebelum Nyonya Nadia memalingkan pandangannya, aku masih bisa melihat setetes air mata jatuh membasahi pipi mulusnya. Di sini aku berprasangka kalau Nyonya Besar Kinanti tidak main-main dengan ucapannya. Menantunya saja harus tunduk pada perintahnya, apalagi hanya aku seorang pembantu yang tidak punya kedudukkan apa-apa di keluarga ini.

"Sayang, kamu jangan sedih lagi. Aku pasti akan segera menyusulmu di Belanda,"  ucap Den Abimanyu lembut.

Den Abimanyu merengkuh tubuh wanitanya yang hendak pergi itu. Wanita yang sudah tiga tahun mendampinginya itu hanya menangis membenamkan kepalanya di dada lelakinya dengan sedih. Nyonya Nadia menangis sesenggukan di dada suaminya. Mungkin sakit yang ia rasakan bisa terobati hanya berada di samping sang suaminya.

***

Dengan tekanan dari Nyonya Besar Kinanti pernikahanku, segera dilangsungkan. Dalam hitungan detik ijab kabul dilaksanakan. Hanya dihadiri keluarga dekat dan para saksi saat acara berlangsung. Kata sah pun terucap dari dua orang saksi setelah ikrar dilaksanakan.

Pernikahanku dengan Den Abimanyu sangat rahasia dan ditutupi oleh semua pihak. Tidak ada satu penghuni rumah pun yang boleh menyebarkan berita atau buka suara. Lolos satu kata, maka dipecat dari pekerjaan menjadi taruhannya.

Acara pernikahanku dilaksanakan dalam aula. Acara sakral ini hanya di dampingi Ibu yang menjadi pihak keluargaku. Meski aula ini mampu menampung banyak orang, tapi Nyonya Besar Kinanti menyembunyikan identitas pernikahan kami. Dua orang Tuan besar, Nyonya Kinanti, Tuan Cokro Widodo, sepasang pengantin, dua orang saksi dan satu penghulu duduk dalam satu lingkaran di atas permadani indah.

Tidak ada pakaian pengantin atau pun pelaminan sebagia tanda selamatan pernikahan. Hanya jamuan kecil sebagai formalitas terlaksananya pernikanku dengan Den Abimanyu. Selesai akad nikah tidak ada satu pun di antara kami yang mau menikmati hidangan itu. Di atas piring porselin itu masih utuh tertata hidangan yang tadi disuguhkan.

Selesai acara akad nikah Den Abimanyu meninggalkanku sendiri yang masih duduk di aula bersama Ibu. Dadaku terasa sesak sepertinya Den Abimanyu enggan menuntunku ke kamar.

Lepas kepergian, Den Abimanyu suasana menjadi sepi. Tak lama kemudian Pak Penghulu juga pamit pulang. Tinggal aku dan Ibu yang masih duduk di aula sembari bertatapan. Pemilik bibir tipis itu hanya tersenyum mengelus rambutku.

"Selamat ya, Nduk. Kamu sudah resmi menjadi istri Den Abimanyu," ucapnya mengulas senyum.

Aku tahu ucapan Ibu hanya menghiburku. Maafkan anakmu Ibu. Aku hanya menorehkan luka di hatimu. 

Sebagai orang kecil kita tak berdaya di bawah perintah orang yang berkuasa. Hanya bisa menerima tanpa bisa menolak keinginan para penguasa yang mempunyai uang dan kedudukkan.

***

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status