Mulut Jay langsung ternganga saat mendengar penuturan dari Hugo. Dia tidak mengerti kenapa pria itu sangat gegabah sekali. Bagaimana kalau kedoknya ketahuan dan berakhir di kepolisian? Bisa gawat!“Apa yang kau lakukan sebenarnya?” tanya Jay yang sudah merasa jengah. Hugo refleks melipat tangannya di depan dada. Lalu, matanya melirik ke arah sang asisten. “Ah, aku hanya ingin tahu rupa anak-anak sialan dari Elea. Siapa tahu juga, kita dapat bonus untuk mengetahui siapa ayah dari mereka,” ungkapnya. Mendengar itu, Jay lantas menepuk keningnya seraya berkata, “Kalau misal anak-anak itu tidak ada ayahnya, mereka sudah bisa dipastikan adalah anakmu.”Sayangnya, Hugo malah tertawa sumbang saat mendengar penuturan dari Jay. Egonya tidak percaya dengan hal tersebut. Namun, hati kecilnya malah berkata sebaliknya. “Kau gila? Elea bilang anakku itu sudah mati! Mereka pasti bukan anakku!” sergah Hugo. “Ck, jangan berkata yang tidak-tidak. Kita harus memastikannya terlebih dahulu untuk mengam
“Ah, maafkan aku, Cantik. Paman tidak tahu soal hal itu. Ngomong-ngomong, namamu siapa?”Sang pria misterius mencoba mengalihkan pembicaraan. Dia merasa tidak enak karena sudah membuat suasana hati Angel buruk. Namun ajaibnya, gadis cilik itu masih bisa tersenyum dengan manisnya. “Tidak masalah, Paman. Namaku Angel. Lalu, Paman namanya siapa?” tanya Angel sambil mengusap pelan air matanya yang hendak turun. Pria yang ditanyai itu tersenyum kecil. Lalu, matanya menatap Angel dengan lekat, “Namaku Jay.”Mulut mungil Angel ber-oh ria. “Apa nama lengkap Paman adalah Jayden?” tanyanya lagi. Jay pun terkekeh geli seraya menggelengkan kepalanya. “Tidak, mengapa kau bisa menduga seperti itu?” balasnya. “Karena di kelasku ada anak yang bernama Jayden. Dia sering kali menggangguku dan mengolok-olokku,” ungkap Angel lirih. Mendengar itu, Jay hendak berinisiatif mengelus puncak kepala gadis itu dengan pelan. Namun, hal tersebut diurungkannya karena tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ya, siapa lag
“Halo?” Elea kembali bertanya pada sang penelepon. Tiga menit sudah berlalu cepat. Namun, orang yang menelepon Elea tak kunjung memberi jawaban. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba panggilan ditutup secara sepihak. Alis Elea langsung tertaut sempurna. Mata ambernya menatap ngeri ke arah layar ponsel. “Mommy, ada apa?” tanya Angel yang ikut kebingungan saat melihat raut wajah sang ibu. Namun, lagi-lagi Elea mencoba menyembunyikan segalanya. “A–ah, tidak apa-apa, Sayang. Hanya orang yang salah sambung. By the way, bagaimana kalau hari ini kita pergi ke toko Bibi Alissa saja? Dia bilang kalau sedang membuat kue muffin blueberry,” ajak Elea mengalihkan pembicaraan. Netra Angel seketika berbinar. Kemudian, gadis cilik itu melompat-lompat kegirangan sambil menarik tangan ibunya. “Ayo, Mom! Aku sudah tidak lama pergi ke toko kue Bibi Alissa. Nanti kita kehabisan muffinnya…” rengek Angel. Elea pun terkekeh geli. Lantas, wanita itu segera menyuruh kedua anaknya untuk segera bersiap-siap.
“Apa golongan darahnya?”Hugo menatap serius ke arah dokter yang ada di hadapannya. Sang dokter pun membenarkan kacamatanya sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari pria itu. “AB dengan rhesus negatif,” ungkap dokter. Setelah mengatakan itu, raut wajah Hugo berubah menjadi keterkejutan. “Ambil saja punyaku karena golongan darah kita sama,” jawab pria itu. Sang dokter pun mengangguk mantap dan dia segera menyuruh supir untuk menjalankan ambulansnya menuju rumah sakit. Selama di perjalanan, Hugo terus menatap Angel tanpa berkedip. Hatinya merasa ada yang janggal. Kebetulan, hanya ada mereka berdua di dalam ambulans. Axel dan Elea berada di mobil yang berbeda karena tidak terlalu mengalami luka serius. Axel mengalami retak tulang pada bagian tangan kanannya, sedangkan Elea hanya pingsan akibat pascatrauma kecelakaan. “Halo, Axton. Maaf, aku tidak bisa menghadiri rapat saat ini karena ada urusan yang mendadak. Sebagai gantinya, aku sudah menyuruh asistenku untuk pergi ke tempatmu. Di
“Hah, Daddy selalu saja berkilah. Aku sampai bosan mendengar alasanmu yang itu-itu saja.”Martin menyindir George dengan tatapan remeh. Pria itu sudah setengah kesal menghadapi ayahnya. Dia tahu, kalau George selalu membanggakan Hugo dibanding dirinya. “Bukan seperti itu, Son. Hanya saja…,” balas George, tapi menggantung ucapannya. “Hanya apa, Dad? Aku sudah lelah mengalah dengan Damian sialan itu! Sudah saatnya aku mendapatkan hakku sebagai putra di keluarga Cornelius ini!” bentak Martin tanpa sengaja. Mendengar hal itu, George mengusap wajahnya dengan kasar. “Dengarkan aku, Son. Ak–“ (ucapan pria itu terpotong karena kedatangan Melda secara tiba-tiba).“Kue jahenya sudah siap!” pekik Melda. Mata wanita itu kemudian meneliti dua orang pria yang saling berpandangan dengan intens, hingga membuatnya membuka suara kembali, “Hei, ada apa dengan kalian berdua?”George pun segera memutuskan pandangan dari sang putra, lalu tatapannya beralih pada istrinya. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Bena
“Anak siapa itu, Hugo?!”Hugo dan Angel refleks terlonjak karena mendengar suara George. Kemudian, pria itu pergi ke pojok ruangan dan menjelaskan mengenai apa yang terjadi. “Bisakah pelankan suaramu dulu, Dad? Ada orang sakit di sini,” sergah Hugo.“Aku tidak peduli dengan itu. Sekarang, jelaskan padaku semua apa yang telah terjadi sebenarnya!” tuntut George. Namun, Hugo malah bergeming. Mulutnya serasa memiliki lem yang menempel begitu eratnya. Dia tidak mungkin memberi tahu semuanya. Bisa-bisa, George dan Melda akan langsung datang kemari. Orang tua Hugo masih belum merelakan kepergian Elea. Mereka bahkan sering kali mengingat tingkah laku dari wanita tersebut. Apalagi, Elea digadang-gadang memiliki kemiripan dengan adik Melda yang telah lama meninggal. “Hugo, jawab pertanyaanku!” ucap George yang berhasil memecahkan lamunan sang putra. Hugo pun berdeham pelan. “Aku tidak bisa memberitahu apa pun untuk saat ini. Aku akan kembali besok seperti yang kau mau. Aku tutup dulu,” jaw
Tepat pukul 4 sore, Hugo memutuskan kembali ke hotel tempat dirinya menginap. Dia sengaja tidak menunggu Elea sampai terbangun karena dirinya tahu kalau wanita itu akan memberontak. Belum lagi, pascatrauma yang dialami Elea belum sembuh sempurna. Hugo tidak mau memperparah hal tersebut. “Selamat sore, Tuan. Maafkan saya karena tidak mampu untuk mendapat–“ (ucapan Jay terpotong karena seseorang menyerobotnya). “Ck, lupakan saja. Aku tidak mau membahasnya lagi. Toh, kerja sama itu tidak ada apa-apanya,” potong Hugo cepat. Kemudian, pria itu mulai melepas jas hitam yang membungkus tubuh kekarnya. Dengan sigap, Jay meraih jas tersebut dan hendak membawanya untuk dicuci. Namun sebelum dirinya beranjak, sebuah suara membuat pria itu refleks berhenti. “Besok, aku akan kembali ke Los Angeles … bersama Elea.”Mendengar itu, Jay sontak menoleh ke arah Hugo. Wajahnya menyiratkan kebingungan yang kentara. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul di otaknya. “Bagaimana bisa? Apa Anda su
“Aku akan mempertemukanmu dengannya nanti. Dia masih istirahat sekarang.” Mata Hugo masih mengawasi Axel dengan intensnya. Sementara itu, Axel yang ditatap seperti itu pun langsung menunduk seketika. Dia tiba-tiba menjadi takut sekali dengan Hugo. Padahal, terakhir kali dirinya bertemu, dia tidak merasakan hal ini. Menurutnya, aura yang ditunjukkan oleh pria itu sekarang sangatlah menyeramkan. Hugo lantas berdiri dan hendak beranjak keluar dari ruangan. Namun sebelum pergi, dia mengatakan sesuatu yang cukup menohok perasaan Axel. “Jangan jadi anak laki-laki yang cengeng!”Setelah mendengar itu, Axel pun menjadi terdiam seribu bahasa. Bahkan, saat Pamela menuntunnya kembali ke ranjang, dia tidak memberontak sama sekali. Namun, jiwa dalamnyalah yang memberontak.“Tuan Muda, ayo sudah waktunya min–“ (ucapan Pamela terpotong karena seseorang menyelanya). “Ak–aku mau pulang. Aku tidak suka di sini. Aku takut …” lirih Axel. Namun, dia tidak menangis sekarang. Entah apa yang terjadi. Sep