Clara terdiam sejenak, tatapan matanya terpaku pada sosok William yang berada tidak jauh darinya. Sesaat tatapan keduanya bertemu. Jantungnya berdegup kencang, seakan waktu berhenti untuk beberapa saat. Perasaan yang bercampur aduk membuat pikirannya buntu, tetapi tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada logikanya.Dengan langkah yang terburu-buru dan tanpa mempertimbangkan konsekuensi, Clara bergerak mendekati William, seolah ada dorongan yang tidak dapat dia kendalikan. Setiap langkah yang dia ambil semakin memperjelas gejolak dalam hatinya—sebuah perasaan yang selama ini dia abaikan, tetapi kini tak dapat lagi dia bendung.“Liam, kamu sudah sadar?” Clara mengusap wajah William dengan tangan. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.“Ya, aku sudah bangun. Kenapa kamu tidak memelukku?”Clara terkesiap, dia menyadari sesuatu. Bahwa dirinya bertindak sesuai dengan akal sehatnya. Dan entah mengapa Clara merasa ragu untuk melakukannya. Keraguan dalam dirinya semakin besar tatkala
Clara dan William menoleh ke arah sumber suara dan melihat Julia dan Ben berdiri di ambang pintu masuk. Wajahnya tampah dipenuhi dengan amarah, terutama Julia. Lantas wanita itu berjalan cepat mendekati Clara."Kamu untuk apa datang kemari, ha?" bentak Julia sembari menunjuk-nunjuk wajah Clara.Mendengar itu, Clara merasa bingung, sekaligus terkejut."Siapa yang menyuruh kamu datang? Kami tidak butuh kamu!" teriak Julia lagi."Aku yang menyuruhnya datang," sahut William.Tatapan Julia beralih pada puteranya. "William, untuk apa kamu menyuruh dia datang? Apa kamu tahu apa yang sudah dia lakukan di belakang kamu selama kamu koma?" tanya Julia dengan nada penuh emosi."Apa maksud Mama?" Giliran William yang bertanya."Wanita ini sudah menjadi pemuas nafsu bosnya!" pekik Julia yang membuat semua orang termasuk Clara seketika membulat sempurna.Clara menggeleng. “Itu tidak benar!" seru Clara membela diri.“Apanya yang tidak benar?” Julia kembali mengalihkan perhatiannya kepada William. Kila
Clara terhuyung ke belakang. Tubuhnya nyaris limbung, tetapi sepasang tangan sigap menangkapnya sebelum tubuhnya menyentuh lantai.“Nona, Anda tidak apa-apa?” Beruntung Suster Cintya datang tepat waktu.Clara menoleh dan melihat Suster Cintya sudah berada di dekatny sembari menopang pundaknya.“Terima kasih, Suster Cintya," ucap Clara.Melihat itu, Julia tampak kesal. Dia melengos begitu saja.Sementara William, semakin terkurung dengan emosinya. Pria itu kembali berteriak dengan sesekali menonyor kepalanya sendiri.Kondisi ini membuat Clara terasa perih. Terlihat sekali pria itu tidak dapat menerima kenyataan ini.Clara semakin terisak, situasi ini sungguh membuat Clara merasa sesak. Dia ingin mendekat, namun dia tahu, baik Julia atau pun Ben tidak akan mengizinkan. Banyak kata yang ingin Clara ungkapkan. Namun semua hanya tertahan di tenggorokan. “Sebaiknya kamu pergi dari sini!” usir Julia.Clara tidak menggubris wanita itu, dia hanya menatap William dengan ujung mata kemerahan. P
Panas dan kebas menjalar ke area wajah Clara. Tamparan yang diberikan Sania begitu tiba-tiba, meninggalkan perih yang menyengat di pipinya. Clara terdiam, matanya membelalak, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Dadanya berdegup kencang, bukan hanya karena rasa sakit yang menjalar, tetapi juga keterkejutan yang melumpuhkan pikirannya.Sania berdiri di hadapannya dengan napas memburu, matanya menyala oleh amarah yang sulit dibendung. Ruangan yang sebelumnya dipenuhi suara tawa para pelayan kini berubah sunyi, hanya menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.Clara mengangkat tangannya, menyentuh pipinya yang kini terasa panas. Dia menatap Sania, mencari jawaban dalam sorot matanya yang tajam."Kenapa?" Suaranya nyaris berbisik, bergetar oleh campuran rasa sakit dan keterkejutan.Namun, Sania hanya menghela napas panjang, lalu membuang muka. Ada sesuatu yang disembunyikannya—sesuatu yang mungkin lebih menyakitkan daripada tamparan itu sendiri."Mom!""Jangan panggil aku Mom
Sebastian duduk gelisah di ruang tunggu bandara, pandangannya terus terpaku pada layar informasi penerbangan yang menampilkan tulisan merah berkedip—"Ditunda." Dia menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang semakin memuncak. Di luar, hujan turun deras, disertai angin kencang yang membuat landasan pacu basah dan berbahaya untuk lepas landas.Dia menggenggam erat ponselnya, dia tidak bisa menghubungi Clara lantaran ponselnya mati dan Sebastian lupa mengisi, itu lantaran dirinya sedang sibuk. Padahl dirinya ingin memberitahu Clara bahwa dirinya terjebak di bandara tanpa kepastian kapan bisa berangkat? Bahwa jarak yang memisahkan mereka semakin terasa panjang akibat cuaca yang tidak bersahabat?Sebastian menyandarkan kepalanya pada kursi, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk. William telah bangun dari koma. Dan kabar itu diberikan langsung oleh orang kepercayaannya yang dia tugaskan untuk menjaga pria itu.“Sial!” Sebastian mengumpat dalam hati. Hatinya memanas, api cemburu
114Di tengah kebingungannya, Clara akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya yang terletak di pinggiran kota Arbour. Hatinya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Langkahnya terasa berat, tetapi tidak ada pilihan lain yang lebih masuk akal selain kembali ke tempat yang dulu memberinya rasa aman. Rencananya Clara akan menenangkan diri di sana selama beberapa hari.Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berkelana, mengingat kembali percakapan terakhirnya dengan Sania. Kata-kata yang diucapkan wanita itu masih terngiang di telinganya, menggema tanpa henti. Bagaimana Sania bisa mengetahui semuanya? Dan dari mana Sania mendapatkan foto-foto itu?Kasus yang sama dengan Julia. Wanita itu memiliki foto tentang dirinya dengan Sebastian. Clara merasa ada seseorang yang sengaja melakukannya. Tapi siapa? Lama berpikir, tanpa terasa Clara nyaris sampai di tempat tujuan.Ketika bus yang ditumpanginya memasuki wilayah pinggiran kota, Clara melihat deretan ruma
Ketegangan di dalam ruangan itu berlangsung lama. Isak tangis Rosalia memenuhi udara, mencerminkan kepedihan yang tengah dia rasakan. Dengan suara bergetar, dia terus melontarkan kata-kata penuh amarah, menyalahkan Clara atas apa yang telah terjadi.Clara hanya mampu berdiri membisu, menundukkan kepala sambil menahan air mata yang hampir jatuh. Setiap kata yang keluar dari mulut ibunya bagaikan bilah tajam yang mengiris perasaannya. Hatinya tercabik-cabik, tetapi dia tak memiliki keberanian untuk membela diri.“Bu, percayalah. Aku melakukannya demi William. Tidak ada niat lain.” Akhirnya Clara kembali membuka suara.“Omong kosong! Pasti ada cara lain. Dan pada akhirnya kamu sendiri yang menyakiti william.”Tatapan Rosalia dipenuhi kekecewaan yang mendalam, seolah tak ada lagi tempat bagi Clara di hatinya.Sementara itu, Clara merasakan dadanya sesak, di antara rasa bersalah dan luka yang semakin menganga. Keheningan yang menyelimuti mereka terasa menyesakkan, seakan dinding ruangan pun
Ketika mendengar berita bahwa Clara telah pergi, Sebastian membulatkan matanya dengan ekspresi kekagetan yang sangat terlihat. Da tidak percaya bahwa Clara bisa pergi tanpa memberitahuinya terlebih dahulu. Sebastian merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan Dia segera berusaha untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Sebastian menatap Andrew dengan tatapan mengintimidasi yang membuat Andrew merasa tidak nyaman. Kemudian, dengan suara yang tegas dan berwibawa, Sebastian bertanya, "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Mengapa kamu membiarkan Clara pergi tanpa memberitahu aku terlebih dahulu?"Andrew terlihat ragu-ragu sebelum menjawab, terlebih mengingat ucapan Sania untuk tidak memberitahu Sebastian.Sebastian mengangkat alisnya, tidak percaya dengan kebisuan yang terjadi pada Andrew. Keanehan semakin terlihat tatkala Andrew sama sekali tak bergeming.“Kenapa kamu diam? Jawab aku, Andrew!” Suara Sebastian penuh penegasan.Andrew terlihat semakin tidak nyaman di bawah tatapan Sebas
Clara membelalak, matanya membesar dalam ketakjuban. Jantungnya berdegup kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Perasaan terkejut menyergap dirinya dengan cepat. Namun, di balik keterkejutan itu, tumbuh kehangatan yang begitu manis di dalam hatinya. Untuk sesaat dia terdiam, mencoba mencerna kenyataan yang kini terbentang di hadapannya. "Jadi Ayah menerimamu?" Clara harus memastikannya lagi. Sebastian mengernyitkan dahi. "Kamu terlihat senang?" Sebastian balik bertanya. Tatapannya menyipit. "Tentu saja aku senang. Kamu tahu sendiri kan bagaimana Ayah?" Clara menatap suaminya dengan tatapan intens. Sebastian mengangguk paham. "Ya, dia sangat sulit ditaklukkan," cetusnya. Ingatan terlempar pada saat pertemuan pertama mereka. Kesalahan besar dilakukan Sebastian, harusnya sebelum menikahi Clara, dia harus menemui mereka. Tetapi Clara telah mengandung terlebih dahulu kala itu. Itu Sebabnya Sebastian harus melakukan pernikahan dengan cepat. Dia ingin member
Richard terdiam sejenak setelah mendengar penuturan Sebastian. Raut wajahnya tidak segera menunjukkan reaksi apa pun. Tatapannya kosong, namun sorot matanya mengisyaratkan bahwa pikirannya tengah bekerja keras mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan sang menantu. Suasana di antara mereka seketika menjadi hening, hanya terdengar suara ketukan jam dinding dan deru napas yang saling bersahutan. Sebastian terdiam, menunggu dengan sabar, meskipun di dalam hatinya terselip kegelisahan. Dia tahu bahwa setiap kata yang diucapkannya barusan mengandung makna pentin. Tentang Clara, tentang keluarga, dan tentang harapan akan hubungan yang lebih baik. Dia tidak bisa membaca isi pikiran Richard, namun dia berharap kejujuran dan ketulusannya mampu menembus lapisan jarak yang selama ini membentang di antara mereka.Richard akhirnya mengangkat wajahnya, memandang Sebastian dengan mata yang lebih teduh. Meski ekspresinya masih tenang dan sulit ditebak, nada suaranya ketika akhirnya berbicara t
Clara menghampiri Sebastian yang masih duduk di balkon, membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di samping suaminya dan menyandarkan kepala di pundaknya. Kaisar sudah tertidur di pangkuan Sebastian, wajah kecilnya terlihat damai."Dia sudah mulai mirip kamu," ucap Clara pelan, sambil menatap wajah putra mereka."Mirip aku?" Sebastian tersenyum tipis. "Semoga dia tidak mewarisi keras kepalaku."Clara terkekeh pelan. "Sayangnya, dia sudah punya itu. Tapi juga mewarisi hatimu yang hangat."Sebastian menatap langit sejenak, lalu kembali menatap Clara. "Hari ini aku merasa lega. Pusat pelatihan itu... aku harap benar-benar bisa membawa perubahan. Itu yang Kakek impikan."Clara mengangguk mantap. "Aku yakin akan berhasil. Kau telah melakukan segalanya dengan tulus dan sepenuh hati, Bas."Sebastian menghela napas panjang, mengingat kembali hari-hari ketika hidup mereka masih penuh ketegangan dan luka masa lalu. Dari pertentangan dengan orang tua Clara, ancaman dari Ziyon dan rekan-rekannya,
Minggu berikutnya, suasana di rumah keluarga Abraham mulai lebih ringan. Meskipun duka masih membekas, namun kehidupan terus berjalan, dan setiap anggota keluarga berusaha untuk tetap kuat. Sebastian memutuskan untuk mengambil waktu istirahat sejenak dari kantor. Ia mengajak Clara, Kaisar, Dareen, serta Lucia dan Louis untuk berlibur ke vila lama Maxime di pegunungan—tempat yang dulu sering mereka datangi untuk mencari ketenangan. Vila itu dikelilingi pepohonan pinus dan hamparan bunga liar yang bermekaran. Udara segar dan sejuk menyambut mereka begitu tiba. Kaisar berlari kecil dengan wajah ceria, sementara Clara mengejarnya sambil tertawa. "Ini pertama kalinya kita kembali ke sini setelah semuanya," ujar Lucia sambil memandang langit biru yang bersih. "Iya," jawab Sebastian. "Dan tempat ini seakan masih menyimpan jejak Kakek. Rasanya seperti dia masih ada bersama kita." Hari-hari di vila itu berjalan tenang. Mereka menikmati waktu bersama tanpa gangguan teknologi maupun urusan b
Tiga hari setelah kepergian Maxime Abraham, upacara perpisahan digelar dengan penuh khidmat. Keluarga, kerabat, kolega bisnis, serta karyawan dari seluruh lini usaha yang pernah disentuh oleh tangan dinginnya, hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Aula utama di kantor pusat Abraham Group dipenuhi karangan bunga dan potret besar Maxime dengan senyum teduhnya.Clara menggenggam tangan Kaisar yang duduk tenang di pangkuannya, seolah mengerti suasana yang berbeda dari biasanya. Sebastian berdiri di samping mimbar, memberikan pidato terakhir sebagai cucu sekaligus penerus sang pendiri."Maxime Abraham bukan hanya seorang pemimpin besar. Ia adalah seorang ayah, kakek, dan guru kehidupan. Kami semua belajar banyak darinya—tentang kejujuran, kerja keras, dan pentingnya menjaga martabat di tengah segala kemewahan yang ia bisa miliki. Ia pergi dengan damai, meninggalkan warisan yang tidak akan kami sia-siakan."Sebastian berhenti sejenak, suaranya sedikit bergetar, lalu melanjutkan, "Ha
Beberapa hari setelah percakapan terakhir antara Sebastian dan Clara, suasana di rumah keluarga Abraham sedikit berubah. Bukan karena duka, melainkan karena sebuah kesadaran baru yang lahir—tentang waktu yang tak dapat diulang, dan pentingnya menjaga apa yang telah diwariskan dengan penuh kesungguhan.Maxime kini lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar, tetapi sesekali ia meminta untuk dibawa keluar, ke taman belakang yang penuh bunga matahari, tempat di mana Kaisar biasa bermain. Di sanalah ia merasa paling damai.Pada suatu pagi, ketika matahari baru saja menyentuh permukaan bumi dengan sinar keemasannya, Sebastian membantu Maxime duduk di kursi roda. Kaisar, dengan langkah kecilnya yang kini sudah mulai stabil, membawa boneka kesayangannya lalu meletakkannya di pangkuan sang kakek.“Ini buat Kakek,” katanya polos, disusul tawa renyah yang membuat semua hati yang menyaksikan menjadi hangat.Maxime mengusap kepala cucunya dengan lembut. “Kakek tak perlu harta apapun lagi, Nak. Ta
Beberapa minggu berlalu sejak Maxime kembali dari rumah sakit. Meski kesehatannya belum sepenuhnya pulih, semangat hidupnya tidak pernah surut. Ia semakin sering menghabiskan waktu bersama keluarga, terutama bersama Kaisar, yang kini menjadi pusat kehidupannya. Setiap pagi, Maxime akan duduk di taman belakang dengan selimut di pangkuannya, menanti Sebastian atau Clara membawakan secangkir teh hangat dan kehadiran si kecil yang lincah itu.Suatu sore, Sebastian tengah mengawasi Kaisar yang bermain dengan Dareen dan Louis. Clara datang menghampiri sambil membawa sebuah berkas.“Ini laporan terakhir dari cabang di Marseille,” ujar Clara sambil menyerahkannya. “Dareen sudah menandatangani beberapa perjanjian kerja sama baru.”Sebastian membaca sekilas, lalu tersenyum bangga. “Aku tidak menyangka dia akan tumbuh sejauh ini.”“Karena kamu percaya padanya. Itu yang membuatnya terus berusaha,” ujar Clara lembut. “Kamu juga seperti itu dulu.”Sebastian menoleh dan menatap istrinya dengan penuh
Beberapa hari setelah perayaan kecil di rumah keluarga Abraham, suasana bahagia itu masih terasa menggema di setiap sudut rumah. Kaisar, si kecil yang menjadi pusat perhatian semua orang, semakin aktif dan cerdas. Ia mulai mengenali beberapa kata sederhana dan bisa menyebut “Mama” dan “Ayah” dengan fasih, membuat Clara dan Sebastian semakin kagum akan pertumbuhannya.Pagi itu, Sebastian tengah duduk di ruang kerja pribadinya, menatap beberapa dokumen merger lanjutan antara Abraham Group dan mitra baru dari luar negeri. Konsentrasinya terganggu ketika ponselnya berdering. Nama Andrew muncul di layar. Segera ia angkat.“Halo, Andrew. Ada kabar apa?” tanya Sebastian.“Tuan Sebastian, saya baru mendapat kabar dari rumah sakit. Tuan Maxime sudah sadar, namun dokter menyarankan agar keluarga terdekat menemuinya.”Sebastian berdiri dari kursinya. “Baik. Saya akan segera ke sana.”Dalam waktu singkat, Sebastian telah berada di rumah sakit bersama Clara dan Kaisar. Lucia, Louis, serta Dareen j
Pagi itu langit tampak cerah. Cahaya matahari menyelinap masuk melalui jendela besar ruang makan keluarga Abraham, memantulkan kehangatan yang menyelimuti seluruh ruangan. Clara tengah menyuapi Kaisar yang kini semakin aktif. Bocah satu tahun itu tumbuh menjadi anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu. Setiap kali melihat buku bergambar, ia akan menunjuk dengan ekspresi penuh semangat, membuat semua orang di rumah tersenyum.Sebastian baru saja turun dari lantai atas, mengenakan kemeja putih yang sudah sedikit kusut. Di wajahnya tergambar lelah, tetapi matanya tetap menyiratkan semangat.“Pagi, Sayang,” ucap Clara lembut saat Sebastian mencium keningnya.“Pagi,” jawab Sebastian, lalu berjongkok di sisi Kaisar. “Dan pagi juga untuk pangeran kecil ayah. Sudah makan?”Kaisar hanya tertawa dan mengoceh dalam bahasanya sendiri, sementara tangannya menunjuk ke arah sendok yang dipegang Clara.Sebastian tertawa kecil. “Lihat dia. Sudah mulai pintar memerintah.”Clara mengangguk. “Dia tiru d