Sret!
Suara robekan kain terdengar begitu mengerikan di telinga Janice. "Akkhh, apa yang kau lakukan? Jangan!" Janice terus terbatuk dan berusaha menepis tangan pria yang sedang menyentuhnya itu. "Tidak, jangan lakukan itu ... aku benar-benar tidak tahu ...." Janice mulai menangis dan memohon, namun pria itu tidak berhenti sedikit pun. Pria itu menyentuh seluruh tubuh Janice sampai ke bagian sensitifnya dan membuat tubuh Janice bergetar tidak karuan, bukan menikmati, namun ketakutan dan kesakitan karena pria itu meremat kulit Janice dengan kasar. Janice merasa jijik saat tangan itu terus membelai tubuhnya, namun ia tidak punya tenaga untuk melawannya lagi. Sampai saat pria itu menempatkan dirinya dan menerobos masuk, mengabaikan jeritan lirih Janice yang begitu kesakitan dan tersiksa. Jantung Janice pun sudah berdebar kencang dan ia mulai berkeringat dalam tidurnya. Kaki dan tangan Janice mengepal sekuat tenaga saat alam mimpinya sedang menyiksanya dengan mengulang kejadian malam itu. Dan rasa takut itu kembali bisa Janice rasakan. "Tidak! Sakit! Jangan! Tolong! Tidakk!!" teriak Janice tanpa sadar. Sampai teriakan Janice pun membangunkan Nara dan Calista. Sebenarnya rumah kontrakan mereka mempunyai dua kamar kecil, tapi mereka sudah biasa tidur bersama dalam satu kamar. Janice pun meminta Nara tidur dengan si kembar di atas ranjang, sedangkan Janice sendiri tidur di kasur bawah. "Eh, Mama kenapa?" tanya Calista yang sudah duduk sambil mengucek matanya. Sedangkan Collin masih tetap tertidur tanpa peduli hujan badai. Nara pun langsung turun ke ranjang bawah dan membangunkan anaknya itu. "Janice, Sayang, kau kenapa, Janice? Bangun!" Nara mengguncang tubuh Janice karena anaknya itu masih begitu tenggelam dalam mimpinya. "Tidak! Sakit ...," rintih Janice. "Janice, ini Ibu, bangun, Janice!" teriak Nara lebih keras. Hingga akhirnya Janice pun tersentak dan membuka matanya kaget. Rasanya Janice seperti baru saja tenggelam ke dasar laut dan kembali lagi ke permukaan. Janice memegangi lehernya yang rasanya tercekik dan ia pun bangkit duduk. "Ibu ... Ibu ...." Kedua mata Janice membelalak menatap ibunya. "Kau kenapa, Janice? Kau bermimpi buruk?" Janice yang masih tegang dan berdebar hanya bisa mengangguk sambil menenangkan napasnya. "Aku ... memimpikan ... malam itu ...," bisik Janice terbata. Hati Nara pun mencelos mendengarnya dan ia langsung memeluk Janice. "Astaga, sudah, tidak apa, Janice. Itu hanya mimpi. Itu hanya mimpi." Nara membelai kepala Janice dan memeluknya begitu erat. Janice sendiri hanya bersandar di pelukan Nara sambil menyeka keringatnya sendiri, namun tubuhnya gemetar hebat sekarang. "Mama kenapa? Mama mimpi apa?" Calista yang akhirnya sudah sadar sepenuhnya pun ikut turun ke ranjang bawah dan menatap Janice. "Itu ... tidak apa, Sayang. Mama hanya mimpi buruk." Janice berusaha menjawabnya dengan tenang. "Ya mimpi apa? Dikejar zombie?" Janice terpaksa mengangguk. "Iya, Sayang. Tapi zombienya sudah menangkap dan menggigit Mama ...." "Ih, Calista takut, Mama! Apa Mama sudah jadi zombie sekarang? Coba lihat, apa ada darah-darahnya?" Calista mendadak menganggapnya serius. Janice pun akhirnya tersenyum dan melepaskan diri dari Nara lalu memeluk Calista erat-erat. "Tidak, Sayang. Mama tidak menjadi zombie. Jangan takut ya ...." Calista yang dipeluk pun mengangguk dan mendongak menatap Janice, seolah memastikan sekali lagi kalau Janice tidak menjadi zombie. "Hehe, benar, Mama tidak jadi zombie." Janice tersenyum lemah. "Tentu saja, Sayang. Mama tidak akan menjadi zombie. Maafkan Mama ya, Calista jadi terbangun, ayo tidur lagi!" "Calista mau sama Mama di bawah." "Tapi ranjangnya sempit, Sayang." "Tidak apa-apa, kan cukup. Calista bisa tidur miring ...." Janice hampir menangis menatap Calista, namun ia melirik ke arah Nara dan Nara pun mengangguk. "Hmm, baiklah, ayo kita tidur lagi!" kata Janice yang akhirnya berbaring bersama Calista di ranjang bawah. Janice pun memeluk Calista yang begitu cepat terlelap, sedangkan Janice sendiri begitu gelisah dan tidak bisa tidur lagi. Entah berapa lama Janice hanya terus memejamkan matanya. Entah ia sempat tertidur atau tidak, namun Janice masih bisa mendengarkan suara-suara di sekitarnya, bahkan suara ayam berkokok yang menandakan bahwa pagi sudah mulai menjelang. * "Collin, Calista, Mama berangkat dulu ya! Ibu, aku berangkat dulu!" pamit Janice saat mereka sudah menyelesaikan sarapannya pagi itu. Janice pun mengarahkan tatapannya pada Nara, sebelum ia kembali melirik ke arah si kembar. "Ingat, jadi anak baik yang di rumah!" "Oke, Mama! Dadah!" Collin dan Calista terus melambaikan tangan ke arah Janice lalu Janice pun segera melesat ke kantornya dengan tekad yang lebih kuat hari itu. "Ya, lupakan masa lalu dan bekerja demi Ibu dan demi anak-anak!" "Jangan gugup, Janice! Karena kalau kau gugup, kau malah akan membuat orang curiga. Benar. Lagipula dulu dia buta. Dia pasti tidak akan mengenalimu. Bersikap biasa saja, Janice! Ya, bersikap biasa saja!" Janice pun mengembuskan napas panjangnya dan berlari masuk ke gedung perusahaan itu. "Kau sudah baikan, Janice?" sapa Wina yang meja kerjanya berada tepat di samping Janice. "Ah, sudah. Terima kasih atas perhatianmu, Wina!" "Ck, santai saja! Kita teman sekarang! Oh ya, karena kau sudah sehat, ayo kita belajar lagi tentang laporan yang kemarin! Aku sudah bertanya-tanya pada karyawan senior dan dia sudah menjelaskannya padaku." "Benarkah? Ajari aku juga, Wina!" "Tentu saja! Ayo sini!" Janice pun menggeser kursinya ke samping Wina dan mereka mulai belajar bersama saat tiba-tiba seorang manager keluar dari ruangannya dan berteriak pelan. "Siapa karyawan baru yang bernama Janice Velma?" tanya wanita itu. Beberapa karyawan yang sudah menghafal nama Janice pun langsung menoleh ke arah Janice namun Janice yang masih belajar dengan serius nampak belum menyadarinya. "Eh, Janice! Bukankah Janice Velma adalah namamu?" Wina menyenggol siku Janice. Janice mengerjapkan mata mendengarnya. "Eh, iya, aku Janice Velma, ada apa?" "Itu, dia memanggil namamu." Wina mengedikkan kepala ke arah manager wanita yang masih berdiri di sana. "Eh, dia memanggil namaku? Tapi ada apa?" Belum sempat Janice mendapatkan jawaban, namun Wina sudah berdiri dari kursinya. Sontak Janice pun ikut berdiri walaupun ia masih bingung mengapa ia dipanggil. "Janice Velma di sini! Ini orangnya di sampingku!" Wina menunjuk ke arah Janice. "Ah, kau Janice ya? Tinggalkan pekerjaanmu dulu karena pimpinan memanggilmu ke kantornya sekarang!" "Eh, maaf, pimpinan siapa maksudnya? Dan untuk apa aku dipanggil?" Janice menatap manager itu dengan tatapan penuh tanya. "Aku tidak tahu, tapi Beliau memintamu ke kantornya sekarang juga," sahut manager itu. "Hei, kau! Antarkan Janice ke ruangan Pak Edgard!" titah sang manager pada anak buahnya. Deg! Seketika jantung Janice pun langsung berdebar kencang mendengar nama itu. Apa? Ke ruangan Pak Edgard? Mengapa pria itu memanggilku? Apa dia ... apa dia mengenaliku? **"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita