Share

Karena Aku Mafia

“Tanda tangan kontrak ini!” perintah Leo kepada seorang pria ber-jas hitam yang terikat di kursi kayu.

Seperti biasa, Leo membawa korbannya ke tempat terpencil untuk melancarkan aksinya. Sebenarnya Leo tidak berbahaya, tidak akan melukai, dan tidak akan membunuh, jika saja orang yang ia bawa menuruti semua perkataannya dengan baik. Karena hal itu tentu saja dapat memudahkan pekerjaan Leo.

“Apa ini? Kontrak apa? Mencoba mengancamku?” teriak pria ber-jas hitam yang bernama Derald. Ia adalah pemilik sebuah perusahaan yang cukup besar. Kali ini, Leo bertugas membuat derald menandatangani sebuah kontrak berisi persetujuan kerja sama antar perusahaan.

Ada sebuah perusahaan yang ingin bekerja sama dengan perusahaan Derald untuk meningkatkan keuntungan. Namun, perusahaan tersebut selalu ditolak oleh Derald karena tak akan menguntungkan perusahaan miliknya.

Leo memegang kertas kontrak itu tepat di depan wajah Derald, agar pria itu bisa membacanya langsung, untuk apa kontrak itu ditandatangani.

“Tanda tangan dan kau kulepaskan,” ucap Leo tegas.

“Perusahaan itu hanya akan menjadi parasit dalam perusahaan milikku! Aku tak akan menandatanganinya!!”

“Keras kepala.” Leo meraih pisau kebanggaannya dari sebuah tas yang ia bawa. Memainkan pisau itu di tangannya sebentar, lalu kembali pada pria yang tengah merinding ketakutan.

Derald jelas tahu bagaimana cara kerja mafia bertopeng serigala putih. Ia banyak mendengar tentang Mr. X. Pria mengerikan yang tak segan membunuh seseorang jika tak menuruti permintaannya.

“Aku hanya berusaha mempertahankan perusahaanku! Apa itu salah di matamu, sialan?!” teriak Derald dengan frustrasi.

Walaupun takut, tetapi ia juga ingin mempertahankan perusahaan miliknya, tidak bisa menerima kontrak dari perusahaan kecil begitu saja.

“Apa katamu?” Leo melangkah mendekati Derald, lalu membungkuk untuk menyejajarkan wajah mereka. Ia menatap tajam Derald dari balik topengnya. “Tolong katakan sekali lagi.”

“SIALAN! BERENGSEK! AKU HANYA INGIN MEMPERTAHANKAN PERUSAHAAN MILIKKU! MENGAPA KAU MEMBELA HAL ILEGAL SEPERTI ITU!”

Perkataan dari mulut Derald membuat Leo menyeringai.

“Biarkan aku menjawab.” Leo kembali menegakkan tubuhnya, memasukkan satu tangannya ke saku celana. Satu tangan lagi ia gunakan untuk meraih sesuatu di dalam tasnya. “Karena aku ... mafia,” jawab Leo dengan senyuman, seakan bangga dengan apa yang sedang ia perbuat. 

***

“Seorang pimpinan perusahaan XX berinisial ‘DD’ tewas di dalam ruangan kerjanya. Setelah melakukan autopsi untuk menemukan penyebab kematian, dokter menemukan di dalam tubuhnya terkandung arsenik, zat berbahaya yang dapat dengan mudah membunuh manusia jika dikonsumsi.”

“Bukan hanya itu, di leher korban juga terdapat bekas sayatan berbentuk ‘X’. Itu artinya, ‘DD’ menjadi korban pembunuhan. Polisi terus mengumpulkan bukti-bukti yang ada. Namun, tak satu pun bukti mengarah pada pelaku pembunuhan ini.”

Malam ini Eric dan Aira—istri Eric—tengah menonton acara berita di televisi yang menampilkan kasus pembunuhan yang lagi-lagi bertandaan sebuah sayatan huruf ‘X’.

“Siapa pembunuh yang selalu memberikan tanda seperti itu? Beberapa tahun belakangan tanda itu selalu muncul pada kasus-kasus kematian,” ucap Aira. Sementara Eric yang duduk di samping istrinya hanya bisa diam. Ia tahu pasti siapa pelaku yang sudah melakukan hal kejam seperti itu. Namun, Eric juga tak bisa melakukan apa pun.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Aira pada suaminya yang sedari tadi hanya diam, tak seperti biasanya. 

“Apanya?”

“Tentang pernyataanku tentu saja! Bagaimana bisa pelaku itu selalu memberikan tanda, tetapi tak ada satu pun polisi yang berhasil menyelidiki identitasnya. Mengerikan.”

“Itu karena dia bermain bersih,” jawab Eric, tanpa sadar sedang membela pelaku dalam berita itu. Aira menatap Eric bingung. Biasanya Eric juga selalu memaki siapa pun yang berbuat jahat. 

“Apa?” tanya Eric pada istrinya yang terus memberikan tatapan aneh padanya. Namun, dalam beberapa saat Eric sadar akan sikapnya yang sedang membela pelaku. “Oh, aku ingin membangunkan anak kembarku.” Eric beranjak dari sofa, ia tak ingin ditimpa oleh pertanyaan-pertanyaan dari Aira.

“Hey! Kau tak akan mendapat jatah malam ini, jika kau berani membangunkan mereka!” teriak Aira, yang justru membuat kedua anak kembarnya terdengar menangis. “Ah, aku benci pria tua itu,” gumamnya.

***

Leo berdiri di ruang kerjanya sembari menatap ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota di bawahnya. Namun, beberapa saat kemudian, dering ponsel menyadarkan lamunannya. Ia meraih ponsel yang ada di saku celananya, lalu tanpa pikir panjang langsung mengangkat panggilan itu.

“Apa yang kau lakukan, Mr. X?” tanya seseorang di seberang telepon.

“Apa?” jawab Leo santai.

“AKU MENYURUHMU UNTUK MENGANCAM, BUKAN MEMBUNUHNYA. BODOH!”

“Kau menugaskanku, itu artinya kau tahu caraku bermain, bukan?”

“Tapi klien kita tak mendapat keuntungan apa pun jika dia mati!” 

“Akan kukirim berkas pengalihan pemegang perusahaan.”

“Kau melakukannya?! I-itu bukan bagian dari rencana.”

Leo mematikan panggilan secara sepihak, tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan pemimpinnya.

Kemarin, sebelum benar-benar membunuh, Leo memaksa korbannya untuk menandatangani satu berkas yang ia simpan sebagai cadangan jika korban itu harus mati. 

Pintu ruangannya tiba-tiba saja terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu, membuat Leo sedikit terkejut. Namun, senyuman tipis langsung terukir di bibirnya ketika melihat siapa yang datang. Gadis manis yang juga membawa kue manis untuknya.

“Aku mengantar pesanan Eric,” ucap Melody. Ia sebenarnya tak yakin jika pria di depannya itu bernama Eric, tetapi satpam di luar sana menyuruhnya untuk masuk ke ruangan ini lagi dan bertemu pria itu lagi.

Leo mengambil kue yang ada di tangan gadis itu, kemudian menaruhnya di meja. Leo berjalan mendekati Melody, menghapus jarak di antara mereka.

Gadis itu tentu terkejut dan perlahan memundurkan langkahnya. Namun, tubuh belakangnya justru menabrak pintu yang sudah tertutup.

Tangan Leo menekan tombol untuk mengunci pintu yang ada di belakang gadis manis itu. Tangan satunya ia letakkan pada dinding dan mengurung gadis itu. Jantung Leo terdengar berdetak begitu cepat, tetapi ekspresi wajah Leo tetap tenang seakan tak terjadi apa pun. Leo memang sangat pandai mengatur ekspresinya. 

“Hai, Melody,” ucap Leo sembari menatap gadis yang lebih pendek darinya itu. Berkat orang suruhannya, sekarang Leo mengetahui nama Melody.

“A-apa yang kau lakukan.” Melody merasa takut. Ia takut pria di depannya itu bertindak jahat padanya. Kedua tangannya berusaha mendorong dada Leo untuk memberikan jarak di antara mereka. Namun, Leo sama sekali tak bergerak, tenaga Melody sungguh tak ada apa-apanya dibanding pria itu.

“Mulai saat ini kau tak akan lepas dariku, manis.”

“Leo! Mengapa kau mengunci pintunya?” teriak Eric dari luar.

“Sialan!” umpat Leo. Rasanya ia ingin sekali mencabik-cabik pamannya itu.

Melody dengan cepat memanfaatkan situasi, ia mendorong Leo sekuat tenaga lalu langsung saja membuka pintu itu. Terlihat sudah ada Eric yang menunggu di balik pintu. Eric terkejut dengan gadis yang ada di ruangan Leo.

Tanpa memedulikan kedua pria itu, Melody bergegas pergi.

“Apa yang baru saja kau lakukan pada gadis itu?” tanya Eric dengan tatapan menyelidiki. Sementara Leo hanya menatap Eric datar. 

“Kau tidak berniat menjadikannya korbanmu, kan?” tanya Eric lagi.

“Cih, aku tidak sedang bermain.”

“Kalau begitu untuk apa kau menguncinya di ruanganmu? Apa yang kau lakukan?”

“Bisakah Paman masuk dan tutup pintunya? Jangan membicarakan hal seperti itu sembarangan.”

Eric sadar jika dirinya masih berada di depan pintu. Ia terlalu terkejut melihat Leo mengunci seorang gadis di ruangannya. Yang Eric tahu, Leo tak pernah membawa seorang perempuan ke ruangannya. Kecuali untuk bahan permainannya. Bahkan pacar Leo sebelumnya pun tak pernah diizinkan untuk masuk.

Eric masuk ke ruangan Leo, lalu menutup rapat pintu itu. Mereka duduk di kursi sembari berbincang.

“Kau menyukai gadis itu?”

“Aku hanya tertarik.” Leo menyalakan laptop miliknya, kemudian memulai pekerjaan yang belum sempat ia kerjakan.

“Sebelumnya kau juga mengatakan hal seperti ini, dan tiga hari kemudian gadis itu mati ditanganmu.”

Leo mendengus kasar, ia malas membahas apa yang sudah berlalu. 

“Berhentilah membahas pekerjaan sampinganku, Paman.”

“Apa katamu? Menurutmu membunuh orang lain itu adalah pekerjaan sampingan?” Eric menatap Leo tak percaya. “Wah, bagaimana bisa aku menjadi paman dari seorang seperti ini.”

Leo menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lalu melipat kedua tangannya di dada. 

“Kalau begitu berhentilah menjadi pamanku,” tutur Leo serius.

“Ayahmu menyuruhku untuk menjagamu, dasar anak nakal.”

“Kalau begitu, biarkan aku bermain.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status