"Selamat, ya. Anakmu lahir dengan selamat dan sempurna. Lihat ini," Tar memperlihatkan bayi merah digendongannya kepadaku.
"Aku akan mengadzaninya, jika kamu mengizinkan." Dia tersenyum, manis sekali. Aku mengangguk bahagia, "Boleh," sahutku.
"Apa kau sudah mempersiapkan nama untuknya?" Aku menggeleng.
"Bagaimana jika Aryo, Aryo Wicaksono. Agar anak ini, tumbuh menjadi orang yang bijaksana sesuai dengan namanya."
"Nama yang indah, boleh juga." Aku mengiyakan sambil membelai lembut bayi laki-laki ini.
"Apa kau akan memberitahu suamimu perihal anak ini?"
Senyum yang semula merekah di wajahku mendadak sirnah. Aku belum siap.
Tiba-tiba tubuhku seakan ditarik, melayang menuju dimensi waktu yang lain.
"Ibu, aku ini anak haram ya? Kok aku nggak punya Bapak? Hu..hu..hu.." Aryo datang menangis sesenggukan dengan masih mengenakan seragam sekolah.
"Loh, Nak, kata siapa? Aryo punya, kok. Udah diam, ya. Jangan di dengerin. Mere
POV Ira"Kamu, k-kenapa bisa ada disini?" ucap Bu Naji terbata. Aku pun menoleh pada orang yang dimaksud Bu Naji."Saya turut berduka cita atas kematian putramu, Aryo."Bu Naji hanya diam, dia kembali pada aktivitasnya meratapi kubur anaknya. Hanya saja tak sehisteris tadi. Entah karena sudah puas melontarkan uneg-unegnya atau karena malu pada Pak Hadi. Ya, suara bariton yang tadi menyapa Bu Naji adalah milik Pak Hadi.Jadi, mereka sudah saling kenal, toh.Sekitar sepuluh menit, Bu Naji berdiri dan langsung keluar pemakaman tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Cepat sekali mood Bu Naji berubah, baru beberapa menit yang lalu dia begitu jinak bak kucing anggora, sekarang, malah seperti singa kelaparan. Ketus sekali."Bisa saya minta waktu anda?""Bukannya Bapak mau menemui Bu Naji?""Itu umumnya, khususnya adalah menemui anda. Mari, jika berkenan. Ada hal penting yang akan saya sampaikan."Aku mengekor Pak Hadi me
Indahnya matahari pagi. Jika dulu aku sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah mengagumi keindahan alam semesta ini, tiga hari ini aku begitu bebas mengaguminya. Pagi saat matahari terbit, petang saat matahari terbenam, atau bahkan siang hari saat matahari tengah bersemangat mengeluarkan aura panasnya.Ya, semenjak kejadian di angkringan tersebut, aku tidak diperbolehkan memasuki rumah, bahkan desaku oleh Bu Naji. Dia mengajakku berlibur di hotel ini, hotel yang indah di tepi pantai. Hanya dengan membuka tirai jendela, akan membuatku terkagum-kagum akan indahnya alam ciptaan Tuhan ini.Liburan atau persembunyian lebih tepatnya. Karena selama di sini, Bu Naji melarang keras aku untuk berbicara dengan siapapun. Termasuk dengan petugas hotel, bahaya, bisa saja mereka adalah bagian dari rencana Pak Hadi katanya. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Bu Naji selalu mengelak setiap ku tanya perihal masalah ini."Sampai kapan kita ada di sini,
"Saat itu, kamu masih belum bisa berjalan. Saat Kang War, sepupuku datang dari Kota dengan membawa banyak oleh-oleh. Ibumu yang tengah mengajakmu bermain di rumah ibu, juga kebagian oleh-oleh. Dengan tangan mungilmu, kamu mengambil permen berbentuk hati yang disodorkan Kang War dalam keadaan terbuka dan langsung melahapnya. Tiga jam setelah itu, ibu dan bapakmu terlihat kalang kabut, karena kamu menangis tanpa henti sampai beberapa jam. Mereka membawamu ke puskesmas di kota dan langsung di rujuk ke rumah sakit besar. Diduga, kamu keracunan. Dan yang membuat kami terkejut, dokter menyatakan kamu positif mengonsumsi narkoba.""Hah? Bagaimana mungkin, Bu?""Setelah polisi melakukan penyelidikan, ternyata permen yang kamu konsumsi itu mengandung narkoba. Bapakmu marah besar pada Kang War saat itu. Tapi Kang War berkata yang sejujur-jujurnya, bahwa dia sendiri tidak tahu. Dari situ, polisi kemudian melakukan razia di beberapa tempat untuk mengambil sampel permen yang dicuri
"Aaaaakh....!"Aku langsung terduduk, bangun dari tidurku. Jantungku rasanya melompat-lompat, dag-dig-dug tak beraturan."Ya Allah, hanya mimpi ternyata," gumamku.Kenapa aku mimpi seperti itu, ya. qBapak datang dengan keadaan yang, ah, sudahlah. Mimpi buruk tidak boleh diingat-ingat.Aku mengulurkan tangan hendak mengambil minum yang sudah kusiapkan diatas nakas, meneguknya sampai tandas tak bersisa. Lantas, membaringkan kembali tubuhku di samping Bu Naji. Mata ini sudah kupaksa memejam, tapi otakku tak mau, dia terus memutar kejadian dalam mimpi itu, dimana bapak, jatuh tersungkur di depan pintu dengan bersimbah darah, mengenaskan. Meski sudah ku sugesti bahwa mimpi hanyalah bunga tidur, tetap saja ada sisi lain otakku yang bertanya, Pertanda apa itu?"Salat dulu, Ra. Ayo ke belakang barengan." Ku rasakan wajahku ditepuk pelan, memaksaku untuk membuka mata."Hoaaamm, udah subuh ya," tuturku kemudian. Kami pun beranjak ke belakang hen
Matanya melotot melihat ke arah Bu Naji. Penasaran, aku pun berbalik menghadap ke belakang.Tidak ada yang aneh, hanya saja penampilan Bu Naji agak lucu, seperti toko emas berjalan. Kalung dengan berbagai model menjuntai sampai ulu hatinya, gelang berjejer hingga siku yang dipasang di luar baju lengan panjangnya dan kulihat, jari-jarinya sampai tidak bisa dirapatkan karena terganjal beberapa cincin di setiap selanya."Ada yang bisa saya bantu, Nak?" tuturnya pada sales tersebut setelah mengambil posisi di sampingku."T-tidak, Bu. Saya hanya perlu data diri Mbak Ira ini sebelum pengajuan investasi dan tanda jadi kerja samanya."Bu Naji tersenyum, tapi justru sales tersebut malah gelagapan seperti tertangkap basah melakukan kesalahan."Kerja sama? Boleh saya lihat?""E-eh, begini, em, sepertinya ini tidak ada hubungannya dengan Ibu, jadi ibu tidak berhak melihatnya," tolak sales tersebut dengan keringat bercucuran."Lantas, apa hu
Aku ingat betul, potret bangunan dalam kertas itu sama persis seperti foto yang bapak simpan di album usangnya. Dia selalu bercerita petualangan-petualangan masa kecilnya setiap kali mengenang bangunan yang diakuinya sebagai rumah tempat kelahirannya."Loh! Iya, Mbak. Saya lupa, tadi sampai sini bingung mau ngapain. Akhirnya ngadem sebentar sambil ngingat-ingat," cetus bapak tersebut sambil cengengesan.Dia membuka lipatan kertas di tangannya dan mengambil kartu berwarna biru dari dalamnya."Ini," ujarnya sambil mengangsurkan KTP kepadaku.Entah, rasanya bibirku kelu untuk sekadar bertanya perihal potret bangunan itu. Kubaca sekilas tulisan di KTP dan mencocokkan dengan data yang diisi beliau tadi. Seratus persen data ini sama. Tapi seratus persen juga aku yakin data ini bukan milik bapak tua di hadapanku. Jika menurut data, bapak ini baru berumur dua puluh delapan tahun, gak mungkin kan?.Aku segera berlalu setelah mengucap terima kasih.
"Ya, itu foto bapaknya bapakmu. Sekilas mirip sih, sama yang di ponselmu. Kalau kamu punya firasat, mungkin benar. Saya juga gak pernah tahu wajah aslinya. Emang kamu pernah ketemu?"Meluncurlah cerita hari kemaren dari mulutku dalam sekali tarikan napas.Bu Naji memberi usulan untuk pergi ke alamat yang tertera dalam KTP bernama Rendi itu. Aku mengiyakan.Rumah mewah bercat putih ini tampak singup. Seperti tak ada orang di dalamnya.Sepuluh menit kami menunggu setelah menekan bel, barulah muncul wanita paruh baya dari balik pintu."Cari siapa?" ketusnya."Pak Rendi," jawab Bu Naji tak kalah ketus.Deru mobil memasuki halaman menghentikan percakapan kami. Sosok pria tampan dengan wajah lesu keluar mendekat ke arah kami."Gak ketemu, Ma. Aku udah muter-muter," tuturnya menambah kesan putus asa dalam wajah berkeringat itu.Wanita yang beberapa saat lalu berujar ketus pada kami kini malah meneteskan air mata dan men
"Orang tua dari pangeran hayalanmu yang juga adalah orang tuaku."Kulihat Bu Naji begitu terkejut mendengarnya. "Apa maksudmu? Dia adalah anak tunggal, kau pikir aku tak tahu?" sangkal Bu Naji setelahnya.Aku semakin tak mengerti. Yang jelas, firasatku ternyata salah, Pak Hasan adalah orang tua dari Pak Hadi, yang berarti jelas-jelas bukan kakekku."Ya, memang anak tunggal dari ibunya, tapi dari ibuku? Hh, tak tahu saja kau alasan Tar pergi dari rumah tanpa ada niatan pulang ke kampung halamannya.""Waktu itu ibuku sengaja mendatangi rumah madunya karena selama sebulan lamanya suaminya yang tak lain adalah pak tua ini, tak pernah pulang ke rumahnya. Padahal saat itu adikku dalam keadaan sakit. Terbongkarlah semua yang disembunyikan bapak. Awalnya madu ibu yang tak lain adalah Nenekmu, tak menerima, tapi akhirnya luluh juga demi anak mereka, bapakmu. Sampai menjelang madu ibu meninggal, dia membeberkan rahasia yang selama ini ditutup rapat kepada anak sema