"Ku–kumohon, jangan sentuh aku! Biarkan aku pergi dari sini!" teriak Elea.
Gadis itu mencoba mendorong Hugo yang sedang menciumi bibir dan lekuk lehernya. Namun sayang, pria tersebut malah semakin merapatkan tubuhnya pada Elea. Celah untuk kabur pun tampaknya hanyalah angan belaka.Aktivitas Elea yang tadinya tenang tanpa gangguan, sekarang malah berubah menjadi petaka. Hal tersebut dikarenakan ada seorang pria–yang tak lain adalah suami Elea sendiri–Damian Hugo d'Cornelius masuk ke kamarnya. Parahnya lagi, pria itu masuk dalam keadaan mabuk."Chloe...," racau Hugo tak jelas.Mendengar sang suami menyebut nama istri pertamanya, mata Elea pun langsung membelalak. Kemudian, dia mulai memukuli bahu pria itu. "Tidak, tidak! Aku bukan Chloe! Aku Elea, orang yang kau benci!" sergah Elea.Sayangnya, Hugo malah menulikan telinganya. Tangan besarnya pun terangkat dan mengelus pelan setiap inci wajah Elea. Rasa geli sekaligus takut langsung menggerayangi tubuh gadis itu.Namun, Elea segera membuang pikiran yang baru saja melintas. Dia juga menepis tangan Hugo yang bertengger di wajahnya. "Lepaskan aku, Berengsek!" sembur Elea tiba-tiba.Kungkungan Hugo mulai mengendur. Elea pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dia langsung mendorong tubuh suaminya ke samping dan hendak berlari kabur.Namun sayang, sebelum kakinya berhasil menapak lantai, tangan Elea langsung dicekal kuat oleh Hugo. Pria itu kembali mengurung tubuh sang istri ke dalam dekapannya dengan kuat. Sampai-sampai, tubuh Elea tidak dapat bergerak ke mana pun.Tatapan Hugo yang semula sayu, kini berubah menggelap. Pikirannya juga bertambah kacau. Tanpa aba-aba, dia pun menempelkan bibirnya ke atas bibir Elea.Gadis itu mulai memberontak lagi. Namun, semakin dia memberontak, Hugo juga semakin erat dalam mendekapnya. Akhirnya, pasrah pun menjadi pilihan satu-satunya saat ini.Setelah beberapa saat, akhirnya ciuman panjang dari Hugo pun terlepas. Elea langsung meraup oksigen sebanyak-banyaknya dan mengatur pernapasannya. Dia mengira bahwa hal ini sudah berakhir. Sayangnya, Hugo malah melakukan hal sebaliknya dan mulai menjamahi tubuh istrinya satu per satu."Jangan lakukan itu...," lirih Elea pelan. Ucapannya itu seakan tidak terdengar di telinga Hugo. Pria itu semakin gencar dalam melakukan aksi tak terpujinya.Malam ini adalah malam yang kelam bagi Elea. Kesucian yang dijaganya selama 19 tahun itu juga sudah rusak. Raga, jiwa, serta hatinya merasakan sakit yang teramat. Sungguh, Elea membenci orang yang sudah membuatnya merasakan semua ini.***"Argh, sial!"Hugo mengumpat saat merasakan sakit kepala yang begitu hebat. Lantas, tatapan pria itu menjadi bingung karena melihat keadaan sekitar. Ini bukanlah kamarnya dengan Chloe.Pria itu refleks menyingkap selimut yang membalut tubuhnya. Dia terkejut karena tak menggunakan sehelai benang pun saat ini. Ditambah lagi, ada noda darah segar di atas seprai.Rasa kalutnya itu bertambah besar saat mendengar ada suara gemericik air di dalam kamar mandi. Dengan segera, Hugo pun berlari ke arah tempat itu dan membuka pintunya dengan paksa. Dia bahkan lupa memakai celananya dan memilih menggunakan selimut saja.Hal pertama yang dilihatnya saat sampai di kamar mandi adalah seorang wanita yang meringkuk di bawah shower tanpa mengenakan apa pun. Hugo langsung berjalan cepat ke arahnya dan mematikan benda tersebut. Akhirnya, airnya pun berhenti turun.Terlihat wajah Elea yang sangat pucat. Wanita itu pingsan dan membuat perasaan aneh masuk ke dalam hati Hugo. Namun, pria itu segera menepis hal tersebut. Egonya masih terlalu tinggi untuk menerimanya.Kemudian, Hugo pun menggendong tubuh sang istri ala bridal style dan membawanya kembali ke ranjang. Pria itu lalu memakaikannya baju dan menggosok telapak tangan Elea agar suhu tubuhnya kembali menghangat. Untung saja cara tersebut berhasil, hingga membuat kesadaran Elea kembali.Setelah netra amber sang istri terbuka, tatapan lembut Hugo berubah menjadi dingin. "Aku tidak sadar karena mabuk kemarin. Aku pikir, aku sudah masuk ke kamarku dan Chloe," terangnya tiba-tiba.Elea ingin sekali meneriakki pria yang ada di hadapannya dan memakinya. Namun, rasa lelah di dalam hatinya membuatnya memilih untuk bungkam. Dia tahu bahwa Hugo tak mungkin mau melakukan itu secara sadar dengannya.Beberapa saat kemudian, seorang pelayan wanita masuk ke dalam kamar Elea. Pelayan tersebut membawa sebuah wadah kotak dan memberikannya pada Hugo. Setelah itu, dia pun pergi dan meninggalkan mereka berdua kembali.Sepeninggal pelayan tadi, Hugo langsung memberikan kotak yang dipegangnya ke hadapan Elea. Wanita itu seketika mengernyitkan dahinya. "Apa ini?" tanyanya pelan.Hugo menghela napasnya kasar. Kemudian, dia melipat tangannya ke depan dada sambil berkata, "Kotak itu berisi pil kontrasepsi untuk kau minum. Aku tidak mau benihku sampai tertanam di rahimmu. Hanya Chloe saja yang bisa, meski rasanya sangat mustahil."Hati Elea langsung berdenyut sakit saat mendengar penuturan tersebut. Dia tahu bahwa hati Hugo sudah terisi dengan sosok Chloe Barbara d'Cornelius–istri pertamanya.Eleanor Spencer hanyalah seorang istri kedua yang tak teranggap. Dia dijadikan bahan pelunas hutang oleh ayahnya sendiri karena kalah judi. Kehidupannya pun bertambah hancur saat dirinya terpaksa menikahi seseorang yang tak dicintainya.Alasan keluarga Cornelius menikahkan Hugo dan Elea adalah untuk mendapatkan penerus. Kebetulan, Chloe dinyatakan tidak bisa mengandung. Hal tersebut tidak dapat diterima oleh keluarga bangsawan sekaligus pemegang perekonomian negara tersebut.Pernikahan paksa yang dilakukan oleh Elea dan Hugo menimbulkan banyak luka di beberapa pihak, khususnya Chloe. Wanita itu jadi sangat membenci sosok Elea. Dia bahkan melakukan beberapa fitnah dan bualan untuk menjatuhkan istri kedua suaminya. Akhirnya, drama yang diciptakannya itu membuat Elea berhasil di benci oleh semua orang.Elea berpikir tidak ada siapa pun yang dapat memercayainya di sini, bahkan suaminya sendiri. Tenaga dan perasaannya juga sudah lelah dalam menghadapi kenyataan yang ada. Alhasil, seluruh perkataan yang dilontarkan padanya, tidak dia jawab.Kebungkaman Elea itu tampaknya mengusik hati seorang Hugo. Tanpa sadar, pria itu mengepalkan tangannya. Dia sangat tidak suka jika perkataannya diabaikan."Dan satu lagi. Jangan sampai Chloe tahu mengenai kejadian kemarin malam," desis Hugo. Matanya menyorot dingin menatap si istri kedua, membuat dada Elea makin terasa sesak, belum lagi karena ucapan Hugo. "Jika dia sampai dengar tentang kejadian semalam, kupastikan kau yang akan membayar, Elea."Tiga minggu pun telah berlalu sejak kejadian kelam itu terjadi. Banyak sekali perubahan yang signifikan. Tubuh Elea sudah tidak sekuat sebelumnya. Akhir-akhir ini, wajahnya sangat pucat dan juga mudah lelah. Hal tersebut membuat rasa curiga dari Chloe sangatlah besar.Pagi ini, wanita itu berinisiatif untuk memeriksa keadaan Elea sambil membawa sebuah kantong plastik. Saat melangkah masuk ke kamar Elea, telinga Chloe dapat mendengar jelas suara orang muntah-muntah di kamar mandi. Dengan cepat, dia pun berjalan ke arah sana dan membuka pintunya paksa.Saat pintu kamar mandi sudah terbuka lebar, netra cokelat Chloe melempar tatapan tajam ke arah Elea yang terduduk di lantai. Tangannya pun mengepal kuat ketika melihat keadaan wanita itu. "Jangan coba-coba untuk bersandiwara di depanku dengan berpura-pura sakit! Asalkan kau tahu, tidak akan ada yang bersimpati denganmu di sini. Wanita kotor sepertimu seharusnya tidak pantas berada di tempat ini!" cerca Chloe seraya melempar kantong plast
Sebuah mobil Rolls Royce memasuki pekarangan mansion Hugo. Ternyata itu adalah mobil George dan Melda–orang tua Hugo. Mereka datang berkunjung karena ada urusan yang cukup penting.Setelah memarkirkan mobil, George dan Melda berjalan masuk ke dalam mansion. Namun, perjalanan mereka berhenti di ruang tengah. Di sana, sudah terlihat Hugo duduk di sofa bersama Chloe."Ada urusan apa kau memanggil kami berdua ke sini, Nak? Dan di mana Elea?" tanya Melda beruntun. Pertanyaannya barusan membuat wajah Hugo dan Chloe mendadak muram."Cepat panggilkan Elea!" perintah Chloe pada seorang pelayan. Sesaat setelah itu, tidak ada yang membuka pembicaraan lagi. Sampai akhirnya, pelayan yang diutus oleh Chloe tadi kembali.Wajah pelayan itu terlihat sangat pucat. "Nona Elea tidak ada di kamarnya, Nyonya. Saya sudah mencari ke seluruh ruangan, tapi saya tidak menemukan apa pun," ujarnya sambil mengatur napas. Semua orang yang ada di ruang tengah pun langsung terlonjak. "Ke mana dia pergi? Oh, atau jan
Lima tahun kemudian...Tahun demi tahun telah terlewati. Namun, pencarian Hugo tidak membuahkan hasil. Selama itu pula, dia hanya menjadi orang yang gila kerja sampai membesarkan perusahaannya berkali-kali lipat. Akan tetapi, semua itu masih terasa hambar baginya.Hugo memang terkenal sekeras batu. Namun, semua orang tidaklah tahu bahwa hati kecilnya masih mengharapkan seseorang yang telah dia sakiti secara fisik maupun batin. Selama ini, dia hanya hidup berdampingan dengan lembah penyesalan."Tuan, 10 menit lagi kita akan sampai di perusahaan Glory Company," ucap Jay yang berhasil menarik kesadaran Hugo. Saat ini, mereka berdua berada di London dan sedang melakukan perjalanan ke perusahaan kliennya.Hugo pun hanya mengangguk kecil, lalu membuang pandangannya ke arah jendela. Netra hitam legamnya meneliti pemandangan sekitar. Tidak ada yang menarik menurutnya, hingga pandangannya menangkap segerombolan anak kecil di depan gapura sebuah sekolah. Mereka terlihat riuh sekali. Tak sedikit
Perkataan dari Angel kemarin begitu membekas di benak Elea. Dia bahkan kurang tidur karena memikirkan hal tersebut semalaman. Alhasil, dia terlambat bangun pagi ini. Untung saja, sang putri segera membangunkannya."Nanti pulang sekolah, kalian dijemput oleh nenek, ya. Mommy sedang ada pekerjaan penting di kantor," ujar Elea saat sudah berada di dalam mobil.Angel dan Axel pun langsung mengangguk kecil sebagai tanda jawaban. Tidak ada satu pun yang membuka suaranya kembali selama di perjalanan. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hal tersebut berlangsung hingga mobil sampai di depan gerbang sekolah."Baik, selamat belajar, Anak-anak! Jangan nakal dan menurut pada guru, ya," pesan Elea pada Axel dan Angel yang hendak membuka pintu mobil."Dan satu lagi... Mommy harap pulang sekolah nanti tidak ada luka atau memar baru di tubuh Axel ataupun Angel. Maafkan Mommy, ya karena belum bisa memberi keadilan untuk kalian. Tapi tenang saja, Mommy akan berusaha mengurus semuanya dan memind
"Arggh, silau! Tutup tirai jendelanya...," rengek Hugo yang masih memejamkan matanya.Sementara Jay, langsung menatap malas ke arah pimpinannya yang seperti anak kecil itu. Sejujurnya, dia agak jengah menghadapi pria itu. Seenaknya sendiri, otoriter, dan juga keras kepala.Tadi pagi, Hugo bahkan melewatkan meeting penting bersama klien. Alhasil, dia pun kena peringatan dari Helton. Untung saja, pria itu mau memberinya kesempatan dengan meeting ulang di restoran malam ini."Tuan, lebih baik Anda segera bangun sekarang. Anda terkena peringatan dari Tuan Helton dan juga klien kita yang satunya lagi. Anda tidak mau merugi dalam kerja sama ini, kan?" ancam Jay.Perkataan dari pria itu barusan tampaknya berhasil memengaruhi Hugo. Buktinya, dia pun langsung terbangun sambil memegangi kepalanya. Netra hitamnya lantas menatap ke arah sang asisten dengan tajam."Sialan, kenapa kau tidak membangunkanku?!" umpat Hugo.Jay segera menarik napas dalam. "Saya sudah mencoba membangunkan Anda beberapa k
“Axel…Angel!”Miranda berteriak sembari melambaikan tangan pada kedua anak Elea. Si kembar pun menoleh dan membalas lambaian tersebut dengan senyuman.“Nenek!” balas Angel. Lalu, gadis cilik itu berlari kecil ke arah bibi Elea. Berbeda dengan Angel, Axel malah diam saja dan hanya berjalan santai dengan raut wajah datar. Namun, Miranda tidak merasa kaget ketika putra Elea berbuat seperti itu. Dirinya berpikir bahwa anak tersebut memiliki pikiran yang lebih dewasa dan realistis dibandingkan saudarinya.“Baiklah semuanya, ayo kita naik ke mobil. Hari ini, Nenek akan mengajak kalian makan siang di luar,” ajak Miranda dan dibalas sorakan oleh Angel seorang.Mereka bertiga pun segera naik ke mobil dan benda tersebut melaju menembus jalanan kota London yang terlihat senggang siang ini. Selama di perjalanan, keadaan mobil tidak hening sama sekali. Ada sesosok malaikat cantik yang bernyanyi dengan riangnya sambil melihat ke arah jendela.Beberapa detik kemudian, nyanyiannya itu malah berubah
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 19:30 tepat. Rombongan Elea pun sudah tiba di tempat tujuan, yaitu Glorious Restaurant milik keluarga McKenzie. Malam ini, wanita itu memakai gaun panjang tanpa lengan berwarna navy yang membentuk lekuk tubuhnya. Sementara itu, Teresa memakai gaun panjang berwarna hitam. “Wah, lebih cepat dari perkiraanku. Selamat datang di restoranku, Nyonya Spencer dan Nona Tere,” sambut Helton di pintu masuk ruangan VIP. Kebetulan pria itu juga baru datang. “Terima kasih atas sambutanmu, Tuan McKenzie. Aku sangat menghargai waktu. Lebih baik datang cepat daripada terlambat,” jawab Elea seraya tersenyum kecil. Helton pun membalas senyuman tersebut. Mata hazelnya sedari tadi tak berhenti menatap wanita yang ada di depannya kini. Sungguh, Elea malam ini sangatlah cantik dan memesona. Aura elegannya sangat terasa sekali. “Baiklah, mari masuk, Nona-nona!” ajak Helton, lalu membukakan pintu untuk Elea dan Tere. Setelah pintu terbuka, mata amber milik Elea langsung t
“Calm down, Dude. Aku pikir tidak baik jika membahas hal tersebut sekarang. Benar kan, Nyonya Spencer?” Helton mencoba untuk mengalihkan topik. Dia takut bahwa Elea akan tersinggung karena pertanyaan barusan. Selama dia mengenal wanita itu, dirinya tidak pernah tahu soal suaminya. Bahkan, banyak kabar bilang bahwa Elea tidak punya suami. Sementara itu, napas Elea mulai terasa sesak. Entah kenapa dunia ini sempit sekali. Dia tidak ingin seorang pun tahu soal kehidupan anaknya, khususnya Hugo. Wanita itu takut jika pria tersebut akan bertindak nekat setelah ini. “Ah, iya. Apakah aku boleh izin ke kamar mandi sebentar?” tanya Elea tiba-tiba untuk menghindari perdebatan yang akan terjadi. “Tentu saja. Silahkan,” balas Helton. Setelah mengatakan itu, Elea pun langsung pergi ke luar menuju toilet yang berada di ujung lorong. Dia mengunci dirinya di dalam toilet untuk meredakan perasaannya. Takut, sedih, marah, dan kenangan masa lalu bercampur aduk menjadi satu. “Bagaimana ini? Kenapa