Brakkk…
Suara bantingan pintu dan derap langkah sepatu memekakkan telinga Louise."Apa yang sudah kau adukan pada orang tuaku, nona Louise?!" teriak seorang pria tiba-tiba.Sontak, Louise seketika meletakkan kertas-kertas ujian yang digenggamnya kemudian mengangkat dagunya ke atas untuk menemukan sumber suara. Didapati mahasiswanya yang terkenal dengan julukan 'mahasiswa abadi' itu merengsek masuk ke dalam ruang kerjanya."Tenang dulu, duduklah Prince, kita bisa bicarakan ini secara baik-baik." ujar Louise sambil bangkit dari kursi.Bukannya menuruti perintah dosennya, malah menendang kursi yang ada di depan."Hey, bersikaplah sopan, Prince! Ingatlah berada dimana kau dan berhadapan dengan siapa kau saat ini?" bentaknya dengan jantung yang berdetak lebih cepat tiap kali berhadapan dengan mahasiswa "spesialnya" itu."Kau ini dosen yang sangat menjengkelkan. Kau senang melihat mahasiswamu selalu bertengkar dengan wali muridmu ya rupanya?""Aku melakukannya juga demi kebaikanmu, Prince.""Kebaikan apa yang kau maksudkan, bu dosen?!""Tentu agar nilai-nilai ujianmu lebih meningkat, kau segera lulus dan tidak ada lagi selentingan buruk dari orang-orang di luar sana mengenai dirimu.""Ah… Maksudmu ejekan mereka tantang aku yang menjadi mahasiswa abadi di kampus ini 'kan?! Aku sudah tidak peduli lagi omongan mereka!""Bagaimana bisa kau tidak peduli? Apa kau ingin menjadi penghuni abadi kampus ini?!""Arghhh… Kalian semua sama saja!!!"Untuk kedua kalinya kursi itu ditendang, seakan tidak ingat lagi sosok yang berdiri dihadapannya. Tanpa izin dan seakan kehilangan rasa hormatnya, ia ngeloyor begitu saja, meninggalkan dosennya yang masih dalam keadaan syok.Sontak mata Louise berair yang seketika menyerbu ruang udara.Sekeluarnya dari ruangan Louise, Prince memilih duduk-duduk santai di kantin kampus dengan amarah yang masih berkecambuk di dada.Penampilannya yang tampak ala kadar dengan rambut yang acak-acakan seakan menunjukkan kondisi hidup yang dialaminya saat ini, 'berantakan'. Disulutnya sebatang rokok yang terapit diantara jari-jemarinya dengan korek api elektrik sambil sesekali diseruputnya secangkir kopi yang tersaji di depannya.Pupil mata Prince berpendar ke segala arah. Namun, sampai cangkir itu hanya menyisakan ampasnya saja, belum ada 'sesuatu' yang dapat menarik perhatiannya.Sesaat ia hanya diam termenung sampai terbesit rasa penyesalan di benaknya. Disadarinya tindakannya pada Louise tadi memang terlalu kasar, "Apakah aku harus minta maaf padanya?"Kringgg…Bunyi ponsel yang memekakkan telinga, tak pelak membuat Louise segera perlu mengangkatnya."Hah… Apaaa?! Baiklah, aku segera kesana."Louise bergegas membereskan benda-benda yang berserakan di atas meja kerja. Diraih tasnya dan dilangkahkan kakinya menuju tempat parkir kampus. Louise merasakan otot perutnya menegang dalam sekejap saat terpaksa mengendarai sendiri mobilnya dengan kecepatan tinggi.Setelah mendapati adanya kabar kematian yang dialami oleh saudara Lucas, Louise seketika memutuskan untuk melakukan perjalanan jauh menuju tempat prosesi pemakaman.Jalanan berkelok-kelok dengan jarak yang cukup jauh dari ibu kota terpaksa ditempuhnya. Sepanjang perjalanan, tak banyak pemandangan yang bisa ia nikmati, hanya terbentang semak belukar di sisi kanan dan kiri jalan."Sial!" umpat Louise ketika mobilnya harus rela berjibaku dengan jalanan berbatu, berkerikil dan berlumpur di tengah perjalanan.Dentangan lonceng yang cukup keras berbaur gemerisik dedaunan yang tertiup angin memenuhi lorong pendengarannya ketika hampir sampai.Memakan waktu hampir empat jam lamanya, Louise akhirnya sampai di tempat berkabung, gereja Onnuri.Dari jarak cukup jauh, dipandanginya Lucas sedang berdiri tegak di ambang pintu. Perlahan, ia melangkah mendekat ke arah Lucas.Pria berpostur tinggi itu refleks berbalik badan saat Louise menepuk bahunya.Dibalik kharisma yang tersembunyi dalam diri Lucas, adanya mimik kesedihan tersirat yang ditangkap oleh bola mata hijau Louise."Aku turut berduka cita atas kepergian adikmu, Lucas."Pelukan erat dan hangat yang diberikan Louise seketika menyerbu tubuh Lucas. Untuk sesaat Lucas dapat merasakan ketenangan dan kedamaian dalam pelukan itu."Bagaimana adikmu bisa sampai meninggal dunia?" tanya Louise penuh selidik usai melepaskan pelukannya.Tangan Lucas ditarik secepat kilat. Sekarang mata mereka saling beradu saat tubuh Louise telah merapat pada dinding bata yang lembab dari balik gereja.Parfum beraroma cedarwood yang sudah sangat khas menyeruak masuk ke indra penciuman Louise."Ia meninggal di danau surga, Heaven Lake yang penuh mitos dan mistis itu, Louise.""Ta-tapi bagaimana ia sampai bisa meninggal dunia disana, Lucas?""Menurut penyelidikan pihak kepolisian, ia meninggal karena bunuh diri.""Bu-bunuh diri katamu? Astagaaa… Apa kau percaya atas pernyataan mereka?""Tentu saja aku tidak percaya begitu saja, Louise. Tidak mungkin adikku melakukan tindakan serendah itu.""Tapi kau tahu 'kan danau surga itu dikenal sebagai danau bunuh diri juga dan rumah bagi para monster air, ya terdengar konyol memang. Lalu apa tindakanmu selanjutnya, Lucas?""Aku harus menyelidikinya sendiri, Louise, untuk mencari tahu penyebab kematian adikku yang sebenarnya."Tubuh Louise bergerak gelisah."Baiklah. Aku turut prihatin atas musibah yang menimpa adikmu, Lucas. Tenangkanlah dirimu, aku akan masuk untuk melihat jenazah adikmu dulu."Lucas menganggukkan kepalanya, "Silahkan, Louise"Louise melanjutkan langkah kakinya untuk masuk ke dalam ruangan gereja.Ruangan yang berada di dalam gereja terasa tidak begitu luas, hanya cukup untuk menampung puluhan jemaat. Ornamen-ornamen bercorak religius hampir memenuhi setiap sudut dinding dan atap dinding gereja tua itu. Benda-benda yang mengandung unsur spiritual tak luput menjadi pajangan.Setelah memberikan penghormatan terakhir di depan jenazah adik Lucas, Louise pun mengedarkan pandang untuk mencari bangku yang masih kosong.Didapatinya Papa dan Mama Lucas serta Charity, sahabatnya, sudah datang lebih awal."Aku turut prihatin, paman dan bibi." ucap Louise sambil memeluk Papa Lucas.Usai bersua dengan Papa Lucas, Louise melanjutkan langkahnya. Diliriknya masih ada kursi yang masih bisa diduduki disamping Charity, ia pun beranjak cepat untuk menempatinya."Kenapa lama sekali datangmu, Louise?""Maaf, ada sesuatu yang harus kubereskan dulu di kampus.""Kau sudah bertemu Lucas 'kan?"Louise menganggukkan kepalanya, "Ia sangat terpukul.""Ya, saudara kandung manapun tentu akan merasakan hal yang sama."Percakapan mengalir begitu saja tapi sempat terhenti sesaat ketika seorang perempuan dengan rambut yang tertutup kerudung hitam baru saja menapakkan kaki di lantai gereja.Tubuh perempuan asing itu kemudian bersandar di salah satu sudut dinding ruangan."Kau kenal wanita yang berdiri disana?" tanya Charity penasaran.Louise sontak menoleh mengikuti arah bola mata Charity lalu menggelengkan kepalanya."Hmm… Aku belum pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Kenapa memangnya? Apa ada sesuatu yang janggal dengannya?" tanya Louise balik."Tidak juga, hanya saja gerak-geriknya menarik perhatianku.""Sepertinya usianya lebih muda dari kita.""Ya, kurasa juga begitu."Tanpa disadari, iris mata mereka bergerak mengikuti seiring derap langkah kaki perempuan asing itu. Berdiri tepat di samping peti mati yang belum tertutup, air matanya mulai berlinangan. Sepucuk sapu tangan putih diusapkan ke pipinya yang telah basah.Setelah kacamata hitamnya dilepas, dipandanginya sesosok tubuh yang sudah terbujur kaku di dalam peti mati. Seakan tak mampu menahan perasaan sedihnya, tangisnya kembali pecah sehingga mengalihkan perhatian pelayan lain padanya.Lucas yang bertuxedo hitam tiba-tiba muncul dan berjalan mendekat. Lengannya menjangkau bahu perempuan itu. Diusapkannya telapak tangannya ke bahu wanita itu beberapa kali untuk menenangkannya.Tak dapat dipungkiri, terselip rasa cemburu yang berkecamuk dalam dada Charity saat melihat sikap Lucas pada perempuan itu.Perempuan itu masih terdengar menangis sesenggukan saat rombongan pela
Seorang gadis merogoh selembar kertas yang sudah tampak lusuh dari dalam tas. Dibacanya sekali lagi surat pemberitahuan yang telah didapatnya dari pihak kampus. Diamatinya dengan cermat jadwal untuk menghadap petugas administrasi kampus untuk memastikan agar tak keliru. Dengan tergesa-gesa ia mengetuk pintu. Di dalam ruangan tata usaha, netranya menatap lurus petugas administrasi yang sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen.Petugas itu menutup map dokumennya saat gadis itu duduk menghadapnya, untuk sesaat ada rasa canggung yang bergelayut dalam dirinya."Kalian tak bisa mendrop-out mahasiswa begitu saja!" teriak gadis itu kesal di tengah percakapan."Kalau begitu segera selesaikan pembayaran uang kuliahmu. Kampus telah melonggarkan kebijakannya demi mahasiswa-mahasiswa seperti kalian, mahasiswa yang tidak taat pada peraturan. Namun, kalian masih saja tetap membandel, menunda-nunda pembayaran uang kuliah dengan berbagai alasan tak masuk akal. Mungkin saja kalian telah menghabiskan jatah
Di luar tidak sedang turun hujan tapi tubuh Obelia seakan tersambar petir yang tenang tapi menggelegar. Disadarinya sumber petir itu berasal dari suara Dokter yang mengaduk-aduk perasaannya dan membuatnya seketika bergemuruh. Dokter telah memvonisnya dengan penyakit paralysis of the left cord. Obelia menepuk keningnya seakan tak percaya, "Ta-Tapi bisa sembuh 'kan, Dok?"Dokter mengangguk sambil menjelaskan kemungkinan untuk kesembuhannya."Lakukan operasi terbaik, Dok, aku tidak akan mempermasalahkan berapapun biayanya."Dokter mengatakan tidak masalah dengan hal itu karena operasi terbaik dapat diusahakannya. Namun, masalahnya ia akan benar-benar beristirahat total dalam bernyanyi untuk kurun waktu yang lama. Kemungkinan terburuknya ia akan pensiun dini menjadi penyanyi. Bahkan, jika tetap ingin dipaksakan, ia harus memulai semuanya dari dasar alias dari nol lagi.Mata Obelia membola.Setelah berdiskusi dan mempertimbangkan dengan singka
Obelia memicingkan mata saat Sophie, sahabatnya sibuk membuka jendela kamar apartemen. Desiran angin menyelinap masuk, tak pelak membuat sekujur tubuhnya agak menggigil. Refleks, Obelia menaikkan kembali selimut bulunya."Kau sudah bangun, ya?""Jam berapa sekarang?" tanya Obelia."Jam sembilan, bangunlah. Di meja makan Iseul sudah menyiapkan segelas teh herbal dicampur akar licorice, madu dan mint demi kesembuhan pita suaramu."Sophie sering mendengar keluhan Obelia mengenai tenggorokannya yang nyeri dan suara yang tiba-tiba serak atau hilang. Sophie mempunyai inisiatif untuk menyuruh Iseul rutin membuatkan minuman herbal untuk Obelia tiap pagi.Sophie melangkah mendekati ranjang, menelisik wajah Obelia."Matamu tampak sembab. Apa kau menangis semalam?!""Ah, tidak kok tidak, mana mungkin aku menangis?""Sudahlah, jangan coba berbohong padaku. Apa Maverick penyebabnya?"Tak mampu lagi mengelak, Obelia
"Apaaa?!! Cepat bawa Ayah ke rumah sakit terdekat, Bel, aku akan menyusul kesana." pekik Louise yang terjangkit kepanikan seketika.Setelah mendapat kabar kurang mengenakkan mengenai kondisi kesehatan sang Ayah yang sedang memburuk dan perlu segera mendapat penanganan khusus dari rumah sakit, tak pelak membuat Louise terpaksa membubarkan kelas ajarnya kemudian meluncur ke rumah sakit Hanguk.Louise tidak bisa duduk dengan tenang, ia terus bergerak gelisah saat menunggu hasil diagnosis sang dokter. Tak berselang lama dokter Liam keluar dari dalam ruang perawatan."Bagaimana, dok?""Ayah Anda secepatnya memerlukan donor ginjal karena ginjalnya sudah tidak berfungsi dengan baik lagi.""Ta-tapi dimana aku bisa mendapatkan pendonor itu, dok?""Rumah sakit ini bisa membantumu untuk mendapatkan pendonor ginjal yang sesuai, Nona tapi tentu saja memerlukan biaya yang tidak sedikit. Saran yang bisa kuberikan untuk saat ini berusahalah dul
"Wah, rupanya aku tak salah memilih orang, kau memang sangat mirip diriku, Hanna." ucap Obelia terkesiap menatap rambut baru Hanna usai keduanya melangkah keluar dari salon. Saat ini rambut dan style penampilan mereka tampak sangat mirip.Hanna menunduk dengan pipi memerah.Diletakkannya kunci apartemen dan mobil di atas telapak tangan Hanna. "Kita bertukar peran, mulai detik ini kau telah resmi menjadi diriku, Hanna. Kau harus siap meninggalkan kehidupan lamamu untuk menjalani kehidupan barumu. Ingat, namamu sekarang berganti menjadi Obelia, Hanna sudah lenyap dari kehidupan fana ini.""Ta-Tapi nona, apa kau yakin ingin aku menggantikan dirimu?"Obelia menganggukkan keras kepalanya, "Aku telah melangkah sejauh ini. Tak akan kulakukan jika tidak seyakin ini, Hanna."Hanna hanya diam membisu."Usai keluar dari mall ini, bersiaplah, kita akan melakukan sesuai rencanaku.""Ba-Baik, nona."Sudut bibir Obel
"Kak, biarkan aku saja yang mendonorkan ginjal untuk Ayah." ucap sang adik, Bellona pada Louise."Tidak akan pernah kubiarkan kau melakukannya, Bel.""Kenapa kau melarang, kak, Ayah sedang sekarat ia membutuhkan bantuan kita secepatnya.""Karena kau masih terlalu muda, Bel, masa depanmu masih panjang. Biarkan aku yang mengurusi kondisi Ayah, kau cukup mengurusi sekolahmu saja, mengerti? Aku harus pergi mengajar sekarang.""Ta-tapi kak…"Diayunkan kakinya mendekati Hanna sambil menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku jaket."Dengan kondisi amnesia yang kau alami tentu akan memudahkanmu untuk masuk ke kehidupanku yang sebenarnya dan bertemu dengan orang-orang di sekitarku. Kau pun akan punya cukup waktu untuk mengenal kepribadian mereka tapi bersiaplah menghadapi semua kenyataan yang akan terjadi." ujar Obelia sambil menunduk menatap lurus pada kedua mata Hanna yang seakan terpojok ketakutan."Aku rasa tidak akan sanggup melewatinya, aku ingin menarik kembali ucapanku untuk bertukar pe
Hanna telah menginjakkan kakinya di apartemen Obelia. Sebuah surat beramplop yang Iseul berikan mengejutkan dirinya. Dengan tangan bergetar, dibuka dan dibacanya isi dalam amplop itu perlahan."Tidak mungkin!" teriak Hanna usai membaca isi keseluruhan surat lalu menjatuhkannya. Wajahnya memutih sekejap."Kenapa dia tega berbuat itu padaku?! Dia berkata aku akan mendapatkan kenyamanan hidup tapi nyatanya tidak. Ia malah meninggalkan hutang akibat kalah bermain judi lalu membebaniku? Ia sungguh tak waras, aku merasa dijebak olehnya!" Hanna menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal. Ia merasa harus bertemu dengan Obelia untuk membahas masalah ini tapi tak tahu kemana harus menemukan keberadaannya.Ketukan pintu kamar sekali lagi mengejutkannya. Disisirnya rambut dengan jari-jemarinya agar tampak tak terlalu berantakan. Sophie sudah lebih dulu membuka pintu sebelum Obelia sempat membukanya."Apa ingatanmu sudah mulai membaik setel