Di dalam kamarnya Harry termenung setelah menghancurkan sangat banyak benda di atas lantai. Dia sudah seperti orang bodoh.
"Kenapa aku tak bisa marah pada gadis itu?" gumamnya kesal.
Ini kali pertama Harry membiarkan seseorang bersuara keras di depannya. Semua orang, tak terkecuali lawan bisnisnya di luar sana, tak satu pun yang pernah mengangkat suara di depan Harry. Semuanya selalu ketakutan jika dia sudah marah.
"Bukannya aku sudah menawarkannya uang yang banyak? Bahkan jika dia bekerja di Toko Toserba sampai tua, aku yakin gajinya tak akan pernah terkumpul satu miliar!" ucapnya lagi. Entah dia memang sudah menjadi bodoh.
Setiap kali dia menginginkan seorang gadis, Harry tak pernah kesulitan mendapatkan perhatian mereka. Hanya dengan berjalan saja, gadis-gadis itu sudah datang menempel padanya. Mereka akan sangat senang meski Harry hanya meletakkan tangan di pinggang mereka. Apalagi jika sampai membawa mereka ke atas ranjang, itu suatu kehormatan besar bagi gadis-gadis simpanannya.
"Dia sangat berbeda. Dia bahkan rela mati demi menghindariku."
Mengatakan itu, Harry bangkit dari duduknya dan melangkah cepat menuju cermin.
"Apa aku tidak menarik di matanya?" guamamnya lagi. "Sial! Kenapa aku harus memikirkan itu?"
Harry tak butuh terlihat menarik atau tidak bagi Alena. Yang terpenting adalah, gadis itu segera hamil dan melahirkan bayi untuknya. Hanya dengan itu lah satu-satunya agar Harry bisa meminta keringanan pada orang tuanya. Membatalkan pernikahan yang sudah diatur.
"Bagaimana keadaanya?" tanya Harry, melihat Lukas datang melapor ke kamarnya.
"Nona Alena sudah tidur, Tuan. Sepertinya dia sangat lelah."
"Suruh siapa dia memanjat seperti monyet?" sentak Harry marah.
'Memanjat saja tidak akan membuat seseorang kelelahan hingga hampir tertidur di kamar mandi, Tuan.' Lukas hanya menjawab di pikirannya.
Siapa pun pastinya tahu bahwa Alena kelelahan oleh serangan Harry yang bertubi-tubi. Dalam tiga hari gadis itu berada di rumah ini, mungkin Harry sudah menggagahinya berpuluh-puluh kali. Sebagai seorang yang pertama kalinya melayani laki-laki seperti Harry, sudah pasti Alena sangat kelelahan.
"Tuan, sepertinya fisik Nona Alena sangat lemah. Saya pikir dia tidak akan mampu mengandung putra Anda."
Lukas hanya tak tega mendengar Alena yang terus menangis. Dia pikir, dengan berkata seperti ini pada Harry maka tuannya itu bisa mempertimbangkan. Lukas akan mencari gadis lainnya yang bersedia dengan rela untuk melancarkan niat Harry.
"Apa maksudmu? Kau ingin aku melepaskannya?" tanya Harry. Mata dinginnya menusuk langsung ke netra Lukas.
"Jika Anda tidak keberatan, kita bisa mencari gadis yang bersuka rela tanpa paksaan."
Sebelumnya Harry sudah memikirkan itu saat dia memerintahkan membuang Alena ke hutan. Tapi sekuat apa pun dia ingin membuang Alena, Harry sangat merasa bersalah lalu menyuruh anak buahnya menjemput mereka kembali. Dia sendiri pun tak yakin kenapa bisa menjadi ragu-ragu mencarikan pengganti Alena.
"Jangan mengguruiku, Lukas. Aku bukan laki-laki bajingan yang membuang gadis dengan sembarangan."
Nyatanya memang seperti itu selama ini, kan? Dia akan membuang mereka ketika bosan. Lukas menggaruk kepalanya, tak yakin dengan jawaban dari tuannya.
"Apa bagimu aku sehina itu?"
"Ti-tidak, Tuan Muda. Mana mungkin saya berani pada Anda."
"Maka jangan mengajari apa yang harus aku lakukan!" sentak Harry.
***
Makan malam sudah disajikan di atas meja penuh dengan berbagai menu. Harry menatap meja itu tanpa sedikit pun berniat menyentuh piringnya.
"Di mana monyet pemanjat itu?" tanyanya.
"Nona Alena ada di kamar, Tuan. Kami akan mengantar makan malamnya segera."
"Tidak. Bawa dia makan ke sini!" perintah Harry.
Dari yang mereka yakini, Harry adalah orang yang tidak suka diganggi privacinya. Lukas sudah puluhan menjadi pengasuh Tuan Muda Harry, sejak dia masih kanak-kanak. Belum pernah sekali pun Harry makan satu meja dengan orang lain selain keluarga dan rekan bisnisnya.
Bukankah ini sesuatu yang sangat aneh?
"Kau tak mendengarku, Lukas?"
"Baik, Tuan! Saya akan memanggil Nona Alena ke sini!" Lukas menjawab seperti komandan upacara.
Gadis itu sedang duduk di depan cermin rias menatap dirinya. Bagian leher Alena penuh dengan noda merah bekas hisapan bibir Harry. Dia merabanya, mengingat lagi segala perbuatan Harry.
"Permisi, Nona Alena. Tuan Muda sudah menunggu Anda di meja makan," ucap suara Lukas yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu.
Ada apa? Kenapa dia membiarkan Alena keluar dari dalam kamar? Bukannya lelaki gila itu berkata akan memotong kakinya jika berani keluar dari pintu kamar?
"Mari, Nona. Jangan menunggu Tuan Muda marah."
Betul. Alena sudah tak punya tenaga untuk bertengkar dengan lelaki itu. Mau tidak mau, dia harus memenuhi panggilan Harry. Dengan malas-malas Alena mengikuti langkah Lukas menuju ruang makan.
"Duduk lah. Jangan hanya berdiri," ucap Harry saat melihat Alena diam di balik sandaran kursi.
Pelayan wanita yang baru selesai mengisi air ke dalam gelas, menarik sebuah kursi untuk Alena.
"Silakan, Nona."
"Tidak, aku di sini saja." Alena mengambil kursi yang sangat jauh dari Harry.
Memangnya Harry bau busuk? Kenapa dia duduk sangat jauh?
"Hei! Pindah ke sini!" perintah Harry.
Alena tak ingin mengundang amarah pria itu malam ini. Dia sudah paham, jika dirinya mengajak Harry ribut, pasti lah pria itu akan menghajarnya di atas ranjang. Alena dengan patuh pindah ke kursi di sebelah Harry, berharap pria itu memberinya keringanan untuk satu malam.
"Makan lah. Bagaimana kau akan membuat bayi jika makan saja tidak."
'Orang gila!' batin Alena.
Dia tidak malu menyebut perkataan seperti itu di depan pelayannya? Apa memang urat malunya yang tak ada?
Mereka makan malam dengan diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya suara peralatan makan mereka yang saling beradu lah menandakan adanya orang di ruangan itu.
Selesai makan Alena langsung pergi meninggalkan Harry. Dia membungkuk sopan, seperti yang dilihatnya dilakukan para pelayan. Harry mengerut kening melihat keanehan gadis itu.
"Memangnya dia pelayan?" bisiknya.
Tapi bagus lah. Dia tahu tempatnya. Setidaknya, mungkin Alena akan sedikit sandar diri bahwa Harry lah bos di rumah itu. Tak ada satu orang pun yang berkuasa selain dirinya.
Jika Harry bangga merasa dihormati, justru Alena sedang merendahkan pria itu di pikirannya. Dia sangat senang bisa cepat-cepat meninggalkan meja makan tanpa harus menunggu Harry selesai. Selera makannya sangat rusak jika terus berada satu ruangan dengan Harry.
Dia hanya ingin tidur. Alena lalu merebahkan dirinya di atas kasur untuk membalas rasa kantuk selama tiga malam berturut-turut.
"Apa kau pikir dirimu hewan? Manusia macam apa yang langsung tidur begitu selesai makan?"
Alena dikejutkan oleh Harry yang tiba-tiba sudah bersandar di tiang pintu.
Apa dia tak punya pekerjaan lain? Kenapa tak memberi Alena sedikit saja ruang?
"Maaf, Tuan. Saya sangat mengantuk. Bisa Anda meninggalkan saya untuk malam ini?" ucap Alena, tak menjawab penghinaan pria itu.
"Di dalam mimpimu. Kau tak boleh tidur sebelum memberiku jatah malam." Harry menyeringai lebar.
Selain gila, Alena yakin Harry juga kelainan seksual!
Bersambung.Terima kasih sudah membaca. Masukkan novel ini ke library dengan klik tanda +. Jangan sungkan meninggalkan komentar membangun untuk author juga ya, Kak. Dan jika berkenan, boleh follow ig author @itsuhamemey untuk melihat karya-karya lain dari author. Boleh juga cari di fb. Terima kasih.
Esau berlari menaiki tangga pintu masuk istana keluarganya, dengan penuh semangat dan senyum yang tergambar di bibirnya. Tangan kanan menjinjing sebuah boks besar yang dia bawakan hadiah untuk istrinya, belakangan ini dia memang menjadi sangat romantis sejak mendengar kabar kehamilan Freya. Setiap akan pulang dari mana pun, Esau menyempatkan membawa hadiah untuk Freya. Baik itu berupa bunga, makanan, atau benda apa saja yang dia temukan di jalan. Terkadang juga Esau mencari-cari sesuatu yang diinginkan ibu hamil melalui situs internet, lantas membawakannya untuk Freya. Dia adalah suami yang begitu mencintai istrinya. “Sayang...” Esau mendorong pintu kamar, memamerkan jinjingan yang dia bawa. “Lihat, aku membawa apa padamu?” Freya yang tengah berbaring membaca sebuah buku, menurunkan buku itu ke atas perutnya dan melihat Esau. Sejak hamil dan dikatakan fisiknya lemah, Freya dengan suka rela mengambil cuti kuliah dan lebih memilih menghabiskan waktu menikmati k
“Frey, kalian harus datang, ingat!”Leona berseru dari ujung sana, melambaikan tangannya pada Freya yang masih berdiri menunggu Esau membukakan pintu mobil. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban untuk seruan dari Leona.“Baik lah, akan aku usahakan.” Freya lalu masuk ke dalam mobil di samping suaminya yang menyetir.“Datang? Memangnya... ke mana dia mengajakmu?”“Ulang tahun. Leona merayakan ulang tahunnya, dan dia mengundang kita.”“Kenapa kita harus datang?” Esau menyahut acuh, menyalakan mesin mobil yang membawa mereka meninggalkan parkiran kampus. “Aku heran kenapa kau mau berteman dengannya, padahal dulu dia jahat padamu.”Jika dipikir-pikir, Leona memang banyak melakukan kejahatan pada Freya, tapi di balik itu Freya sendiri sudah membalasnya, kan? Lantas kenapa harus merasa dirinya harus membenci Leona lagi? Lagian Leona sendiri sudah meminta maaf secara terang-tera
Semua orang menjadi diam melihat kedatangan pria itu. Esau masih terkejut, bahkan dia tidak sadar kapan Ezra Raves berjalan menuju kado besar yang sudah Harry siapkan. Dia menatap Harry dengan tatapan yang sedikit aneh.“Apakah kado dariku sangat besar?” katanya, seakan menyindir Harry. Ezra cukup tahu Harry adalah seseorang yang selalu mempersiapkan segala sesuatu, dan sudah pasti Harry lah yang membuat kado itu seakan-akan dari dirinya. “Kalian tampak senang melihat kado dariku, tapi tampaknya tidak senang dengan kedatanganku.” Ezra berpindah ke depan Harry, mengulurkan tangannya dan berkata, “Halo, Besan, akhirnya kita bertemu setelah sekian lama.”Harry muak melihat sikap Ezra yang seakan ingin menunjukkan sifat arogannya. Tapi demi menjaga nama baik menantu perempuannya, Harry mengulurkan tangan untuk menyambut Ezra. “Ya, selamat datang kembali. Aku pikir pesawat itu sudah meledak sehingga kau mungkin tidak akan pernah dat
“Selamat, akhirnya kau benar-benar menjadi lelaki jantan.” Parsa menepuk pundak sahabatnya, membuat Esau mengerut kening tidak senang.“Sial! Apa selama ini aku kurang jantan di matamu?” umpat Esau pelan, tidak senang dia dengan ledekan yang ditujukan Parsa padanya.“Mana aku tahu, Freya lah yang tahu bagaimana kau di ranjang.” Parsa melirik Freya dan meneruskan pertanyaan Esau padanya. “Bagaimana, Frey, apakah Esau jago di ranjang?” ucapnya sembari tertawa.Kesal, Esau meninju pelan pundak Parsa untuk menyuruh sahabatnya itu diam. “Diam lah, Brengsek, atau aku memanggil bagian keamanan untuk mengusirmu,” balasnya sambil bergurau.Hal itu membuat Julian ikut tertawa mendengar dua sahabatnya yang saling mengejek, dan ikut serta di dalam perbincangan mereka. “Mungkin kau memang tidak jago, Esau, sebab itu Freya ingin meninggalkanmu.”“Hei, tutup mulutmu atau aku
“Apa yang kau lakukan, Esau?” Freya menarik Esau untuk menjauh, tetapi Esau tidak menggubrisnya. Dia tidak akan menyerah begitu saja sebelum Felisha menunjukkan apa yang dia sembunyikan.“Frey, aku lah yang lebih dulu mengenal bibi, jadi aku tahu dia tidak sepenuhnya gila. Sebelum kau masuk ke dalam hidupku, perawat mengatakan bibi hanya butuh pengobatan ringan. Dia hanya terlalu malu bertemu denganmu, sampai-sampai berkata tidak ingin melihatmu lagi. Benar seperti itu kan, Bi?” tanya Esau tegas.Tentu hal itu membuat Felisha tak tahan lagi. Dia lelah menahan diri hingga akhirnya meneteskan air mata dari kedua sudut matanya.“Aku orang jahat, kenapa aku berhak memiliki anak? Aku sudah membuat semua orang menderita, aku tidak pantas menjadi ibunya,” bisik Feli lemah.Pertemuan dengan Ezra sudah membuat Feli seperti tersadar bahwa dirinya adalah orang jahat yang tak pantas mendapatkan perhatian dari siapa pun. Semua tuduh
“Maaf sudah memisahkanmu dengan papamu.” Esau mengelus wajah Freya, satu jarinya bermain-main di wajah cantik gadis yang bersandar ke pundaknya.Bagaimana pun, Ezra Raves adalah pria pertama yang mencintai gadis itu sejak dia lahir. Mungkin banyak kesalahan yang Ezra lakukan, tapi tetap saja cinta seorang ayah tidak bisa dihilangkan dari hati.“Kau masih sedih?” Kini Esau tatap wajah cantik istrinya dengan memegangi dagu lancip Freya.Menggeleng lemah, tentu saja Freya berbohong. Dia tidak bisa berkata dirinya baik-baik saja setelah yang barusan terjadi.“Sedih sebentar tidak akan membunuhku, kan?” bisik Freya, lagi air matanya mengalir. “Papa tidak boleh hanya menyalahkan mama, mereka sama-sama salah. Aku harus tega pada papa untuk membuatnya menyadari kesalahan.”“Benar, kau tidak melakukan kesalahan. Jika papamu bisa berpikir dengan baik, seharusnya dia menyesal.”Helaan na
“Apa yang kalian bicarakan? Sayang, papa mencintaimu. Kau tidak harus mendengarkan kesaksian dari orang-orang yang tidak menyukai papa,” kata Ezra, berharap kali ini putrinya masih mendengarnya. Ezra Raves tidak rela jika Freya menuduhnya tidak menginginkan dirinya.“Tapi bukti yang kutemukan bukan sekedar ucapan orang-orang. Papa juga ingin melihatnya?” Freya menantang papanya, lantas membuka lipatan kertas yang dia pegang.Bagaimana pula ada orang yang berkata demikian? Apakah mereka bisa mendengar isi kepala Ezra? Siapa yang dengan berani membuat kesaksian bahwa Ezra tidak menginginkan bayinya? Sejak mendengar Felisha hamil, Ezra sudah berencana untuk mengurus bayi itu meski tanpa ibunya!“Catatan rumah sakit atas nama Felisha Raves dan suaminya Ezra Raves,” kata Freya, membaca sebagian dari kertas yang ada di tangannya. Dadanya sesak. Pedih Freya rasakan ketika dia melanjutkan untuk berkata, “Catatan ini adalah kunju
Freya masih bergeming menatap tangan Esau yang terulur padanya. Lalu perlahan mengangkat mata untuk melihat wajah suami yang... katanya sudah bercerai oleh perbuatan oleh sang papa. Wajah sendunya sulit untuk ditebak, apakah Freya akan menerima uluran tangan itu?Kemudian dia perlahan mengalihkan wajah menatap tangan papanya, lalu mata mereka pun bertemu beberapa detik kemudian.“Mari, Sayang, kita akan berangkat hari ini,” ucap Ezra Raves sekali lagi.“Papa menjagaku?” Suara serak yang menyiratkan kerinduan akan cinta.“Pasti, karena kau lah separu dari nyawaku yang tersisa.” Ezra mengangguk perlahan.Ezra memang banyak melakukan kebohonga, tapi semua dia lakukan untuk alasan yang tepat. Dia hanya tidak ingin membuat Freya seperti ibunya.“Freya, ibumu memiliki temprament yang sangat buruk. Dia suka menyakiti orang lain tanpa peduli siapa orangnya. Aku menjauhkanmu dari dia karena aku mencintaimu, a
“Esau, tunggu!” Freya hampir saja terjatuh ketika mengikuti langkah suaminya turun dari mobil. “Bukankah kau bilang akan mempertahankanku? Kenapa kau ingin mengembalikanku pada papa?” katanya lagi. Freya tidak ingin pergi, dia berhenti menatap rumah besar di mana papanya menunggu.“Freya, ikut lah, papamu sudah tak sabar menunggu.”Kemarahan Esau sudah sampai di puncak kepalanya, sehingga tak ada waktu baginya membahas hal ini. Esau hanya ingin segera bertemu dengan Ezra Raves dan menyelesaikan masalah mereka. Dia tidak tahan mendengar kata-kata Ezra yang bahkan sudah mengurus perceraiannya dan Freya. Bukankah pria itu sudah sangat keterlaluan?“Tapi aku tidak mau! Aku mencintaimu, aku ingin denganmu!” Freya yang baru mendapat kasih sayang dari seluruh anggota keluarga Borisson, tiba-tiba merasa sangat sedih. Esau, lelaki yang pagi tadi berkata mencintai dirinya bahkan rela mati untuknya, kenapa sekarang justru sep