PoV Rauf
Plak! Plak! Tamparan mendarat di pipi. Lestari benar-benar murka padaku. Dia mengamuk dengan tangis yang tumpah ruah membasahi pipi mulus yang kerap kuciumi tersebut.
“Kamu jahat, Mas! Kamu pembohong! Katamu akan meninggalkan istrimu yang matre itu, tapi kamu malah bilang padanya bahwa kamu memilih dia ketimbang aku!”
Tak kusangka, gadis yang sudah kupacari selama enam bulan ini dapat mengamuk juga. Perempuan desa yang baru merantau setahun dan termakan rayuanku, ternyata bisa bersikap buas seperti Risa juga. Kep*rat! Bukankah tujuanku memacari gadis desa sepertinya agar dia tak bersikap kurang ajar begini? Eh, ternyata salah besar. Berani-beraninya dia memukul mukaku di tepi jalan begini. Mana orang-orang mulai ramai berbelanja di minimarket p
PoV Rauf “Uf, kamu jangan bercanda! Risa kabur ke mana? Memangnya ada apa, Uf?” Mama mencegat langkahku yang sudah terburu untuk keluar rumah. Kutengok wajahnya, beliau syok. Dia pasti kaget mendengar ucapanku tentang kaburnya Risa. “Panjang, Ma. Aku harus cari dia.” Aku melepaskan tangan Mama, bergegas mengambil langkah seribu. Sebelumnya aku menyambar sebuah helm berdebu yang lama kusimpan di dalam garasi. Memakainya, kemudian naik motor dan tancap gas. Pikiran ini hanya tertuju pada Risa. Ke mana perginya perempuan nekat itu? Setahuku dia tak memiliki teman dekat di kota ini. Sanak kerabat pun tak begitu akrab dengannya. Kabur ke mana perempuan itu? Masihkah dia di rumah sakit? Masuk bekerja sambil membawa barang-barangnya tersebut?
Mobil dr. Vadi terus melaju dengan kecepatan rendah. Keluar dari gerbang masuk utama RS Citra Medika, lelaki yang memegang setir mobil mewahnya tersebut mengambil lajur lurus dari perempatan, masuk ke jalan dr. Wahidin Sudirohusodo melewati ruko-ruko yang berderet menjubeli kawasan padat pusat perbelanjaan dan hiburan ini. Setelah mengendara sekiranya satu kilometer meninggalkan RS, dr. Vadi berbelok ke kanan, berhenti di depan bangunan besar bercat putih dengan tiga lantai berpagar tralis baja tinggi sekiranya dua meter. Seorang satpam berpakaian serba hitam tampak keluar dari post penjagaan dan membukakan gerbang untuk kami. Dr. Vadi kemudian melajukan mobilnya untuk masuk dan berhenti di area parkir yang sangat luas. Parkiran ini berada di sebelah sisi barat rumah. Dilengkapi dengan kanopi dengan penopang baja ringan yang membentang dari ujung ke ujung, sehingga sekiranya mampu melindungi sekitar 15-20 mobil sekaligus.
Di dalam kamar sebesar ini aku betul-betul merasa hampa dan sendirian. Tak ada teman mengobrol untuk sekadar berbagi cerita. Selepas menata pakaian yang kubawa ke dalam lemari milik kost, aku memutuskan mandi untuk menyegarkan tubuh sekaligus penat. Meskipun mandi di dalam tempat yang bersih dan wangi plus air hangat, tetap saja jiwa ini rasanya benar-benar kosong. Lama sekali aku melamun sembari membiarkan tubuhku dialiri air dari shower yang berada tepat di atas kepala. Sibuk memikirkan nasib apa yang bakal kutelan pada episode kehidupan nanti. Huft, andai bisa memilih takdir, sudah pasti aku tak ingin melalui pahit getir bagian seperti ini. Hidup tenang, rumah tangga ayem, ekonomi yang mapan adalah impian besarku. Namun, sayang. Semua mungkin tinggal angan belaka. Status janda yang tak pernah kuidam-idamkan, bakal tersemat di depan nama. Usai mandi, aku hanya duduk di atas ranjang sembari menonton
PoV Rauf Buru-buru aku meninggalkan RS Citra Medika dengan sepeda motor dan berniat untuk menjemput Lestari di minimarket. Kupacu kencang laju kendaraan agar bisa tiba di sana dalam waktu singkat. Urusanku sangat banyak hari ini. Satu per satu permasalahan harus segera diselesaikan. Bukan apa-apa, aku ingin rumah tanggaku bisa kembali normal. Risa pulang ke rumah dan melayani dengan semestinya, serta Lestari yang hanya gundik itu tak menuntuk banyak plus mengharap lebih dariku. Aku ingin hidupku kembali seperti biasa! Sesampainya di parkiran minimarket, aku duduk menunggu di atas motor. Tak perlu menunggu waktu lama, Lestari keluar dengan membawa helm dan tas kerjanya. Wajah perempuan itu tampak lesu. Langkahnya pun gontai tak bersemangat. Dia pasti masih memikirkan kejadian tadi pagi.&nb
PoV Rauf “Aku pulang! Kalau besok ternyata kamu tidak keguguran juga, aku akan cari jalan lain. Jangan pikir kalau aku bakal tanggung jawab, ya!” Aku mendorong kepala Lestari hingga perempuan itu terantuk cukup keras di dinding. Tangisnya masih kudengar histeris. Namun, aku tak ambil peduli. Bergegas aku pergi meninggalkan kontrakan milik selingkuhanku tersebut. Kupacu seger sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Sepanjang jalan, pikiranku kalut. Benar-benar pusing dengan himpitan hidup yang kian menyiksa. Kenapa Tuhan begitu tega memberikan cobaan? Salahku apa? Setahuku, aku sudah banyak berbuat baik di dunia ini. Menyekolahkan anak yatim, membantu keluarga miskin macam Lestari. Akan tetapi, mengapa malah dua begundal yang sudah kubantu itu kini berbali
Mobil dr. Vadi terus melaju, sementara dua insan yang sedang berada di dalamnya hanya dapat diam membisu tanpa sepatah kata pun. Aku benar-benar sedang dilanda kikuk. Sebagai perempuan normal, wajar bukan kalau sikapku begini setelah mendengarkan ucapan dr. Vadi yang rasa-rasanya membuat dada ini bagaikan diaduk-aduk? Tidak, aku sebenarnya tak ingin gede rasa. Namun, tak bisa ditampik bahwa aku ... ah, sulit untuk dijelaskan! Ya, sudahlah. Biarkan aku larut dalam anggapanku sendiri, begitu juga dengan dr. Vadi. Laju kendaraan dr. Vadi tiba-tiba melambat dan akhirnya berhenti tepat di depan tembok beton tinggi yang melindungi sebuah bangunan megah dengan kerlip lampu-lampu taman warna kuning. Aku tidak tahu ini rumah siapa dan mau ngapain kami berhenti di depan sini. 
Setelah saling diam di sepanjang perjalanan, kami akhirnya sampai juga di sebuah parkiran basement sebuah mal besar di kota ini. Dr. Vadi menghentikan mobilnya setelah memastikan mobil terparkir dengan presisi di tempatnya. “Ayo,” katanya sembari melepas seat belt dan mematikan mesin. Aku hanya mengangguk dan mengikuti geraknya. Keluar mobil dan berjalan beriringan dengan lelaki yang berpakaian bagai ingin main ke rumah tetangga tersebut. “Pelan-pelan, nanti aku jatuh,” kataku sembari sedikit mengejar dr. Vadi yang mempunyai langkah panjang tersebut. Dr. Vadi seketika menghentikan langkahnya. Menoleh dengan wajah datar sehingga membuatku sedikit tak enak hati.&
PoV Rauf “I-itu ....” Lidahku benar-benar kelu. Aku tak yakin alasan apa yang bisa membuat Mama percaya. “Kamu berselingkuh, Uf?” Mama membelalakkan kedua matanya. Spontan membuatku kalang kabut dan serasa kehilangan pijakkan. “Jawab, Uf!” Mama mencengkeram kerah jaketku. Aku tak menyangka bahwa dia akan semarah ini saat tahu bahwa aku main serong. “Ini karena Risa, Ma. Dia tidak melakukan kewajibannya sebagai istri dengan baik.” Akhirnya, bibirku lancar juga mengeluarkan sebuah statement. Mata Mama masih membeliak. Dia seakan masih tak percaya dengan ucapanku. &l