Usai sarapan, Aryo dan Daniel langsung berangkat ke kantor untuk bekerja. Begitu juga dengan Hakim. Sudah menjadi kebiasaan Aryo ketika berangkat kerja, ia tak pernah berpamitan dengan Amel.
Tak lama lagi, Amel pun akan berangkat. Ia segera memakai kemeja putih dengan celana kain berwarna hitam. Tak lupa untuk mengaplikasikan sedikit lipstik berwarna merah maroon untuk membasahi bibirnya, agar tak terlihat pucat. "Sayangnya Ibun... Ibun berangkat dulu ya Nak." Amel mencium gemas Aisha dan memeluknya. Ibun adalah nama panggilan Aisha pada Amel. "Ma, Amel berangkat dulu ya. Ini nitip Aisha," ucap Amel seraya memberikan Aisha pada Arum. "Ntar dulu, itu meja makan sudah kamu beresin belum? Kalau belum beresin dulu. Mama gak mau capek-capek bersihin. Udah capek jagain anak kamu, masa di suruh capek juga beresin rumah." Ketus Arum menitah Amel. Wanita itu menghela napas. "Aduh, lupa lagi belum dibersihin. Mana udah mepet jam nya." Batinnya sambil melihat jam yang terpajang di dinding. "Ya udah, Ma. Amel beresin meja dulu ya setelah itu berangkat. Soalnya udah mepet banget jamnya jadi Amel harus cepat-cepat." Amel gegas mengambil segayung air dan kanebo untuk membersihkan meja makan. Satu persatu piring di angkut dan dibawa ke dapur. Setelah itu, baru ia mengelap sisa-sisa air dan makanan dengan kanebo. Setelah semuanya selesai, ia langsung mengeluarkan motor pribadinya dari garasi. Tak lupa untuk memanasi mesinnya terlebih dahulu. Usai beberapa menit, ia langsung berangkat menuju ke kantor. ___ "Ini gimana sih si Amel, piring gak di cuciin mana numpuk lagi." Arum menggerutu usai melihat piring-piring kotor yang tergeletak di wastafel. "Gitu lah Ma, Mbak Amel emang susah di bilangin. Padahal udah sering kan dibilangin kalau pagi sebelum berangkat wajib bersihin meja makan sama cuci piring dulu." Celoteh Mega seraya mencibirkan bibirnya. Padahal, bisa kan? Jika ia bergantian membersihkan rumah. Tapi Mega tak pernah mau menyentuh pekerjaan rumah. Ia hanya mau mengurus Tifa, putrinya saja. Ia memang pemalas dan maunya cuma terima bersih, sama seperti Arum. "Ya sudahlah, biarin aja numpuk. Nanti biar Amel yang membersihkan. Mama udah capek kalau disuruh nyucuiin piring." Padahal jika mau, Arum bisa mengerjakan itu semua. Apalagi Aisha adalah anak yang baik, dan jarang sekali menangis walau Amel sering meninggalkannya. Berbeda dengan Tifa, ia sangat cengeng. Sedikit-sedikit nangis, bahkan sering merebut mainan-mainan milik Aisha. ___ Setelah setengah jam menempuh perjalanan, akhirnya Amel tiba di kantor tempat ia bekerja. Ia bergegas masuk dan jalan agak cepat untuk absens. Ada alat otomatis yang menempel di dinding untuk absensi para karyawan. "Hufft, untung saja gak telat. Cuma jarak tujuh detik aja! Selamat kamu, Mel. Kalau telat bisa-bisa aku ditegor lagi sama Pak Gio." Batinnya sambil mengelus dada. "Mel, baru sampe?" Sapa Sintya, teman sekaligus sahabat sekantor Amel. "Kamu sampe ngos-ngosan kaya gitu, kaya abis ngejar maling apa?" "Ih kamu ini, mana ada maling. Aku beres markirin motor tadi, abis itu jalannya agak cepat pas masuk ke kantor. Karena jam mepett banget! Biasa Sin, telat sedikit karena aku sibuk bebersih rumah dulu. Setelah itu a--" Sintya memutus percakapan Amel. "Setelah itu bersihin meja makan, padahal itu sisa-sisa makanan keluarga suami kamu, terus nyuci piring, baru berangkat. Begitu bukan?!" Tampak ada rasa kesal pada raut wajah sahabatnya itu. "Astaghfirullah, aku lupa nyuciin piring tadi. Untung sekarang kamu ngingetin. Mama pasti marah banget sama aku nanti." Amel menepuk jidat. "Sesekali gak usah cuciin, biarlah Adik ipar kamu yang nyuciin. Ngapain aja dia di rumah? Nganggur kan? Masa bantuin gitu aja gak mau." "Itu sudah menjadi tugas ku, Sin." Amel menutupi rasa lelahnya dengan sedikit tersenyum. "Liat tuh, Mel. Wajah kamu kaya capek kurang istirahat. Ada sedikit mata panda di bawah kelopak mata kamu." "Iya lah wajar kurang istirahat kan punya anak kecil..." Amel terlihat santai, padahal disamping itu ia juga berusaha menutupi kejelekan keluarga suaminya. "Bukan karena anak, tapi karena suami kamu gak pengertian! Ditambah dengan kelakuan Mama mertua kamu kan, Mel. Kamu kenapa sih betah banget tinggal di rumah yang orang-orangnya kaya gitu? Pada gak peduli tau sama kamu." Sintya terus menerus mencerocos. Ia sangat peduli pada Amel, tak tega jika Amel hanya dijadikan pembantu di rumah Aryo. Amel memejamkan mata, ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan ya perlahan. "Ssuutt.. Sudah, jangan ngomel terus masih pagi ini. Nanti cepet tua. Bukannya aku mau terus untuk tinggal disana. Tapi kan memang belum waktunya aku untuk pindah. Kalau ditanya dari hati, pengen banget rasanya pindah dari sana walau hanya mengontrak di rumah yang sederhana." "Mel, kamu kalau mau pindah, ya pindah aja. Gak usahlah dengerin mulut Mama mertua kamu itu! Dia gak bisa kalau terus-terusan memperlakukan kamu kaya gini." Sintya menyilangkan kedua tangannya. "Mana Amel yang selama ini aku kenal? Yang tegas dan pemberani. Masih ada kan semua itu di dalam diri kamu, Mel? Jangan jadi orang lain deh, nanti kalau kamu udah balik ke karakter asal kamu, aku yakin mereka mati kutu. Kalau perlu sekalian bongkar aja jati diri kamu di depan mereka semua, agar mulut manusia-manusia seperti itu bisa bungkam!""Lo denger gak apa kata bos gue? Apa mau gue sumpelin langsung ke mul ut lo?" Tanya salah satu napi yang lainnya."I-iya, Bang. Saya denger.""Gitu dong!" ujarnya sambil melemparkan bungkus yang berisi nasi bekas."Apes banget hidup disini, gak ada perasaan, udah mirip sama bina tang. Aku harus segera menghubungi Mama, agar mempercepat untuk bertemu dengan Amel dan segera membebaskan aku," batinnya sambil terus memandangi nasi bekas, Aryo merasa risih jika harus memakan nasi itu.Namun tak ada pilihan lagi selain menghabiskan nasi bekas itu, karena para napi yang lainnya juga memperhatikan gerak-gerik Aryo. Dengan terpaksa, lelaki itu memakannya, walau dalam hati sebenarnya ingin muntah.___Arum kini sudah tiba di klinik bersama Risma, ia langsung dilarikan ke UGD karena pendara-ha nya semakin hebat.Tubuhnya lemas terkulai hingga nyaris membuat Risma tak sadarkan diri. Dokter segera mengecek kondisinya, karena gumpalan da rah mulai keluar dari area sensi tifnya.Sementara dengan Aru
"Terus, langkah apa yang akan Mama ambil untuk sekarang? Apa Mama akan tetap mewakili Mas Aryo untuk mempersulit proses perceraian. Atau Mama memilih mengalah dan pasrah jika Mas Aryo dan Mbak Amel benar-benar sah bercerai?" Tanya Mega. Ia turut merasakan tegang bercampur resah, nyalinya untuk menghadapi Amel sudah tak se bar-bar dulu.Ia khawatir jika nantinya malah ikut terseret, karena dulu Mega pernah melakukan kekerasan terhadap Aisha hingga terluka. Bahkan, sampai sekarang Amel pun masih menyimpan bukti visum atas itu.Mega tak menyangka, Amel akan melakukan hal senekad ini. Ia benar-benar menjebloskan lelaki yang dulu pernah membuatnya mabuk kepayang tanpa rasa belas kasihan."Mbak Amel ke Mas Aryo aja bisa setega itu, padahal Mas Aryo adalah lelaki yang dulu pernah sangat ia cintai. Apalagi ke aku? Bisa habis aku dibuatnya," batinnya dengan dada yang berkembang kempis. Wajah wanita itu seketika nampak pias. Ia tak mau jika bernasib sama seperti Aryo."Yah, mau gak mau Mama har
"Semudah inikah Mama bisa mengucapkan kata maaf? Apa Mama gak ingat, bagaimana perlakuan Mama ke Amel waktu dulu? Dan bayangkan, berapa lama Amel menahan sabar atas sikap Mama yang zolim?""Mama menyesal Mel, gak ada yang bisa membantu Mama saat ini kecuali kamu. Karena kamu lah yang berkuasa untuk mencabut tuntutan itu," ujar Arum berusaha untuk terus memohon. Karena satu-satunya orang yang bisa membebaskan Aryo dari penjara adalah Amel.Sebenarnya, Aryo bisa keluar penjara dengan cepat, asal ia membayar denda sesuai dengan jumlah yang di tentukan. Namun, jangankan membayar denda, untuk kebutuhan sehari-hari saja sekarang keadaan keluarga mereka sangatlah sulit. Berbeda dengan yang dulu, uang mereka selalu utuh karena banyak bergantung dengan Amel."Iya, Mama menyesal karena baru tau kan kalau ternyata Amel gak seburuk dan semiskin yang Mama kira? Andai dari awal Mama mengetahui semua harta yang Amel punya, pasti Mama tak akan bersikap seperti itu, yang ada Mama bakal menjunjung ting
"Aku harus segera membawa suamiku ke klinik, agar ia cepat sembuh dan bisa bekerja lagi. Benar-benar kacau, jika sampai tak ada yang menafkahi keluarga ini. Secara, mau makan pakai apa? Sedangkan Aryo juga belum bebas, Daniel pun tak selalu bisa di andalkan. Aku memang mempunyai uang tabungan. Tapi sayang sekali jika harus merogoh tabungan hanya untuk makan sehari-hari. Apa gunanya aku mempunyai anak dan suami jika harus memakai uang tabungan?" ujar Arum sembari melirik ke arah jalan dari kaca mobil yang tertutup. Sekarang, ia dan Hakim sedang dalam perjalanan menuju klinik. "Ma, rasanya gak kuat. Kepala Ayah kaya di putar-putar, rasanya juga mual." Hakim terus memegangi kepala, sambil menahan mual yang kini terasa mengkocok isi perutnya."Ayah, ini juga kita lagi di jalan, bentar lagi juga sampe. Biar enak nanti sampe sana gak usah ngantri lama, karena hari sudah mulai siang."Mobil yang di tumpangi Arum dan Hakim kini sudah berhenti di parkiran sebelah kanan klinik, mereka segera m
Arum langsung memutuskan teleponnya dengan Mega, ia dibuat kaget dengan kehadiran Lia yang berbisik tepat di telinganya. "Bu Arum, apa anda mendengar ucapan saya?" "Iya, saya dengar.""Baik, semuanya sudah jelas. Anda bisa pergi dari sini secepatnya,""Bu, lantas bagaimana dengan Aryo? Kapan ia bisa bebas? Tolong, kasihanilah anak saya." Pinta Arum sedikit memelas."Maaf, yang lebih berhak untuk memutuskan anak Ibu bisa keluar dari tahanan bukan saya, tapi Amel. Dia lah yang mempunyai hak, kapan bisa mencabut tuntutan itu. Karena, yang bersangkutan disini sebagai korban ialah putri saya." "Tapi, apakah Ibu gak bisa untuk membujuk Amel? Di penjara sana tempat orang-orang krim!nal Bu, saya takut Aryo kenapa-napa.""Tadi sudah saya jelaskan ya Bu Arum, yang bisa mengeluarkan Aryo dari sana bukan saya, tapi Amel.""Sekarang Amel ada dimana, Bu? Tolong sebelum saya pergi. Saya ingin tau keberadaan Amel.""Anak saya lagi kerja Bu, gak bisa diganggu di jam-jam sekarang.""Baik, kalau begi
"Saya ingin Aryo di bebaskan, tolong. Ibu gak bisa jika selalu semena-mena terhadap kami.""Semena-mena anda bilang? Apakah menurut kalian, bahwa perilaku kami terhadap kalian ini tak pantas?" Lia berjalan mendekati Arum, tepat di sebelah kolam ikan yang menghiasi halaman rumahnya."Iya, memang anda tak pantas jika berperilaku seperti itu pada anak saya Bu. Apalagi Aryo itu ayahnya Aisha. Jika anak Bu Lia memang mau menggugat anak saya tolong kalian bersikap yang adil.""Adil apa yang anda maksud? Apakah selama ini anda berlaku adil kepada putri saya saat pertama kali ia sah menjadi menantu anda? Apakah anda memperlakukan Amel dengan baik dengan mengingat bagaimana cara Ibu mertuaharus bersikap kepada menantunya?" Lia mencerca Arum, ia mulai geram.Karena Lia paham dengan karakter besannya itu. Pasti Arum takkan terima jika putra sulungnya mendekam dalam tahanan. Arum sesaat hening tak bergeming di hadapan Lia."Bagaimana pun Aryo, ia tetap Ayah biologis dari Aisha Bu. Ibu gak boleh