Dengan cepat, Laura menarik tangan Nyonya Kemala, mengajaknya menuju mobil yang telah menunggu di halaman. Mereka melangkah seperti sepasang sekutu dalam perang, yang siap menyusun strategi untuk menyerang musuh. Tanpa membuang waktu, Laura memerintahkan sopirnya untuk menjalankan mobil. Begitu kendaraan beroda empat itu melaju di jalan utama, ia mengeluarkan ponsel dan menekan nama di kontaknya.Aslan. Sesaat, Laura menarik napas panjang. Membiarkan detak jantungnya menyesuaikan dengan skenario yang telah ia susun di dalam benaknya. Nada sambung pun terdengar. Tak lama kemudian, terdengar suara berat khas lelaki muda dari seberang.“Halo, siapa ini?” sapa Aslan, terdengar waspada.Laura membenarkan posisi duduknya. Suaranya dibuat serendah mungkin, layaknya seseorang yang sedang menahan air mata.“Aslan... ini aku, Laura,” ucapnya pelan, “maaf kalau aku menelepon tiba-tiba, tapi aku tergerak untuk menolongmu. Aku hanya ingin memberimu... sebuah kesempatan terakhir.Ada keheningan s
Ingatan pahit datang perlahan di benak Anaby, membawa dirinya pada lorong waktu yang telah lama tertutup.Dulu, di hari yang sama, ayahnya harus dilarikan ke rumah sakit akibat kesalahan yang ia perbuat. Sambil berurai air mata, Anaby menggenggam tangan sang ayah yang terbaring tak berdaya. Rasa penyesalan pun tak henti menerpa dirinya, kala sang ayah menghembuskan nafas terakhir.Tak lama setelah sang ayah meninggal dunia, ia menerima undangan pertunangan baru. Bukan untuk dirinya, melainkan antara Michael dan Laura. Ibu tirinya yang memberikannya dengan senyum setengah mengejek. Anaby menolak datang, dan memilih untuk tetap berada di rumah bersama Aslan. Dan setelah itu, ia mendengar kabar bahwa Michael, Laura, dan Nyonya Kemala pindah ke luar negeri. Anehnya, ia tak pernah mendengar kabar pernikahan mereka. Tak ada undangan. Tak ada foto. Bahkan tidak satu pun berita di media.“Mungkinkah Michael dan Laura tidak pernah menikah? Tapi, kenapa?” guman Anaby penasaran.Pertanyaan itu
Anaby nyaris melangkahkan kaki keluar kamar, tetapi suara deru mobil lain menyusul masuk ke halaman depan rumah. Ia tak perlu menengok untuk tahu siapa yang datang—Nyonya Kemala dan Laura. Kedua perempuan itu seperti bayangan kelam yang terus membayangi hidupnya. Desahan kecil lolos dari bibir Anaby. Gadis itu menarik kembali langkahnya dan menutup pintu kamar rapat-rapat. Ada getir yang menyesap di balik dadanya. Tidak, ia terlalu anggun untuk menghabiskan tenaga meladeni sindiran atau lirikan sinis dari ibu dan adik tirinya itu. Malam ini terlalu penting untuk dicemari oleh racun ucapan mereka.Maka, Anaby memilih untuk menunggu. Ia duduk di sisi ranjang, menggenggam ponselnya dengan jari-jari yang bergetar pelan, entah karena gelisah atau sekadar gugup. Tak lama, layar ponselnya menyala. Sebuah pesan dari Sandra muncul—membuat Anaby mendengus lirih.[Ana, kau jadi bertemu dengan keluarga Rajasa? Semoga semuanya berjalan lancar. Tapi, aku harap kau tetap mempertahankan cintamu pa
Tak ingin terlihat gugup di hadapan semua orang, Anaby dengan lembut menarik tangannya dari genggaman hangat Michael. Ia menunduk sedikit, menyembunyikan rona merah yang mulai naik ke pipinya."Senang juga berkenalan denganmu, Tuan Michael," balasnya, dengan suara setenang yang bisa ia upayakan.Anaby menyisipkan jeda napas, agar detak jantungnya yang riuh tak terdengar oleh siapapun.Suasana mendadak menjadi kaku. Keheningan menggantung sesaat, seolah semua orang masih mencerna interaksi kecil antara pasangan muda itu.Namun, Tuan Carlo, dengan ketangkasan naluri seorang ayah, segera mengambil alih kendali dan mencairkan suasana."Selamat datang di rumah kami Tuan Gama, Nyonya Safira, dan Michael. Mari kita ke ruang makan. Semua hidangan telah kami siapkan dengan sebaik mungkin," ujarnya ramah sembari mengangkat satu tangan, mengisyaratkan arah yang harus mereka tuju.Nyonya Kemala yang sejak awal menahan diri untuk tidak bersuara, ikut serta menunjukkan keramahan. Dengan senyum kaku
Di ruang makan yang semarak dengan kilau lampu kristal, percakapan para orangtua masih berputar di sekitar satu topik yang sama: penetapan tanggal pertunangan.Di ujung meja, Tuan Gama mengusap jenggotnya sambil menyunggingkan senyum puas, sementara Nyonya Safira mencoba memberikan pendapatnya.“Menurut saya, akan lebih baik bila pertunangan dilakukan dua minggu lagi. Dengan begitu, kita memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan segalanya dengan sempurna — daftar tamu undangan, cincin pertunangan, dan hadiah perhiasan untuk Anaby.”Tuan Carlo mengangguk pelan, menimbang-nimbang usul tersebut. Keheningan sesaat tercipta, hanya diisi suara halus dari denting peralatan makan.Namun, di tengah ketenangan itu, suara berat nan dalam milik Michael tiba-tiba terdengar, membuat semua kepala menoleh padanya. “Saya ingin pertunangan dilaksanakan Sabtu depan, Tuan Carlo,” ucapnya, mengandung nada ketegasan yang tak dapat dibantah, “dua minggu lagi saya akan sibuk dengan acara peluncuran aplikasi
“Tidak ada yang bisa memisahkan kita, Sayang,” lanjut Aslan, melayangkan tatapannya ke arah Anaby, berharap gadis itu akan terpukau oleh keberaniannya.“Sekarang, aku sudah menepati janji untuk mengakui cinta kita di hadapan Tuan Carlo.”Anaby merasa dinding di sekelilingnya bergerak maju untuk menghimpitnya. Kepalanya penuh dengan teriakan panik sementara hatinya berdesir tak karuan.Rasanya ia ingin berdiri, ingin berteriak menyangkal, lalu menjelaskan bahwa Aslan bukan lagi bagian dari masa depannya. Namun, lidahnya mendadak kelu. Pita suaranya seakan tidak mampu bergetar untuk merangkai kata-kata pembelaan.Dengan langkah menghentak, Tuan Carlo maju ke depan. Matanya membelalak lebar oleh amarah yang menggelegak. "Apa yang baru saja kau katakan, Aslan?!" bentaknya.Tuan Carlo menuding tajam ke arah pemuda yang berdiri kaku di ambang pintu. Suara pria paruh baya itu menggelegar memenuhi ruang makan. "Beraninya kau memanggil putriku dengan sebutan 'Sayang'! Apa kau sudah hilang ak
Aslan melangkah mundur dengan kaki yang gemetar. Meski di dalam hatinya ada rasa ciut dan was-was setelah mendengar ancaman dari Michael, tetapi di wajahnya, pria itu memaksakan seringai menantang."Tuan Michael," ucap Aslan, menahan desah napasnya yang berderu di dada, "mungkin Anda berpikir bahwa uang dan nama besar keluarga Rajasa bisa membeli segalanya... termasuk cinta Ana. Tapi, saya bukan pria yang akan menyerah semudah itu."Ia mengangkat dagunya, menatap Michael tepat di mata, meski pupilnya sedikit bergetar.“Saya baru akan pergi kalau Ana sendiri yang memintanya. Jika Ana mengaku di hadapan semua orang bahwa dia memilih Anda, maka saya akan mengalah.”Atmosfer di ruangan itu terasa kian menyesakkan. Hanya terdengar suara napas berat Tuan Carlo yang masih memegangi dadanya.Anaby pun memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan hatinya yang bergejolak hebat. Melihat Aslan tak henti memicu keributan, ia tidak bisa tinggal diam. Detik ini juga, ia harus melakukan sesuatu untu
Hati Anaby serasa diremas-remas oleh tangan tak kasatmata. Dengan tubuh gemetar, ia menopang tubuh Tuan Carlo yang terkulai tak berdaya. Bibir pria paruh baya itu membiru dan denyut nadinya kian melemah.“Seseorang, tolong! Laura! Mama! Cepat panggil sopir!” teriak Anaby lantang, suaranya serak dipenuhi rasa takut akan kehilangan ayahnya. “Kita harus segera membawa Papa ke rumah sakit!”Alih-alih bergerak, Laura hanya memandang Anaby dengan tatapan sinis, seolah menikmati kekacauan yang terjadi. "Kau yang membuat ulah di sini, Ana," sergah Laura dingin, melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa kau malah menyuruh kami?"Nyonya Kemala, dengan wajah tak kalah ketus, ikut menimpali, "Kau yang harus bertanggungjawab atas kondisi Carlo. Semua orang akan tahu bahwa kau seorang putri yang durhaka!”Anaby, yang hatinya sudah koyak oleh perasaan bersalah dan cemas, mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Gadis itu memilih untuk tidak meladeni kedua orang yang hanya bisa memperkeruh suasana. Le
Anaby menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa getir yang tiba-tiba menjalar. Ia teringat akan ciuman semalam yang begitu intens, menghangatkan hatinya hingga seolah meleleh dalam dekapan pria itu. Bahkan, mereka sempat terbenam dalam gairah yang tak terbendung.Namun, semua kenangan itu terasa seperti kilasan ilusi yang diberikan hanya untuk dipatahkan keesokan harinya. Barangkali, Michael sengaja melakukannya sebagai bagian dari permainan hati. Sebuah balas dendam yang dibungkus kepura-puraan.Akhirnya, dengan sisa keberanian yang ada, Anaby mengangkat wajahnya dan menatap Michael. “Baiklah, kita akan menikah sesuai keinginanmu,” katanya pelan, hampir bergetar, “Setelah itu, aku harus ke rumah sakit untuk menemani Papa.”Michael memandang Anaby beberapa detik, seakan ingin memastikan tidak ada keraguan dalam ucapannya. Lalu, perlahan, ia menunduk dan mengucapkan satu kalimat lagi di telinga gadis itu. Bisikannya seperti embusan panas yang menggoda dan menyesatkan di saat yang
Dalam lelapnya, Anaby merasa ada yang menyentuhnya. Sebuah genggaman hangat yang menyelusup hingga ke lapisan sanubarinya yang terdalam.Jari-jemari itu menyatu dengan miliknya, mengirimkan kehangatan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Genggaman itu terasa seperti benteng lembut yang menahan segala ketakutan dan kegelisahanIa tidak tahu siapa, tetapi ia tidak ingin melepaskannya.Anaby pun terbuai dalam kenyamanan yang membuatnya tenggelam dalam tidur panjang. Ia tidak bermimpi. Ia hanya terlarut oleh perasaan damai, yang diberikan oleh sosok tak terlihat di balik gelap matanya. Dalam imajinasi indah itu, Anaby tak tahu berapa lama ia terlelap, tetapi sensasi itu begitu nyata—dan menenangkan.Kemudian, bunyi air yang menyentuh lantai memecah ketenangan pagi. Gema gemericiknya menyusup ke telinga Anaby, dan perlahan membangunkannya dari alam mimpi. Anaby mengerjap, kelopak matanya terbuka dengan lambat, menyesuaikan pandangan dengan cahaya lembut yang masuk dari jendela. Ia menata
Dengan menggenggam harapan terakhir yang ia punya, Anaby menatap lekat paras tampan di hadapannya. Sorot matanya meredup, membawa serta keputusasaan yang membekas begitu dalam. Tanpa mengucap sepatah kata pun sebagai jawaban, Anaby perlahan memajukan wajahnya, menghapus jarak yang tersisa. Gerakannya begitu ringan dan nyaris gemetar, saat bibirnya menyentuh bibir Michael—tanpa jeda, tanpa ragu.Seperti digerakkan naluri, tangan Anaby terangkat pelan lalu menempel pada bahu Michael yang terasa kokoh di balik piyama yang membungkus tubuhnya. Gadis itu bisa merasakan kontras yang mencolok antara kehangatan bibir Michael dan bibirnya sendiri. Bibir Michael penuh dengan gairah kehidupan, berbeda jauh dengan bibirnya yang beku, seperti tak bernyawa. Dalam beberapa detik, Anaby memejamkan mata, memusatkan seluruh pikirannya untuk melakukan hal yang selama ini tak pernah ia kuasai.Ya, berciuman bukanlah sesuatu yang familiar bagi Anaby. Ia tidak pandai melakukannya.Beberapa kali Aslan pe
Setelah daun pintu tertutup rapat, Michael melangkah ke arah dinding dan menyalakan lampu utama. Cahaya hangat segera menyapu seluruh ruangan, menghapus kesan remang yang sempat tercipta. Kilau lampu memantul di permukaan marmer dan kaca, memunculkan siluet kemewahan apartemen lantai delapan itu. Mata biru milik Michael bergerak tenang dan tajam, seperti bilah es yang bening. Pandangannya menelusuri tubuh kurus Anaby yang berdiri kikuk di ambang ruang. Mengunci langkah gadis itu, hingga membuat Anaby nyaris lupa bagaimana caranya bernapas normal.Tanpa berkata-kata panjang, ia menunjuk ke sofa berlapis kulit di tengah ruangan.“Duduklah,” ucap Michael tanpa nada.Dengan langkah ragu, Anaby menuruti permintaan itu. Ia duduk perlahan, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, tetapi tak berani bersandar sepenuhnya. Gadis itu bingung harus meletakkan tangan di mana, tidak tahu harus memandang ke arah mana.Di sisi lain, Michael masih berdiri tegak. Kedua lengannya bersedekap di depan da
Dengan tangan yang mencengkeram erat kemudi, Anaby memacu mobilnya menembus malam. Lampu-lampu jalan yang terpantul di kaca depan tampak buram, seperti garis-garis cahaya yang berlari menjauh. Sementara jiwa Anaby telah tertambat pada satu tujuan.Kecepatan mobilnya meningkat, tetapi pikirannya berlari jauh lebih kencang dari laju kendaraan yang ia kemudikan. Ada gemuruh dalam benaknya, campuran antara keyakinan dan keraguan, antara kerinduan dan ketakutan.Langkah ini bisa dianggap sembrono, bahkan barangkali memalukan—datang ke apartemen seorang pria di tengah malam, tanpa kabar, tanpa undangan. Hanya saja, Anaby tidak peduli lagi. Harga dirinya sudah terlalu letih untuk dijaga, dan logika telah lama kalah oleh harapan. Untuk kedua kalinya, ia bersedia jatuh dalam ketidakpastian jikalau itu satu-satunya jalan keluar dari jeratan Aslan. Marigold Residence menjulang dalam bayangan langit kota yang kelam. Bangunan itumegah sekaligus dingin dalam kemewahan yang tak bersuara.Setibanya
Bak seseorang yang baru saja menemukan permata terpendam di tengah reruntuhan, Aslan langsung memegang tangan Tuan Carlo. Tatapan matanya berbinar, dan senyum yang menggantung di bibirnya begitu lebar, seolah ucapan itu adalah kabar paling agung yang pernah ia dengar.“Saya … benar-benar berterima kasih, Tuan Carlo,” ucap Aslan terbata. “Saya berjanji akan segera menikahi Ana setelah Anda pulih. Saya mencintai Ana lebih dari segalanya.”Janji yang diucapkan Aslan membuat tenggorokan Anaby tercekat. Perutnya mual, mendidih dalam keengganan yang tak tertahankan. Rasanya seperti menelan racun pahit yang merayap hingga ke ujung tengkuk. Refleks, Anaby mengangkat tangannya dan menutup mulut yang tersembunyi di balik masker medis. Ia mencoba menahan desakan mual yang merambat dari dalam.Melihat reaksi itu, Aslan menoleh dengan raut wajah mengkerut, penuh kekhawatiran yang tampak meyakinkan. “Sayang, kau kenapa?” tanyanya lembut, melangkah setengah menuju Anaby.Anaby menggeleng kecil. Ta
“Papa, lebih baik istirahat dulu,” ujar Anaby, sembari mengelus punggung tangan sang ayah, yang masih terkulai lemah di telapak tangannya.Tatapannya lembut tetapi menyimpan kegelisahan yang belum terurai. Ia mencoba menenangkan sang ayah yang terlihat begitu rapuh di bawah sorotan lampu redup ICU. Pastilah tenaga sang ayah terkuras habis setelah mengalami serangan jantung. “Papa baru saja menjalani pemasangan ring,” lanjutnya lagi, dengan nada sabar dan penuh kasih, “jumlah kunjungan di ruang ICU dibatasi. Lagi pula, Papa belum boleh terlalu banyak berbicara. Nanti, kalau Papa sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, aku janji akan mengajak Aslan menemui Papa.”Namun, Tuan Carlo tak menyerah pada bujukan putrinya. Dengan mata yang terus menatap lekat wajah Anaby, ia kembali memanggil nama Aslan. Menyebutnya berulang kali meski suaranya terdengar patah-patah. Pria paruh baya itu seperti meniti celah-celah luka di tenggorokannya yang belum pulih.“Aslan, panggil… dia.”Anaby menggigit
Tanpa menunda lagi, Anaby menyusul perawat yang mendorong ranjang ayahnya keluar dari ruang Cath Lab. Wajah Tuan Carlo tampak pucat di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. Hanya garis tipis detak jantung di monitor, yang memberi tanda bahwa ia masih bertahan.Ketika mereka tiba di depan pintu ruang ICU, salah satu perawat menghentikan langkah Anaby.“Mohon tunggu di luar, Nona. Pasien belum sadarkan diri, dan masih dalam tahap observasi intensif. Setelah Beliau sadar, kami akan izinkan Nona masuk.”Anaby mengangguk pelan. Ia hanya berdiri mematung, menatap punggung para petugas medis yang mendorong ranjang ayahnya menuju ruang ICU. Lalu, dengan langkah gontai, ia kembali ke deretan bangku panjang yang sepi.Sembari menangkupkan kedua tangan, Anaby mengistirahatkan pikirannya yang letih oleh terlalu banyak kekhawatiran.Saat ini, ia belum bisa melihat langsung kondisi sang ayah, tetapi ia tetap bersyukur. Bersyukur karena ayahnya masih ada dan perjuangan hidupnya belum terputus.
Lampu-lampu neon di lorong rumah sakit menyorot wajah Anaby yang muram. Sementara jemarinya terus-menerus mengusap layar ponsel yang telah terkunci sejak lima menit lalu.Satu nama, satu suara, satu tawaran—semuanya masih bergemuruh dalam kepalanya tanpa henti. Tubuh Anaby bersandar lesu di dinding, tetapi dagunya menunduk sedikit, menatap lantai yang dingin seperti pikirannya. Kakinya bergerak gelisah. Sesekali menyilang dan kembali lurus, kemudian menggoyang ujung sepatu pelan tanpa irama. Besok malam. Marigold Residence. Sebuah pertemuan yang menjanjikan jawaban, tetapi juga bisa berujung pada kekecewaan yang lebih dalam dari sebelumnya. Tawaran dari Michael bukan sekadar undangan biasa—itu seperti perjudian. Ia tidak tahu hasil akhirnya akan seperti apa. Lagi pula … kenapa harus di apartemen? Tempat yang begitu personal, begitu privat.Jika hanya ingin bicara, bukankah Michael bisa mengajaknya bertemu di kafe, taman atau lobi rumah sakit? Namun, pria itu malah menyuruhnya data