“Kamu ingin memukul lagi, Mas? Baiklah. Silakan! Biar setelah ini aku kabur dan melaporkan tindakanmu ke polisi!” Aku semakin berteriak. Menantangnya dan berharap dia benar-benar memukulku lagi. Namun, Mas Rauf malah mengembuskan napas masygul. Mulutnya berkali-kali merapalkan istighfar. Cuih! Dia tidak mantas mengucapkan kalimat suci semacam itu. Kelakuannya sudah seperti preman kampung yang hanya berani memukul istri. Tidak ada akhlak!
“Kita cukupkan pertengkaran ini, Ris. Aku mohon.” Mas Rauf tampak putus asa. Jujur aku belum bisa melupakan tentang prasangka kemana larinya uang hasil bengkel selama sepuluh bulan belakangan ini. Lihat saja. Akan kukorek sampai ke akarnya kalau perlu.
“Oke. Aku juga capek! Berdebat denganmu tidak ketemu ujung pangkalnya. Akhir-akhirnya kita hanya bertengkar dan stuck dalam kebuntuan.” Aku benar-benar lelah. Baiklah, mungkin aku harus pakai cara halus untuk mengurai segala kekusutan ini. Pelan-pelan, Ris. Jangan gegabah menghadapi hal ruwet. Bisa-bisa malah aku yang terperosok sendiri.
“Kamu maafkan aku kan, Ris.” Mas Rauf mengulurkan tangannya.
Terpaksa, kujabat tangan kasar yang masih tampak sisa-sisa oli pada sela kukunya. “Ya.”
“Masalah Mama, tolong jangan diambil hati. Kasihan dia. Sejak dulu aku selalu memprioritaskanmu sampai lupa bakti padanya. Wajar kalau saat ini Mama banyak menuntut.” Yap! Bela saja terus mamamu yang mata duitan tersebut. Bela terus! Salahkan aku. Pojokkan pokoknya sampai aku tersungkur ke dalam jurang.
“Baik kalau begitu. Mulai detik ini, maafkan aku juga. Aku sudah tidak bisa membantu perekonomian keluarga kalian. Terserah kamu mau ngomong apa, Mas.” Aku berucap santai. Kini wajahku bisa tersenyum manis pada sosok lelaki yang masih bertelanjang dada tersebut.
“Ris—” Cepat ucapan Mas Rauf kupotong.
“Itu jalan satu-satunya agar aku bisa memaafkanmu, Mas. Aku sudahi gajiku untuk memenuhi kebutuhan kalian sekeluarga. Masalah listrik, gas, beras, ledeng, dan cicilan motor adikmu, semua urusanmu. Kau kepala rumah tangganya. Aku tidak mau tahu.”
Mas Rauf terdiam. Dia tampak sudah kehabisan kata. Sementara aku, dengan santainya berlalu melewati tubuh lelaki yang memiliki tinggi 175 sentimeter tersebut. Kusambar handuk bersih dari dalam lemari pakaian dan bergegas masuk ke kamar mandi. Aku butuh menyegarkan tubuh dan memikirkan strategi apa yang bisa kujalankan demi melawan Mas Rauf maupun Mama. Jika memang semua tak bisa diperbaiki, akan kurelakan hubungan yang telah bertahun-tahun kami bina selama ini.
***
Malam ini, aku tak keluar sama sekali dari kamar. Rasa lapar kutahan sekuat tenaga. Aku lebih memilih tak makan ketimbang harus jumpa dengan sosok Mama maupun Indy. Dua wanita itu sudah pasti bakal membuatku naik pitam lagi. Buang-buang energi. Buat apa?
“Ris, kamu nggak keluar? Ayolah. Kita makan malam bersama.” Mas Rauf yang tadinya sudah keluar kamar sejak habis Magrib, kini masuk kembali dengan memasang wajah melas. Dia pikir, mukanya yang seperti orang minta dihajar warga sekampung itu bisa meluluhkanku? No way!
“Nggak, Mas. Aku di kamar saja.”
Mas Rauf kemudian duduk di tepi ranjang, tepat di samping aku yang tengah berbaring sembari memainkan ponsel.
“Kamu sedang apa? Chatting sama laki-laki?” Tuduhan Mas Rauf sontak membuat telinga berdiri. Apa yang dia ucapkan barusan?
“Iya. Memangnya kenapa?” Aku menatapnya geram. Kalau saja aku tak sabar, mungkin tumit ini sudah berpindah pada wajahnya. Namun, aku masih ingat dosa dan menghormati Mas Rauf sebagai suami.
“Ah, kamu bercanda.” Mas Rauf malah salah tingkah. Wajahnya antara tak enak dan malu sendiri.
“Jangan asal tuduh ya, Mas! empat tahun lebih kita kenal, belum pernah aku berhubungan dengan lelaki lain. Jangankan chatting, punya niatan saja tidak!” Aku geram. Mengapa Mas Rauf tak habis-habisnya membuatku geram.
“Ya, maaf. Aku salah.”
“Kamu kali yang chatting sama perempuan!”
Mas Rauf terkesiap. Dia tiba-tiba salah tingkah. Gerakannya tak terarah. Garuk kepala, menyentuh hidung berulang kali, dan membuang pandangan. Kenapa dia?
“D-demi Tuhan! Mana ada aku seperti itu.”
“Demi Tuhan ... katamu?” Aku kemudian bangkit dari berbaring dan menatap Mas Rauf dalam-dalam. Mencoba menelisik lewat iris hitamnya. Sayang, lelaki itu malah buang muka. Sebagai perempuan ... naluriku malah mengatakan sesuatu.
“Ayo, kita makan. Mama sudah tidak menyinggung masalah tadi. Beliau sudah masak. Katanya ajak kamu makan sekalian karena belum isi perut dari pulang kerja.”
Cuih! Tumben ingat denganku! Tumben perhatian. Biasanya, pulang dari RS dalam keadaan tudung saji kosong pun, tak ada yang mau bergerak untuk masak kecuali aku. Rela berlelah ria lepas bekerja hanya untuk menyajikan makanan untuk seisi rumah. Baru kusadari, ternyata selama sepuluh bulan ini aku kelewat tolol.
“Nanti bertengkar lagi. Aku malas!”
“Tidak. Aku yang akan menengahi.”
“Jangan-jangan kamu yang bakal nampar aku lagi.” Aku tersenyum sinis. Mengejek Mas Rauf yang ternyata di dalam ketenangannya selama ini, tersimpan jiwa bar-bar yang tersembunyi. Kamu bar-bar, aku juga bisa, Rauf! Kamu sungguh berdosa, ya, Rauf! Tega-teganya kau pukuli aku yang ikut menopang rumah tangga.
“Ris, sudahlah. Katamu sudah memaafkanku.” Mas Rauf menahan napasnya. Dia tampak sudah mulai hampir kehabisan sabar. Salahmu membuatku begini!
“Oke! Awas kalau terjadi hal yang membuatku muak. Aku tidak segan untuk melempar piring dan gelas ke wajahmu, Mas.”
Aku langsung turun dari ranjang dan keluar kamar. Berjalan dengan penuh percaya diri dan membusungkan dada. Kudatangi Mama dan Indy yang sudah duduk di kursi makan sembari saling melamun. Mereka langsung menoleh ke arahku saat tahu ada derap langkah kaki yang menuju.
“Ris, makan dulu.” Mama mengulas senyuman. Wanita paruh baya dengan perawakan sedang dan kulit sawo matang itu terlihat sangat ramah. Seolah dia tidak melakukan kesalahan apa pun padaku.
“Mbak Risa, ayo duduk di sampingku.” Indy yang masih duduk di bangku kelas XI SMA itu juga turut tersenyum manis. Gadis berambut lurus sebahu dengan perawakan tinggi langsing tersebut bersikap seperti biasa. Manis (atau hanya pura-pura?) dan kuduga lagi-lagi bakal minta duit untuk bekal sekolah besok. No! Jelas hari ini aku akan menolak. Mulai detik ini hingga kapan pun, tak bakal ada lagi uang buat kalian-kalian yang berhasil menghancurkan perasaanku.
Tanpa banyak bicara, aku langsung duduk di sebelah Indy. Menarik bakul nasi dan mengautnya dua centong ke atas piring yang telah tersedia di meja. Tumis kangkung dan orek tempe kuambil pula sebagai lauk pauk. Hanya ini? Padahal kemarin aku baru saja memberikan Rp. 200.000 untuk Mama belanja beli sayur. Kalau cuma kangkung, tidak perlu minta uang segala! Bisa langsung petik di parit belakang rumah sana. Luar biasa keluarga culas.
“Makan yang banyak, Ris. Kamu pasti sangat lapar.”
“Iya, tentu. Masa aku makan sedikit? Toh, aku yang kasih uang belanja.” Aku menatap sengit ke arah Mama yang duduk di seberang. Mas Rauf yang baru saja tiba dan hendak duduk di samping ibunya pun, tampak terperanjat dengan kata-kataku.
“Iya, Ris. Maaf, uangnya cuma Mama belanjakan kangkung dan tempe saja. Soalnya harus bayar SPP Indy.” Akhirnya perempuan paruh baya itu sadar diri juga. Betapa tak sesuainya besaran uang yang kuberi dengan lauk yang dia belanjakan. Tahu begitu, mending aku yang belanja sendiri!
Mas Rauf kemudian duduk. Wajahnya tampak ditekuk. Diam tak berkata-kata.
“Itu uang terakhir yang kuberi untuk belanja, Ma. Selanjutnya urusan Mas Rauf.” Aku mulai menyuap nasi ke mulut. Acuh tak acuh pada keluarga ini.
“Uf, kamu sudah ada uang? Bukankah katamu bengkel sedang sepi?”
“Iya, Ma. Akan Rauf usahakan.” Suara Mas Rauf lemas. Seperti kurang bergairah. Siapa suruh kalian injak aku? Kalau kalian bisa membawa diri, tentu saja sekadar membantu kebutuhan sehari-hari, aku tak bakal mempermasalahkan.
“Mbak Risa, dulu kan waktu Mbak kuliah, Mas Rauf sering bantu. Seharusnya, saat Mas Rauf sedang susah, sekarang kan giliran Mbak yang menolong.” Indy dengan wajahnya yang berbalut bedak tipis dan lipgloss pink di bibir itu berucap dengan sangat santai. Mukanya sangat innocent. Kurasa di usianya yang menginjak 18 tahun, Indy sudah lebih dari dewasa untuk sekadar mengerti arti sopan santun dan tata krama.
“Indy, ucapanmu sangat lancang.” Aku meletakkan sendok yang semula akan kusuap ke mulut. Kutatap gadis itu dengan penuh rasa muak. Lihat saja wajahnya yang putih tapi leher dan tangannya yang gelap. Kalau bukan dari sisihan keringatku, dari mana dia bisa beli krim pemutih bermerkuri tersebut?
“Aku nggak pernah usil dengan hidupmu ya, In. Kamu mau TikTok-an sepanjang hari tanpa mau bantu-bantu kerja rumah tangga, nggak pernah aku senggol.” Aku benar-benar tak dapat menahan emosi.
“Ma, baiknya Mama ajari Indy sopan santun.” Aku menatap muak ke arah Mama. Tak peduli dengan wajahnya yang mulai tak terima dan tersulut emosi tersebut.
“Kalau kalian memang tidak senang dengan keberadaanku di sini, aku akan turun. Malam ini juga. Tidak masalah.” Aku bangkit dari meja makan. Menyambar piring dan segelas air, kemudian berjalan membawanya ke kamar.
Mereka pikir, bisa membuatku bersedih hati? Menangis seperti wanita-wanita lemah di sinetron yang kerap mengiris perasaan? Tidak bakal! Kalau perlu, kalianlah yang kubuat menangis. Jangan pikir hanya karena aku menumpang di sini, bisa kalian omongi macam-macam. Mohon maaf!
Bagian 15 “Sayang, hari ini masak apa?” Mas Vadi tiba-tiba mengejutkanku. Aku yang tengah sibuk dengan gulai kepala ikan, mendadak kaget luar biasa. Apalagi ketika lelaki tampan itu memeluk tubuhku dari belakang dan melayangkan kecupan mesranya di leher. “Ih, geli,” kataku mengelak sambil merasa kurang percaya diri karena seharian belum mandi. Dari pagi hingga tengah hari, aku cukup sibuk dengan urusan domestik. Berberes rumah, mencuci pakaian, belanja ke pasar, dan masak makan siang untuk suami. Semua kulakukan sendiri tanpa bantuan siapa pun. “Masa? Kutambah ya, ciumannya,” kata Mas Vadi manja sambil mengeratkan pelukannya. “Mas, aku belum mandi, lh
Bagian 14 “Gejalanya mirip dengan almarhummah Umma dulu,” bisik Mas Vadi lagi. Aku terhenyak luar biasa. Tertegun diriku untuk beberapa saat sambil menatap Ibu dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Ya Allah … Ibu. Rasanya aku sangat sedih mendengar apa yang diungkap oleh suamiku. Sebagai seorang perawat yang pernah PKL di rumah sakit jiwa saat semester lima dulu, aku pun kerap melihat orang-orang yang depresi berat dengan gejala yang sama seperti ini. Menarik diri, tidak berminat dengan apa pun, dan terlihat enggan mengurus tubuh. Nafsu makan beliau pun menurun drastis. Ibu, apakah kencintaannya akan harta telah membuat dia menjadi begini? “Bu, ayo kita berberes. Ikuti kata-kata Risa,” Mas Vadi kini meringsek maju. Lelaki itu berusaha
Bagian 13 “Oh, tidak, Mbak Nadya. Mbak Nadya … apakah masih mau ke Samarinda untuk bekerja sama dengan kami di rumah sakit?” tanyaku dengan agak menyimpan keraguan yang besar. Astaga, apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa malah pertanyaan itu yang terlontar di mulut? “Maaf Mbak Risa. Aku sedang fokus membuka bisnis klinik estetika dan salon kecantikan. Rencananya bulan depan aku juga akan menikah dengan seorang dokter spesialis kulit. Dokter Hendrawan. Vadi pasti kenal. Nanti undangannya aku kirimkan via WhatsApp tidak apa-apa, kan?” Deg! Aku langsung merasa menjadi manusia yang sangat konyol detik itu juga. Bodoh! Keputusanku untuk berbasa basi dan mengajaknya ke sini sungguh sangat kusesali sebagai hal yang paling konyol. Astaga,
Bagian 12 Makan malam kali ini aku sungguh tak berselera. Deretan hidangan lezat di atas meja sungguh tak menggugah sedikit pun. Seperti mati rasa. Terlebih saat ingat utang sepuluh milyar yang ditinggalkan Abah. Makanan semewah ini membuat jiwaku sungguh tersiksa oleh rasa bersalah yang besar. Mas Vadi tengah memikirkan tumpukan beban, kami malah berenak-enakan begini. Ya Allah! “Ris, makan dulu. Kenapa melamun terus?” Ibu yang duduk di seberangku menegur. Aku tertegun sesaat. Mengangkat muka dan menatapnya sekilas. “Nggak apa-apa, Bu.” Senyumku kecil. Pertanda aku tengah tak ingin banyak bicara. “Makan, Ris. Kamu dari siang sedikit makannya.” Mas Vadi yan
Bagian 11 “Ris, kamu sabar ya, Nak. Ibu yakin kalau kamu akan segera sembuh.” Ibu memelukku saat kami tiba di rumah. Sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis. Sekantung obat-obatan yang diresepkan oleh dokter Timoti tiba-tiba menjadi momok menakutkan bagiku. Mungkin ini memang bukan masalah yang sangat serius bagi sebagian orang. Namun, bagiku sungguh ini menjadi beban sekaligus pukulan telak. Terlebih saat Abah meninggal gara-gara mempermasalahkan momongan dalam pernikahan aku dan Mas Vadi. “Iya, Bu.” Aku hanya menjawab singkat. Menyeka air mata dan menyeret langkah gontai menuju kamar sambil dirangkul oleh Ibu. Saat di depan pintu, aku masuk tanpa ingin ditemani lagi olehnya. “Aku mau istirahat.”
Bagian 10 Pagi itu juga, setelah sarapan, kami bertiga memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Ya, memeriksakan kondisi rahimku tentu saja. Meskipun ada rasa sakit di hati akan ucapan Ibu, aku tetap berusaha untuk terlihat tak apa-apa. Memang sulit. Namun, aku sedang tak ingin ribut apalagi memperpanjang masalah. Sepanjang perjalanan, aku yang duduk di samping Mas Vadi, hanya diam seribu bahasa. Tak menoleh ke arah Ibu, apalagi mengajaknya bicara. Rasa sakit yang kupendam memang sangat mempengaruhi mood. Entah sampai kapan, aku juga tak tahu. Kami pun tiba di rumah sakit yang kini kepemilikannya telah diatasnamakan untukku. Ya, Saras Medika yang memiliki bangunan total ada dua lantai ini terlihat begitu ramai di bagian ruang pendaftaran. Hampir semua karya