LOGIN
Ratih terpekik ngeri melihat tubuh pria itu tiba-tiba oleng dan jatuh terjerembah, terkapar di lantai menangkup perutnya yang robek bersimbah darah ! Darah pekat yang segera meluber menggenangi lantai.
Mestinya ia segera memburu ke sana dan memberi pertolongan. Namun ia terlalu heran dan sok melihat kemunculan pria muda itu. Pria yang berdiri dengan wajah beringas, dengan tangan mencekal belati bermandikan darah. Pria itu balas menatapnya dengan dingin. Di kedalaman matanya pun ada robekan luka. Mengapa ...?! Mengapa Kau melakukan ini?! Kalimat ini menggaung keras dalam bathin keduanya. Oleh Ratih, dan oleh pria muda itu. *** Satu tahun sebelumnya. Daun pintu pintu yang menguak ke dalam itu dari bahan tripleks, bercat putih usang, bolong-bolong dan dipenuh garis melintang di sana - sini. ia tampak tua dan terabai. Demikian pula rak kayu kecil tempat sandal sepatu yang menyender lunglai di pojokan. Catnya juga sudah usang dan mengelupas dengan pinggiran mulai melapuk. Semua yang tampak terkesan tua dan rapuh. Namun tidak demikian dengan sepasang tungkai yang tengah melepas sepatu di ambang pintu sana. Sepasang tungkai itu amat sempurna, putih jenjang dengan jari jemari kaki yang mungil dan terawat bersih. Sepasang tungkai indah itu diseret menuju sofa tua di pojok ruangan. Sofa malang yang setelah ditimpuk tas kerja yang dibuang asal-asalan, menyusul dihenyaki sebongkah pinggul montok hingga si tua menguik kesakitan. Terdengar hempasan nafas panjang yang membawa rasa letih, menyusul satu seruan malas. "Ibu, saya pulang." Gadis itu berusia awal dua puluh-an, beraut wajah elok rupawan dengan tubuh indah menggiurkan, berbalut kemeja putih dan rok hitam selutut. Saat itu sepasang bulu matanya yang lentik ditautkan ke bawah, kaki berselonjor di bawah meja sambil menyender dengan lesu. "Tuhanku, telah begitu lama. Masihkah tidak tergerak hatiMU mengubah nasib hambaMu ini? Kapan Engkau berhenti menjadikanku sapi perah di kantor kelurahan? Berkutat tumpukan kertas tak habis-habis, mondar-mandir seduh kopi, diperintah sana sini, tubuh pegal, kaki kesemutan, dan... Aih, Tuhan, berilah pekerjaan yang layak dikerjakakan wanita lemah sepertiku ini. Berbelas kasihlah. Aku..." "Aduh, anak perempuanku kenapa begini sembrono? Duduk selonjoran seperti anak laki-laki di ruang tamu. Tak patut bertingkah demikian, Sayang." Suara yang memutus curhatan bathin si gadis datang dari satu nyonya berpenampilan bersahaja, namun dengan raut masih menyisakan keelokan masa muda. Ia mengamit lengan si gadis dan berkata lembut. "Ayo bangun dan masuk ke dalam." "Biar saja, Bu, toh tidak ada yang lihat," Sahut si gadis tanpa membuka mata. "Tapi tidak baik, sayang. Nanti jadi kebiasaan. Ayo, kedalam dulu ganti pakaian. Di meja sudah ibu siapkan makanan," Gadis itu ogah - ogahan bangkit berdiri dan mengikuti tarikan ibunya. "Tapi, Bu, temani," ujarnya kolokan. "Iya, nanti ibu temani," Setelah menghalau tubuh putrinya ke arah dalam, nyonya itu berjalan ke ambang pintu dan merapikan sepatu sang putri yang teronggok asal-asalan di atas lantai. Ratih, nama gadis rupawan itu, duduk di depan meja makan dan sesaat hanya mematung memandangi hidangan yang tersaji di depannya. Lauk pauk yang amat sederhana dan sama sekali tak mampu menggugah selera. Hanya terdiri dari tempe, tahu, dan sayuran kering. Tetapi demi tak membuat sang ibu kecewa, ia memaksa diri mengisi piringnya dan mulai makan perlahan. "Om Jamal di mana, Bu?" Ia menyempatkan bertanya sebelum menyuapkan sesendok kecil nasi ke dalam mulutnya. "Ada di belakang. Dari pagi sibuk main gergaji," sahut nyonya itu yang duduk di samping putrinya sambil melanjutkan sulaman. "Dia sudah makan, Bu?" "Tadi sudah Ibu panggil, tapi katanya lagi tanggung," Ratih hanya manggut kecil. Sejak pulang dari rantau, pamannya itu lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan menyibukkan diri membenahi segala perabotan tua. Belum ada semenit, kegiatan nyonya itu terhenti oleh tindakan sang putri yang tiba-tiba menggeser kursi dan bangkit berdiri. "lho kok sudahan makannya?" tegurnya sambil mengamati hidangan di atas meja yang hampir tak tersentuh. "Tadi di kantin habis ditraktir teman, Bu. Masih kenyang rasanya," sahut Ratih sambil beranjak ke kamar. Nyonya itu termangu di tempat, lalu tampak menghela nafas. Ia tidak tahu apakah putrinya berkata sebenarnya atau hanya beralasan. Hanya belakangan ini Ia seringkali mendapati anak gadisnya itu tak berselera di meja makan. Meski jika dipikir, memang juga sudah sewajarnya. Setiap hari melulu disuguhi lauk pauk yang itu-itu saja, tentulah membuat lidah sang putri jadi tawar. Bathin nyonya itu dengan hati pilu. Keadaan memprihatinkan ini sudah mereka lakoni semenjak ditinggal mati sang suami beberapa tahun lalu. Mereka keluarga sederhana, dan kecuali rumah, boleh dikata sang suami tidak meninggalkan harta benda apa-apa. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang hanya tahu urusan dapur dan sama sekali tidak punya pengalaman mencari nafkah. Jadi sepeninggal sang suami, kehidupan yang mereka lalui ibu dan anak, amatlah sulitnya. Tidak jarang sebagai seorang ibu, hatinya tersayat pedih manakala Ia hanya sanggup menyajikan sepotong ubi rebus di atas meja untuk putri semata wayangnya. Pengganjal perut untuk beberapa hari sebelum mereka punya uang untuk beli beras. Keadaan mereka baru sedikit mendingan sewaktu Ratih - yang syukurnya sempat menamatkan SMA itu - oleh pihak kelurahan, bersedia diterima sebagai tenaga pembantu. Sudah tentu gajinya juga tidak seberapa. Tapi setidaknya dengan penghasilan tersebut, mereka sudah boleh berharap ketemu nasi setiap hari.Dua bulan lewat semenjak Ratih pindah ke ruangan pak Bahar. Beberapa pegawai--dipelopori oleh para perempuan--yang semula memasang kuping dan mata siap mengendus hal-hal mencurigakan, menjadi kecele. Tak ada kejanggalan yang bisa diendus dari hubungan Ratih dan Pak Bahar. Segalanya tampak biasa dan seformil sebelumnya. Maka seiring waktu, Bisik-bisik miring itu pun mereda dengan sendirinya. Implikasi yang wajar karena para pegawai kantor itu pun punya urusan sendiri-sendiri dan tentunya tidak punya waktu terus-terusan menaruh perhatian pada hal-hal yang relatif tidak ada kaitannya dengan urusan mereka. Dalam hal tugas-tugas harian di kantor, Beban pekerjaan Ratih tidaklah bertambah berat dibanding sebelumnya. Malah justru lebih ringan. Kecuali dalam soal jam kerja. Bahwa sewaktu-waktu Ia harus siap berada di lapangan menemani Pak Lurah yang kadang membuat kunjungan kerja ke luar daerah, seperti kunjungan ke sebuah desa atau dusun terpencil. Tentunya bukan hanya dirinya, tapi nemb
Penunjukan Ratih yang secara tiba-tiba diangkat menjadi semacam asisten pribadi Pak lurah tentu saja mengejutkan pegawai lain. Meski tidak ada yang berani mengajukan protes, hal ini sudah lantas menjadi bahan gunjingan di kantor. Beberapa tidak puas karena menganggap sebagai tenaga honorer Ratih belum pantas menerima posisi itu. Meski dikatakan bahwa posisi yang tidak resmi itu hanya bertujuan meringankan tugas-tugas sekertaris, namun diam-diam para pegawai itu punya dugaannya sendiri, dan itu terkait dengan reputasi buruk Pak Bahar dalam hal perempuan, soal kegemarannya pada wanita-wanita muda berparas ayu. Dan amat kebetulan, Ratih adalah gadis tercantik bukan saja di kantor itu, tetapi mungkin di seluruh kampung. Maka tak pelak lagi, keadaan yang amat klop ini sudah lantas menimbulkan bisik-bisik miring mengenai diri mereka berdua, terutama tertuju ke arah Ratih. Mereka menyimpulkan bahwa gadis muda itu akhirnya menggunakan kecantikannya untuk merebut posisi. Meski demikian, pa
Mendengar lurah itu menyinggung soal keluarganya, perasaan Ratih tiba-tba dihinggapi rasa kurang nyaman. Tetapi ia menjawab terus terang. "Benar, Pak. Ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa, sementara Pamanku belum lama berdiam di kampung, jadi ... belum berhasil memperoleh pekerjaan yang layak," Pak Bahar tampak manggut-manggut dan tercenung agak lama. Setelah menarik nafas, Ia kembali berkata dengan nada agak sungkan."Maaf, Rat, kalau Bapak terlalu ingin tahu. Penghasilanmu yang...ya, katakanlah tidak seberapa di tempat ini, apakah cukup kau pakai membiayai hidup keluargamu? Madsud Bapak, mungkin kau punya penghasilan tambahan di luar, seperti jualan kecil-kecilan atau.. semacamnya?" Perasaan Ratih makin tidak enak. Kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja saling remas tanpa sadar. Kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya, sudah tentu akan langsung dia tanggapi dengan kerutan alis tajam, bahkan bisa jadi akan didampratnya habis - habisan. Tapi perta
Sepuluh menit berikutnya, gadis itu nampak sibuk di meja kerjanya, sebelum bangkit berdiri dan menuju ke ruangan Pak Bahar. Ia mengetuk daun pintunya perlahan. "Masuk, " Begitu berada di dalam, hidung Ratih segera disambar wewangian tajam yang menyebar di ruangan 4x4 itu. Didapatinya Lurah itu sedang membaca surat kabar di meja kerjanya. Pak Bahar mengangkat wajahnya. Mulutnya mengembang senyum sambil perlahan melipat korannya. "Pintunya ditutup kembali, Rat," Ratih menurut meski sedikit heran. Tidak biasanya Ia diminta menutup pintu saat menyerahkan tugas. Apakah Lurah itu ingin berbicara dengannya? Pak Bahar menerima berkas dari si gadis dan meletakkannya di pinggir meja bersama surat kabar. "Duduklah dulu, Rat. Bapak hendak membicarakan sesuatu," Dada Ratih berdebar karena dugaannya ternyata benar. Lurah itu ingin bicara dengannya. Soal apa gerangan? Pikirnya was-was seraya mengambil tempat duduk di depan sang penguasa kantor itu. Dalam hati berdoa semoga tidak mendapat
Suasana kamar tak seterang sebelumnya karena pintu dan jendelanya ditutup rapat. Keadaan yang menciptakan udara panas sehingga membuat tubuh mulus yang menggeliat di atas pembaringan itu berkilau dibasahi oleh peluh, melengketkan rambut panjangnya yang tergerai di atas pundak putih halusnya. Peluh yang memberi tanda bahwa kegiatan itu sudah berlangsung cukup lama dan si gadis tampaknya belum juga menuntas gairahnya. Suatu ketika, gadis itu tiba-tiba menyelipkan sebelah tangan di antara tubuhnya dan bantal dan disusupkan ke bawah sana. Lalu aktifitas pinggul molek yang dari tadi menggelosor dan berayun naik-turun itu tiba-tiba menyurut, hanya tampak membuat sentakan kecil sesekali. Namun wajah molek itu menjadi lebih merah dari sebelumnya, juga makin sering menggigit bibir dibarengi desisan lirih. Tidak jelas apa yang diperbuat jemarinya di bawah sana dan apa pula yang hadir dalam bayangannya, yang jelas kegiatan itu membuatnya makin dilena birahi. Hingga beberapa saat berlalu dal
Pendapat orang gila! Ya, benar. Saat itu, Ia memang menganggap temannya itu tidak waras. Hanya orang sinting yang bisa mengusulkan hal sekotor itu kepada teman baiknya sendiri! Mulai saat itu Ia langsung menjauhi Ratna dan tidak mau lagi dekat-dekat dengannya. Ia sungguh salah menilai pribadi gadis itu. Rupanya sikapnya yang terkesan dewasa dan tanpa malu-malu itu disebabkan karena Ia memang sudah biasa bergaul dengan orang dewasa (Om-Om). Meski Ia amat memandang hina perempuan-perempuan seperti Ratna, bukan berarti bahwa Ia menganggap dirinya sendiri sesuci dan semurni berlian, seorang alim yang antipati terhadap hubungan antar lawan jenis. Bukan. Ia bukanlah tipe perempuan seangkuh dan sekolot itu. Ia pun menikmati kebersamaannya dengan lawan jenisnya, yang dalam hal ini tentu saja kekasihnya. Ia hanya tidak bisa menerima hubungan yang dilakukan tanpa ikatan emosi, apa lagi yang bertujuan menyenangkan laki-laki demi imbalan materi. Ia tidak bisa menghormati wanita-wanita yan







