Share

bab 2

Author: Rifval
last update Last Updated: 2025-12-21 10:17:39

Ratih keluar dari kamarnya dengan tubuh sudah berbalut pakaian rumah. Daster merah sepanjang lutut, bermotif bunga, dan amat kontras dengan kulit kuning langsatnya yang berkilau segar. Ia menarik sebuah buku tipis dari rak kayu untuk pengusir gerah sebelum duduk setengah rebah di ruang depan sambil menyetel televisi tua peninggalan ayahnya.

Masa itu baru pertengahan delapan puluhan. Barang-barang eletronik modern belum menjangkau ke daerah pedesaan. Bahkan pesawat televisi ukuran 14 inci keluaran pertama itu pun masih terhitung barang langka di kampungnya. Maka rumah Ratih kerap mendapat kunjungan beberapa tetangga yang datang nebeng nonton tv. Biasanya sewaktu ada tayangan populer seperti melodrama atau serial silat.

Tidak berapa lama, Ibu Ratih yang bernama Mirah, masuk pula ke ruang depan dan menggelar tumpukan pakaian kering yang baru diambil dari jemuran.

"Rat, paling baik itu, sepulang kerja, langsung istirahat di kamar. Nonton tivinya bisa nanti sore, sesudah bangun, sesudah mandi, biar segar perasaan," kata nyonya itu yang sudah tampak sibuk melipat pakaian di samping sang putri.

"Ah, Ibu ini. Percuma dong perasaan segar kalau acara melodramanya sudah lewat Ini kan tayangnya hanya jam begini saja, Bu," jelas Ratih dengan mata tetap terarah ke layar TV yang saat itu menayangkan sebuah drama asia. Drama romantis yang lagi populer di kalangan anak muda.

"Kamu jangan membodohi Ibumu. Film model beginian juga ada nanti sore," bantah sang Ibu yang lantas menyambung setengah menggerutu. "Aih, sungguh heran dengan selera anak sekarang. Demamnya sama film china begini yang bahasanya tidak karuan macam,"

"Yang nanti sore itu dramanya lain, Bu. Judulnya berbeda. Dan Ibu, bukannya sudah berulang kali kuberitahu kalau ini bukan Film China, tapi Korea, Bu. Ko-re-a!"

"Ah, terserahlah. Mau china atau korea kek, Ibu tidak mau tahu. Ibu hanya menghawatirkan dirimu. Tadi ibu sempat melihatmu terkantuk-kantuk lemas di kursi. Sayang, kamu harus jaga kesehatanmu ..."

Lalu mulailah seperti biasa nyonya itu mencereweti putrinya dengan wejangan panjang lebar, nasehat dan petuah yang ditanggapi sang putri hanya dengan manggut sesekali, namun dengan mata tak pernah meninggalkan layar TV.

Beberapa saat berlalu.

"Oh, tidak ..!"

Ratih tiba-tiba berseru menyela di antara kata-kata Ibunya yang mengalun tidak habis-habis. Nyonya itu seketika menegakkan alis.

"Kenapa tidak boleh? Memangnya kau ingin jadi perawan tua? Sudah waktunya kau memikirkan jodoh demi masa depanmu. Ingat usiamu, nak. Masa lajang bagi perempuan amatlah terbatas. Tidak seperti kaum laki-laki. Kalau pipimu sudah tidak licin...."

Ratih geli mendapati sang ibu salah wesel. Seruannya yang keluar tanpa sadar adalah karena adegan dalam tv.Tapi sadar jika ketahuan sang Ibu bisa marah, terpaksa ia mengikuti arah angin.

"Aduh, Ibu, usiaku toh baru dua puluh-an. Masa sudah mengkhawatirkan soal perawan tua segala? Untuk ukuran zaman sekarang, gadis usia begitu masih sangat muda, Bu. Bahkan seandainya lanjut ke perguruan tinggi, aku juga masih terhitung anak sekolahan,"

Namun begitu selesai mengucap demikian Ratih langsung menggigit bibir dan memandang Ibunya dengan wajah menyesal. Ia melihat sang ibu seketika termangu di tempat. Kedua tangannya berhenti bekerja dan matanya tiba-tiba bergelayut mendung. Topik perguruan tinggi adalah masalah yang selalu sangat peka bagi nyonya itu. Untuk mecairkan suasana, Ratih segera melepas tawa.

"Aduh, Ibu tidak usah khawatir soal jodohku. Aku pastikan, paling lambat dua tahun, seorang calon menantu tampan akan berdiri di hadapan Ibu. Ibu nanti jangan kaget lho,"

Mata Nyonya itu seketika berbinar. Dalam sekejap, wajah murungnya berubah cerah. "Jadi Kau...kau sudah punya calon toh?! Siapa dia? Pemuda dari mana? Boleh Ibu tahu?" berondongnya tak sabar.

Ratih mengulum senyum penuh rahasia. "Tidak bisa sekarang dong, Bu. Pada waktunya nanti, toh Ibu akan tahu sendiri,"

Nyonya itu mengawasi wajah putrinya dalam-dalam. Lalu katanya mengerut alis :"Jangan bilang selama ini kau telah diam-diam menjalin hubungan dengan seorang pemuda di luaran tanpa sepengetahuan Ibumu !apakah begitu?"

Kedua bola mata gadis itu berputaran dengan senyum malu-malu "Itu sudah wajar kan. Bu. Aku toh sudah bukan gadis kecil lagi,"

"Ini ... wah, kenapa tidak dari kemarin-kemarin kau memberitahu Ibumu? Kau dasar anak nakal!"

Ratih terlonjak saat paha montoknya tiba-tiba mendapat gaplokan cukup keras. "Aduh, Ibu! Sakit!" keluhnya manja.

"Biar saja! Kau sudah berani membohongi Ibumu!"

"Bohong soal apa?"

Pada saat itu seorang laki-laki berambut semi gondrong dengan kumis dan jenggot, berusia akhir riga puluhan, muncul dari dalam sambil membawa segelas kopi. Dia adalah adik sepupu ibu Ratih. Namanya Jamal.

"Ini keponakanmu. Sudah berani bertingkah nakal di luaran dan main rahasia-an," sungut nyonya itu.

"Ah, Ibu, jangan pakai istilah nakal dong. nanti orang jadi salah paham dengarnya,"

Ralat Ratih tersipu. Namun sang ibu tampak tidak perduli. Ratih lalu bertanya kepada sang paman.

"Om, menurutmu, gadis seusiaku sudah pantas memiliki pacar belum?"

Lelaki itu, yang baru saja duduk setelah menaruh gelas kopinya di atas meja, tertegun sejenak. Tapi lalu jawabnya tanpa ragu,

"Sudah tentu sangat pantas. Di luar sana, gadis-gadis seusiamu bahkan sudah bergonti-ganti pacar layaknya tukar sepatu,"

"Nah, Ibu dengar sendiri kan ? Hal demikian adalah kejadian lumrah bagi gadis seusiaku," kata ratih dengan ekspresi puas.

Tapi nyonya itu masih mendeliki sang putri. "Masalahnya bukan itu. Tapi Kau melakukannya secara sembunyi-sembunyi di luar tahu Ibumu,"

"Hal begitu mengapa pakai dilaporkan segala. Harusnya Kak Mirah mengerti sendiri dong. Seolah kak Mirah tidak pernah muda saja,"

Jamal berkata enteng sambil mengangkat gelas kopinya. kemudian lanjutnya setelah menyesap si hitam manis. "Menurutku, kak Mirah justru harus bersyukur. Gadis seusia Ratih yang cantik menarik tanpa cela, kan jadi aneh malah jika sampai belum punya kekasih. Bisa-bisa menimbulkan curiga orang,"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Melati di Kubangan   bab 17

    Dua bulan lewat semenjak Ratih pindah ke ruangan pak Bahar. Beberapa pegawai--dipelopori oleh para perempuan--yang semula memasang kuping dan mata siap mengendus hal-hal mencurigakan, menjadi kecele. Tak ada kejanggalan yang bisa diendus dari hubungan Ratih dan Pak Bahar. Segalanya tampak biasa dan seformil sebelumnya. Maka seiring waktu, Bisik-bisik miring itu pun mereda dengan sendirinya. Implikasi yang wajar karena para pegawai kantor itu pun punya urusan sendiri-sendiri dan tentunya tidak punya waktu terus-terusan menaruh perhatian pada hal-hal yang relatif tidak ada kaitannya dengan urusan mereka. Dalam hal tugas-tugas harian di kantor, Beban pekerjaan Ratih tidaklah bertambah berat dibanding sebelumnya. Malah justru lebih ringan. Kecuali dalam soal jam kerja. Bahwa sewaktu-waktu Ia harus siap berada di lapangan menemani Pak Lurah yang kadang membuat kunjungan kerja ke luar daerah, seperti kunjungan ke sebuah desa atau dusun terpencil. Tentunya bukan hanya dirinya, tapi nemb

  • Melati di Kubangan   bab 16

    Penunjukan Ratih yang secara tiba-tiba diangkat menjadi semacam asisten pribadi Pak lurah tentu saja mengejutkan pegawai lain. Meski tidak ada yang berani mengajukan protes, hal ini sudah lantas menjadi bahan gunjingan di kantor. Beberapa tidak puas karena menganggap sebagai tenaga honorer Ratih belum pantas menerima posisi itu. Meski dikatakan bahwa posisi yang tidak resmi itu hanya bertujuan meringankan tugas-tugas sekertaris, namun diam-diam para pegawai itu punya dugaannya sendiri, dan itu terkait dengan reputasi buruk Pak Bahar dalam hal perempuan, soal kegemarannya pada wanita-wanita muda berparas ayu. Dan amat kebetulan, Ratih adalah gadis tercantik bukan saja di kantor itu, tetapi mungkin di seluruh kampung. Maka tak pelak lagi, keadaan yang amat klop ini sudah lantas menimbulkan bisik-bisik miring mengenai diri mereka berdua, terutama tertuju ke arah Ratih. Mereka menyimpulkan bahwa gadis muda itu akhirnya menggunakan kecantikannya untuk merebut posisi. Meski demikian, pa

  • Melati di Kubangan   bab 15

    Mendengar lurah itu menyinggung soal keluarganya, perasaan Ratih tiba-tba dihinggapi rasa kurang nyaman. Tetapi ia menjawab terus terang. "Benar, Pak. Ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa, sementara Pamanku belum lama berdiam di kampung, jadi ... belum berhasil memperoleh pekerjaan yang layak," Pak Bahar tampak manggut-manggut dan tercenung agak lama. Setelah menarik nafas, Ia kembali berkata dengan nada agak sungkan."Maaf, Rat, kalau Bapak terlalu ingin tahu. Penghasilanmu yang...ya, katakanlah tidak seberapa di tempat ini, apakah cukup kau pakai membiayai hidup keluargamu? Madsud Bapak, mungkin kau punya penghasilan tambahan di luar, seperti jualan kecil-kecilan atau.. semacamnya?" Perasaan Ratih makin tidak enak. Kedua tangannya yang tersembunyi di bawah meja saling remas tanpa sadar. Kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya, sudah tentu akan langsung dia tanggapi dengan kerutan alis tajam, bahkan bisa jadi akan didampratnya habis - habisan. Tapi perta

  • Melati di Kubangan   bab 14

    Sepuluh menit berikutnya, gadis itu nampak sibuk di meja kerjanya, sebelum bangkit berdiri dan menuju ke ruangan Pak Bahar. Ia mengetuk daun pintunya perlahan. "Masuk, " Begitu berada di dalam, hidung Ratih segera disambar wewangian tajam yang menyebar di ruangan 4x4 itu. Didapatinya Lurah itu sedang membaca surat kabar di meja kerjanya. Pak Bahar mengangkat wajahnya. Mulutnya mengembang senyum sambil perlahan melipat korannya. "Pintunya ditutup kembali, Rat," Ratih menurut meski sedikit heran. Tidak biasanya Ia diminta menutup pintu saat menyerahkan tugas. Apakah Lurah itu ingin berbicara dengannya? Pak Bahar menerima berkas dari si gadis dan meletakkannya di pinggir meja bersama surat kabar. "Duduklah dulu, Rat. Bapak hendak membicarakan sesuatu," Dada Ratih berdebar karena dugaannya ternyata benar. Lurah itu ingin bicara dengannya. Soal apa gerangan? Pikirnya was-was seraya mengambil tempat duduk di depan sang penguasa kantor itu. Dalam hati berdoa semoga tidak mendapat

  • Melati di Kubangan   bab 13

    Suasana kamar tak seterang sebelumnya karena pintu dan jendelanya ditutup rapat. Keadaan yang menciptakan udara panas sehingga membuat tubuh mulus yang menggeliat di atas pembaringan itu berkilau dibasahi oleh peluh, melengketkan rambut panjangnya yang tergerai di atas pundak putih halusnya. Peluh yang memberi tanda bahwa kegiatan itu sudah berlangsung cukup lama dan si gadis tampaknya belum juga menuntas gairahnya. Suatu ketika, gadis itu tiba-tiba menyelipkan sebelah tangan di antara tubuhnya dan bantal dan disusupkan ke bawah sana. Lalu aktifitas pinggul molek yang dari tadi menggelosor dan berayun naik-turun itu tiba-tiba menyurut, hanya tampak membuat sentakan kecil sesekali. Namun wajah molek itu menjadi lebih merah dari sebelumnya, juga makin sering menggigit bibir dibarengi desisan lirih. Tidak jelas apa yang diperbuat jemarinya di bawah sana dan apa pula yang hadir dalam bayangannya, yang jelas kegiatan itu membuatnya makin dilena birahi. Hingga beberapa saat berlalu dal

  • Melati di Kubangan   bab 12

    Pendapat orang gila! Ya, benar. Saat itu, Ia memang menganggap temannya itu tidak waras. Hanya orang sinting yang bisa mengusulkan hal sekotor itu kepada teman baiknya sendiri! Mulai saat itu Ia langsung menjauhi Ratna dan tidak mau lagi dekat-dekat dengannya. Ia sungguh salah menilai pribadi gadis itu. Rupanya sikapnya yang terkesan dewasa dan tanpa malu-malu itu disebabkan karena Ia memang sudah biasa bergaul dengan orang dewasa (Om-Om). Meski Ia amat memandang hina perempuan-perempuan seperti Ratna, bukan berarti bahwa Ia menganggap dirinya sendiri sesuci dan semurni berlian, seorang alim yang antipati terhadap hubungan antar lawan jenis. Bukan. Ia bukanlah tipe perempuan seangkuh dan sekolot itu. Ia pun menikmati kebersamaannya dengan lawan jenisnya, yang dalam hal ini tentu saja kekasihnya. Ia hanya tidak bisa menerima hubungan yang dilakukan tanpa ikatan emosi, apa lagi yang bertujuan menyenangkan laki-laki demi imbalan materi. Ia tidak bisa menghormati wanita-wanita yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status