Tania menatap pantulan dirinya di cermin. Sebuah dress putih dengan pita di bagian pinggang melekat di tubuhnya. Wanita itu tersenyum. Kemudian melangkahkan kakinya keluar mansion.
Tania berdiri di teras mansion. Merentangkan tangan sembari menarik napas dalam. Biasanya hanya bau alkohol yang dihirup olehnya. Sekarang ia bisa merasakan udara segar.
Melihat seorang wanita berseragam hitam putih sedang menyiram tanaman di samping rumah, Tania menghampirinya. Kakinya menuruni undakan teras.
"Biarkan aku membantumu," ucap Tania sambil mengulurkan tangannya. Meminta selang yang digunakan untuk menyiram tanaman.
Pelayan itu cukup terkejut dengan kehadiran Tania. "Tidak perlu, Nona. Ini pekerjaan saya. Nona kembali masuk saja ke dalam."
"Tidak apa-apa. Biarkan aku membantu." Tania mengambil selang dari tangan pelayan itu dan menggantikannya untuk menyirami tanaman.
Tania terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini. Bangun sangat pagi untuk membersihkan club. Memasak dan juga mencuci pakaian milik Mami. Terkadang, wanita penghibur di sana juga menitip bajunya untuk dicuci oleh Tania.
"Nona, biar saya saja–"
"Jangan memanggilku seperti itu. Panggil saja Tania," sela Tania. Ia merasa tidak nyaman dipanggil seperti itu. Mungkin sama seperti mereka, Tania hanya pekerja di sini. Mereka memiliki tugas untuk mengurus pekerjaan rumah tangga. Sedangkan, Tania memiliki tugas untuk melahirkan seorang anak. Mereka sama. Hanya tugasnya saja yang berbeda. Jadi tidak perlu diperlakukan secara khusus.
"Tapi, Nona–"
"Aku bisa melakukannya."
Pelayan itu akhirnya mengangguk patuh. Dia berdiri sembari mengawasi Tania menyiram bunga-bunga. Sebenarnya dia penasaran siapa wanita itu, ingin bertanya, tapi tidak disuarakannya. Karena tugasnya hanya untuk memantau Tania. Itu perintah dari majikannya.
Tania meletakkan selangnya setelah mematikannya. Ia berjongkok, memperbaiki tanaman bunga mawar yang posisinya miring. Hampir tercabut dari potnya.
"Nona, itu kotor. Biar saya saja yang melakukannya."
Tania memajukan bibirnya. Ingin memprotes karena ia kembali dipanggil seperti itu, sebelum suara seperti helikopter terdengar sangat jelas.
Tania mendongak ke atas. Mencari-cari asal suara tersebut. Dan ia melihat sebuah helikopter perlahan mendarat di halaman.
"Aku ke sana sebentar." Tania belum mencuci tangannya yang dipenuhi tanah ketika ia berlari kecil ke halaman depan. Matanya melebar melihat helicopter itu. Bagaimana bisa ada helicopter mendarat di sini? Dan ia baru menyadari ketika tulisan Artadewa terpampang di badan helicopter. Apa ini milik Xander?
Orang yang dipikirkan Tania muncul tidak lama setelahnya bersama dengan Sera.
"Tuan, ini pesawat milikmu?" Tania langsung bertanya dengan wajah cengonya untuk menjawab rasa penasarannya.
"Kau habis melakukan apa?" Sera bertanya. Mewakili pertanyaan yang ingin ditanyakan juga oleh Xander saat melihat tangan dan pakaian Tania yang dikotori tanah.
"Apakah boleh orang seperti kita membeli pesawat?" Tania masih dengan rasa penasarannya itu. Ia sampai mengabaikan pertanyaan Sera.
Tania berpikir jika pesawat tidak untuk diperjualbelikan. Apakah bisa? Berapa harganya kira-kira? Dan seberapa kaya Xander hingga bisa membeli sebuah pesawat?
"Orang seperti kita apa maksudmu?" Kening Xander berkerut tidak suka. "Orang sepertimu mungkin tidak akan bisa membelinya. Berbeda denganku."
Tania mencibir dalam hati. Lelaki ini kembali menunjukkan kesombongannya.
"Aku berangkat." Tidak berniat menunggu balasan dari Tania, Xander mencium kening Sera, kemudian berjalan ke helikopter.
Sera melambaikan tangannya ketika helikopter itu mulai mengangkasa. Kemudian menatap pada Tania. "Cuci tangan dan ganti bajumu. Setelah itu kita ke rumah sakit."
Sera ingin memeriksakan kesehatan Tania. Ia ingin perempuan yang mengandung anaknya dalam kondisi yang memang benar-benar sehat.
*****
Tania membuka pintu kamarnya. Celingak-celinguk seperti mencari keberadaan seseorang. Tapi terlihat sepi.
Tania dan Sera baru pulang dari rumah sakit. Melakukan berbagai macam pemeriksaan yang tidak ada habisnya. Ia bahkan tidak tahu pemeriksaan itu untuk apa saja. Sekarang ia merasa lapar. Tapi tidak berani mengambil makanan seenaknya, karena ini bukan rumahnya.
Tania menuruni tangga. Berjalan mengendap-endap seperti seorang maling. Wanita itu masuk ke dalam dapur dan berhenti di depan kulkas. Membukanya, dan ekspresinya langsung berbinar melihat banyaknya cokelat dan cemilan yang ada di dalamnya. Tania mengambil beberapa dan memeluknya di tangan.
"Tania."
Makanan di tangan Tania langsung berjatuhan. Wanita itu memutar tubuhnya terkejut. Melihat Sera berdiri di hadapannya.
"Aku merasa lapar. Maaf karena tidak meminta izin terlebih dahulu," ucap Tania. Berjongkok untuk mengambili cokelat dan snack yang berjatuhan. Ingin mengembalikannya ke dalam kulkas ketika Sera menghentikannya.
"Kenapa harus meminta izin?" ujar Sera. Wanita ini ternyata sangat lugu. "Anggap ini rumahmu sendiri. Makan apa yang ingin kau makan sepuasmu."
Tania tersenyum canggung. Ia mengambil makanan itu lagi. Menutup kulkasnya, kemudian pamit untuk ke kamarnya.
"Tania."
"Iya?" Tania menoleh saat Sera kembali memanggil.
"Xander akan pulang sekitar pukul sepuluh. Dia akan ke kamarmu nanti. Jadi tunggulah dia," kata Sera penuh arti.
Tania mengedip lambat. Mencoba memahami perkataan Sera. Wanita itu kemudian terdiam. Tidak tahu harus membalas bagaimana.
*****
Xander terbang kembali ke Manhattan setelah mengurus pembangunan resort yang ada di Venice. Helicopter Sikorsky S-76 C itu mendarat di helipad yang tersedia di halaman pada pukul sepuluh kurang lima menit.
Xander langsung menuju kamarnya dan Sera sebagai tempat pertama yang didatanginya. Ia membuka pintu kamarnya. Melihat Sera yang berbaring di ranjang dengan posisi memunggungi pintu.
Xander masuk ke dalam sembari menarik dasi yang melingkar di lehernya. Lalu melepas jas dan melemparkannya asal ke sofa. Sebelum kemudian naik ke ranjang. Langsung memeluk Sera dari belakang. "Apa kau sudah tidur?" bisiknya.
Xander yakin Sera belum tidur. Karena biasanya istrinya selalu menunggunya pulang berkerja.
Sera yang memang belum tidur membalik tubuhnya hingga berhadapan dengan Xander. "Kenapa kau kemari?"
Hidung Xander berkerut. "Kenapa aku kemari? Ini kamarku."
"Pergilah ke kamar Tania. Dia sudah menunggumu."
Xander berdecak malas. Sera seharusnya menanyakan bagaimana pekerjaannya. Memeluknya erat untuk menghilangkan rasa lelahnya sepulang ia bekerja. Sepeti yang biasa dia lakukan. Bukan malah mengatakan kalimat seperti itu.
Xander menarik Sera semakin merapat padanya. Dan menenggelamkan kepalanya di ceruk leher istrinya.
"Xander."
Xander tetap dalam posisinya. Tidak bergerak sama sekali.
"Xander, pergilah," paksa Sera. Ia mendorong Xander hingga pelukan di tubuhnya terlepas.
Xander menatap Sera. Berdecak. Ia bangun dan langsung keluar dari kamar. Wajahnya terlihat kesal.
Sera menghela napas berat. Menatap pintu di mana Xander sudah menghilang.
*****
Setelah keluar dari kamarnya, Xander seharusnya masuk ke kamar yang ada di sebelahnya. Kamar yang ditiduri Tania. Tapi lelaki itu malah turun ke lantai bawah. Masuk ke ruangan yang merupakan ruang kerjanya.
Xander memakai kaca mata bacanya. Membuka laptop dan berkutat dengan isi yang ada di dalamnya.
Tidak tahu berapa lama lelaki itu di sana. Rap pasti sudah sangat lama, sampai membuat orang yang menunggu kedatangannya merasa lelah.
Tania melirik jam dinding yang jarum pendeknya sudah bergerak ke angka dua belas. Mata wanita itu terlihat sayu. Sudah sangat mengantuk.
Ada harapan jika Xander tidak akan kemari malam ini. Meski Tania sudah setuju, tapi sebenarnya ia belum siap melakukannya. Bahkan mungkin tidak akan pernah siap.
Perasaan Tania campur aduk. Sesak, sedih, takut. Semuanya saat memikirkan apa yang akan terjadi begitu Xander masuk ke kamarnya.
Mata Tania berkedip-kedip, sebelum perlahan menutup. Wanita itu tertidur.
Sera menghela napas setelah masuk ke ruang kerja Xander. Ia melihat suaminya itu tidur di kursi dengan laptop di meja yang masih menyala.Sebelumnya Sera ke kamar Tania dan tidak mendapati Xander di sana. Ternyata suaminya ada di sini.Sera mendekat. Mengusap rambut Xander yang perlahan membuat lelaki itu membuka matanya. "Kenapa kau tidur di sini?" Sera menyisir rambut Xander dengan jemarinya. Merapikannya. "Cepatlah mandi. Kau ada meeting jam tujuh bukan?"Xander menatap wajah Sera. Mengusap pipinya sejenak, lalu bangkit dari kursi untuk kembali ke kamarnya. Bersiap-siap untuk ke kantor.Sera ikut pergi ke kamar saat pintu kamar yang ditempati Tania terbuka. Melihat Sera, wanita itu langsung menghampirinya."Aku sudah menunggu Tuan Xander tadi malam. Tapi dia tidak datang-datang. Jadi aku ketiduran. Maaf," ucap Tania dengan kepala menunduk. Wanita itu memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum Sera marah, karena ia yang tidak menjalankan tugasnya. Meski sebenarnya ada rasa lega,
Sera melepaskan mantel berbulunya yang langsung diambil alih oleh pelayan yang berjaga di depan pintu. Masuk ke dalam sembari menggosok telapak tangannya. Cuaca sedang sangat dingin sekarang.Sera berhenti ketika melihat Xander berjalan menuruni tangga. "Kau sudah pulang?" Xander berjalan menghampiri istrinya. Berdiri tepat di depannya. Tangannya terulur mengusap pipi Sera dengan tatapan penuh arti.Sera tersenyum. Tapi matanya tidak bisa berbohong ada kesedihan di sana. Ia tidak rela membagi suaminya dengan wanita lain. Tapi demi seorang anak, ia harus melakukannya. Sera langsung memeluk Xander. Sangat erat. Xander balas memeluknya tak kalah erat. Tangannya mengusap rambut belakang Sera."Bagaimana harimu tanpaku?" tanya Sera dengan alis terangkat setelah pelukan mereka terlepas."Aku rasanya sudah ingin menjemputmu tadi malam. Baru tanpamu sebentar saja aku sudah sangat merindukanmu."Sera terkekeh geli. Suaminya ini pintar sekali bermanis lidah. Tawanya perlahan terhenti saat mel
Tania langsung melepaskan diri ketika pria yang berusaha melecehkannya menjadi tidak fokus karena kedatangan seseorang. Xander. Tania berlari menghampiri lelaki itu dan bersembunyi di belakang tubuhnya."Tolong aku...," ucap Tania lirih. Wanita itu mencengkeram ujung jas Xander. Tampak sangat ketakutan. Tubuhnya bahkan bergetar dengan wajah yang dipenuhi air mata.Xander meliriknya sesaat. Tatapannya menjadi datar.. Memandang pria di depannya. "Apa seperti ini cara seseorang dari kalangan terhormat bersikap pada perempuan?" Pria itu menggeleng. Tampak takut, tapi disembunyikan. "Anda salah paham, Mr. Artadewa. Perempuan itu menggodaku lebih dulu padahal aku sudah berusaha menolaknya, karena tahu dia sudah menjadi milikmu," ucapnya berusaha membela diri.Xander tidak merespon. Ia masih menatap datar pria itu. "Dia adalah seorang pelacur. Dan Anda tahu bukan bagaimana sifat mereka?" Pria itu kembali bersuara. Berusaha meyakinkan Xander bahwa bukan dirinya yang bersalah. "Mereka senang
"Tania sudah ketemu?""Belum, Nyonya. Kami sudah mencari di seluruh mansion, tapi tidak menemukan Nona Tania."Sera menghela napas kasar. Bingung mencari Tania yang tidak ditemukan juga. Saat ia pergi ke kamarnya, wanita itu tidak ada di sana. Sera bahkan menyuruh para pelayan untuk ikut mencari. Tapi Tania tidak terlihat sama sekali."Xander...." Sera menatap Xander dengan tatapan khawatir. Sekaligus kecewa jika Tania benar-benar pergi, karena ia sudah berharap Tania akan memberikan seorang anak untuknya. Apakah karena kejadian di pesta itu Tania memutuskan pergi? Lebih parahnya, pergi yang selama-lamanya. Tania sebelumnya berkata tidak ingin kehidupan yang seperti sekarang. Bagaimana jika wanita itu berbuat hal nekat? Karena Sera melihat ada bekas berwarna merah seperti darah di kamar Tania."Bagaimana jika Tania benar-benar pergi?" "Dia tidak mungkin pergi. Pasti masih ada di sekitar sini," balas Xander. Wanita itu tidak mungkin bisa keluar dari rumahnya, karena ada penjaga yang
Tania mendorong dada Xander. Menarik kepalanya kuat hingga rambutnya yang tersangkut di kancing baju lelaki itu terputus. Terasa sakit. Tapi ia hiraukan.Tania tersenyum canggung pada Sera sebelum kemudian melangkah cepat keluar dari dapur. Baru beberapa langkah, wanita itu kembali. Mengambil buah mangganya di meja pantry. Kemudian berlari keluar. Wanuta itu terlihat seperti orang yang tengah ketahuan melakukan sesuatu yang tidak-tidak dengan suami orang. Tania merutuk dirinya sendiri. Berharap semoga saja Sera tidak salah paham.Sera memandang Tania yang menghilang di balik pintu dapur sebelum mengalihkan tatapannya pada Xander. Menatapnya dengan mata memicing."Apa?" tanya Xander santai."Apa yang kau lakukan dengan Tania tadi?" selidik Sera. Ia melihat posisi mereka yang patut dicurigai. "Tidak ada," jawab Xander. Tidak merasa terintimidasi dengan tatapan Sera yang penuh selidik. "Rambutnya menyangkut di kancing bajuku. Dan aku hanya berusaha melepaskannya," terangnya.Mendengar
"Molly, jangan lari!" Tania berlari mengejar anjingnya yang berlari ke arah pintu utama. Entah kenapa anjing itu suka sekali kabur. Tania baru meletakkannya untuk diberikan makan, tapi dia malah berlari pergi.Tania berlari cepat melewati pintu, dan di saat itu juga ia menabrak seseorang, karena tiba-tiba muncul di balik pintu."Apa kau tidak memiliki mata?!" Seorang wanita paruh baya yang tidak sengaja ditabrak Tania berseru. Terkejut. Dia hampir saja jatuh jika tidak berpegang pada pintu.Tania menunduk takut. Kedua tangannya tertaut. "Maaf, saya tidak sengaja," ucapnya pelan dengan nada rasa bersalah.Wanita yang masih tampak modis di usianya yang tidak lagi muda itu mendengus kasar. Bibirnya terbuka, ingin memarahi Tania sebelum suara Sera terdengar."Mami?" Sera menghampiri wanita yang ternyata adalah ibunya itu. "Mami di sini?"Alina–ibu Sera masih sempat menatap kesal pada Tania sebelum melihat sepenuhnya pada putrinya. Ia mengangguk."Papi tidak ikut?" "Tidak. Dia ada meeting
"Kau sedang apa?" Tania berjalan menghampiri Sera yang sedang sibuk di dapur. Berdiri di samping wanita itu. Melihat apa yang sedang dilakukannya."Membuat kue kesukaan Xander," jawab Sera sambil memasukkan tepung ke dalam wadah."Boleh aku membantu?" tanya Tania. Ia bosan karena tidak melakukan apa-apa. Hanya mengitari mansion sejak tadi untuk menciptakan kesibukan. Lalu berhenti di sini karena melihat Sera."Tentu," jawab Sera. "Itu, pecahkan telurnya ke dalam wadah," pintanya. Menunjuk beberapa telur di meja dengan dagunya.Tania mengangguk. Ia mengambil satu telur, bersiap memecahkannya dengan sendok ketika Xander masuk ke dalam dapur. Lelaki itu memanggil Sera, tetapi Tania ikut menoleh."Pakaian dasiku." Xander mengulurkan dasinya pada Sera."Kau mau ke mana?" Sera bertanya karena Xander yang saat ia tinggal ke dapur tadi masih memakai pakaian santainya. Sedangkan sekarang sudah rapi dengan kemeja dan celana bahannya."Ke kantor.""Bukannya kau tidak ke kantor hari ini?""Ada ra
"Selamat, Anda hamil."Dan kabar yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang. Di sini jelas Sera yang merasa paling senang, karena akan memiliki seorang anak, meski bukan ia yang mengandung dan melahirkan. Xander juga ikut senang karena istrinya merasa senang.Sedangkan Tania, wanita itu termenung. Entah harus merasa senang atau tidak. Ia mengandung anak dari seorang lelaki yang bukan merupakan suaminya. Ia harus hamil di saat dirinya sendiri belum menikah. Haruskah Tania senang?Ya, Tania harus senang. Karena setidaknya ia akan bebas tidak lama lagi. Hanya sembilan bulan lagi. Setelah itu hidupnya akan menjadi miliknya sendiri. Tania hanya perlu memberikan bayinya, lalu pergi ke manapun yang ia inginkan.Tania mengusap perutnya. Tersenyum. "Istirahatlah. Aku dan Xander akan keluar," ucap Sera setelah dokter yang memeriksa Tania telah selesai dengan tugasnya. "Jika membutuhkan sesuatu, panggil saja aku. Mengerti?"Kepala Tania yang bersandar di kepala ranjang mengangguk.Xander dan Sera