Tepat pukul enam, denting alarm ponsel membuat Anaby membuka matanya. Dengan penuh kesadaran, gadis itu bangkit dari ranjang. Meski semalam ia baru memejamkan mata menjelang pukul satu dini hari—pikiran Anaby telah lebih dulu terbang pada agenda yang menanti. Hari ini bukan sembarang hari. Ini adalah titik mula dari sebuah langkah besar yang telah ia siapkan dengan segenap keberanian. Dia akan berdiri sendiri, bukan sebagai putri seorang pengusaha besar, melainkan sebagai wanita yang layak diperhitungkan.Jari-jari Anaby yang ramping lantas menyapu layar untuk mematikan alarm.Namun, pandangannya terhenti saat melihat satu pesan masuk. Hanya satu baris—singkat, tetapi cukup membuat bibirnya melengkung membentuk senyum. Dari Michael.[Aku berangkat. Lakukan janjimu, dan aku akan menepati janjiku, Ana.]Seketika itu juga, garis lembut di bibir Anaby semakin lebar. Ia bisa membayangkan tatapan dingin Michael, tutur tajamnya yang menuntut, tetapi di baliknya ada perhatian dan perlindunga
Di kamarnya, Aslan menuju lemari gantung untuk memilih baju yang akan dia kenakan. Dari deretan gantungan, ia mengambil kemeja katun biru kelam bermotif garis, dipadu celana chino berwarna senada. Ikat pinggang kulit espresso diikat mantap, dan jam tangan perak berlingkar bezel hitam bertengger di pergelangan tangan kirinya. Setelah menyemprotkan parfum, Aslan meneliti wajahnya di cermin oval. Gel rambut tersisir licin, alis tebal yang rapi, dan paras maskulin yang sempurna.Bibirnya membentuk senyum tipis penuh keangkuhan. Andai saja dia berasal dari keluarga terpandang, pasti pesonanya mampu mengalahkan Michael Rajasa. “Suatu hari,” bisiknya, “kau akan menyesal, Ana. Cepat atau lambat, kau pasti kembali.”Sambil membusungkan dada, Aslan menelusuri lorong setapak paviliun menuju garasi. Rumah utama tampak sunyi, hanya diterangi lampu teras yang berpendar lembut. Aslan mendengus kecewa—tak ada sosok Anaby yang ia harapkan mengintip dari tirai jendela, sekadar untuk melihat penampil
Gerbang besi tempa berukir lambang ‘R’ dengan warna keemasan menyambut kedatangan Laura. Di baliknya, jalan setapak granit hitam membelah hamparan taman bergaya Versailles—air mancur, patung nimfa, serta deretan bunga peony yang memanjakan mata.Cahaya lampu taman memantul pada kaca jendela mansion berlantai tiga lantai itu. Kediaman keluarga Rajasa menjulang megah, bagaikan sebuah istana klasik. Laura menelan kagum, kemudian menepikan mobilnya di depan teras bundar. Begitu mesin berhenti, ia menekan nomor Nicole.“Nicole, aku sudah di depan gerbang,” bisiknya gugup—antara takjub dan gelisah.“Masuk saja,” sahut Nicole ringan. “Security sudah tahu kalau kau akan datang.”“Tetap jemput aku, ya? Aku… canggung.”Tawa lembut terdengar di ujung sana, sebelum sambungan terputus. Tak lama, pintu gerbang pun terbuka. Nicole Rajasa—gadis berambut cokelat kemerahan itu muncul, mengenakan gaun linen selutut. Ia berbicara singkat pada petugas keamanan, lalu melambaikan tangan kepada Laura.Begi
Di kamarnya yang hening, Anaby melepaskan gaunnya dan menuju kamar mandi. Ia menuangkan sabun aromaterapi ke dalam bathtub, membiarkan busa halus memenuhi permukaan air hangat. Begitu tubuhnya tenggelam di dalam air, rasa penat mulai terangkat sedikit demi sedikit.Namun, satu bayangan malah menyusup pelan. Wajah Laura, senyum licik gadis itu dan tatapan genitnya yang tertuju pada Michael. Entah mengapa ia malah memikirkan adegan Laura yang sedang merayu Michael, ketimbang persaingannya melawan Aslan.Anaby membuka matanya, menatap kosong ke langit-langit kamar mandi. Air di sekelilingnya sudah mulai mendingin. Malam ini ia tidak boleh memikirkan hal lain selain bekerja. Metode Sigma yang ia susun membutuhkan fokus tinggi, dan ia masih harus mempelajari seluruh catatan rapat.Dengan uap lembut yang masih mengambang di kulitnya, Anaby akhirnya meninggalkan kamar mandi. Bathrobe berwarna ivory membungkus tubuhnya, mengungkung aroma ylang-ylang yang menempel sesudah berendam cukup lama.
Meski enggan, Anaby terpaksa menerima setangkai mawar merah yang telah disiapkan Aslan sejak awal. Jemarinya menyentuh batang bunga itu dengan dingin, tanpa getaran rasa. Ia tidak ingin memilikinya, tidak ingin menandai pertemuan ini sebagai sesuatu yang manis. Hanya saja, menolak pemberian Aslan secara terang-terangan hanya akan memperkeruh keadaan.Aslan tersenyum samar. “Kumohon, jangan marah padaku lagi, Sayang.”"Aku tidak marah, Aslan," tukas Anaby, mencoba meredam kejengkelan yang perlahan naik ke permukaan. "Kalau aku marah, aku tidak akan bicara denganmu saat ini."“Tapi, kau selalu menjauh dariku. Menghindari semua kesempatan yang bisa membuat kita berduaan," lanjut Aslan, dengan suara lembut.Anaby menghembuskan napas kasar. Mungkin ini saatnya ia bicara dangan tegas. Tidak dengan kemarahan, melainkan dengan kejelasan. Ia tidak boleh terus menunda dan membiarkan harapan Aslan tumbuh dari akar-akar pahit yang sudah patah.“Aku tidak ingin melanjutkan hubungan kita seperti du
Anaby menunduk, menatap ponsel yang masih berada di genggaman. Pikirannya belum lepas dari nama “Matrix” dan segala kemungkinan yang bisa muncul darinya. “Nanti saja aku memikirkannya, setelah metode Sigma selesai,” bisiknya dalam hati. Ada yang lebih mendesak saat ini. Rancangan metode Sigma yang ia kembangkan untuk menandingi Aslan belum rampung, dan esok pagi ia harus menghadiri rapat penting bersama dewan direksi. Fokusnya harus tetap terarah. Tentang Angelo dan Prof. Hansel—itu bisa ia pikirkan setelah rapat selesai.Mobil pun terus melaju hingga memasuki halaman rumah. Ketika roda berhenti dan Pak Darto membuka pintu, sosok Laura sudah lebih dulu berdiri dari kursi rotan di teras. Dengan dandanan yang berlebihan untuk ukuran sore hari, adik tirinya itu melangkah dengan gaya terburu-buru, seolah hendak membantu.“Aku baru akan ke rumah sakit menjenguk Papa. Ternyata Papa sudah pulang,” tutur Laura dengan senyum manis. ““Kenapa tidak ada yang mengabari kami?”Pandangan mata ga
“Maaf, saya sendiri tidak tahu siapa yang membayarnya,” jawab sang perawat.“Pihak keuangan hanya memberi tahu bahwa semua tagihan telah dibayar lunas. Bila ingin menanyakan lebih lanjut, bisa langsung ke bagian administrasi.”Lekas saja Anaby mengangkat tangan sedikit, menolak dengan halus.“Tidak perlu. Terima kasih banyak atas bantuannya.”Perawat itu tersenyum hangat, lalu melangkah mendekati sisi ranjang Tuan Carlo. Dengan gerakan terampil, ia mulai melepas selang infus yang masih menancap di tangan pria paruh baya itu. Sensor nadi di jari, selang oksigen di hidung, serta elektroda pemantau di dada Tuan Carlo juga dicabut satu per satu. Terakhir, sang perawat membersihkan bekas perekat dengan kapas alkohol dan menutup bekas tusukan dengan plester kecil.“Sudah selesai, Tuan,” ujar sang perawat sambil menata alat-alat medis itu ke dalam nampan kecil.”Jangan lupa minum obat sesuai jadwal. Sebentar lagi kursi roda akan diantar.”Pak Damian yang sejak tadi hanya mengamati dari sisi
Sambil duduk di kursi di samping tempat tidur ayahnya, Anaby menggenggam ponsel dengan kedua tangan. Tubuhnya bersandar, tetapi pikirannya melayang ke detail rencana yang harus ia wujudkan dalam waktu yang sempit.Anaby menatap layar beberapa lama. Ia tahu benar betapa padatnya jadwal Bu Julia, dosen pembimbing semasa kuliahnya yang kini menjadi Kepala Departemen Matematika. Menelepon secara langsung mungkin bukan keputusan bijak. Maka, ia memilih untuk mengetikkan pesan saja.Kalimat demi kalimat disusun oleh Anaby dengan ketelitian, seperti ia sedang menulis surat penting di halaman pertama hidupnya.[Selamat sore, Bu Julia, saya Anaby Buana. Semoga Ibu dalam keadaan sehat dan bahagia. Maaf mengganggu waktunya][Saat ini perusahaan saya, Nova Education, akan meluncurkan program pembelajaran matematika terbaru untuk siswa SMU. Saya ingin sekali melibatkan Prof. Hansel dalam penyempurnaan metode ini. Jika Ibu mengetahui kontak atau keberadaan Beliau, saya akan sangat berterima kasih b
“Belum saatnya,” jawab Aslan, lembut dan merendah. "Saya belum layak menggantikan posisi Anda, Tuan Carlo. Saya masih dalam tahap belajar.”Aslan menggeser posisi duduknya sembari menyentuh lengan Tuan Carlo. Meski sorot matanya menyimpan bara ambisi, tetapi ia tetap menampilkan ekspresi penuh kerendahan hati. Namun tak berselang lama, Aslan melanjutkan dengan nada antusias.“Anda pasti ingat bahwa besok akan berlangsung rapat tahunan dengan dewan direksi. Saya berniat memperkenalkan sebuah program pembelajaran matematika terbaru,” pungkas Aslan.“Program ini khusus untuk siswa SMA yang bersiap menghadapi ujian akhir dan seleksi masuk perguruan tinggi. Jika rencana program saya berhasil mendapat lampu hijau, maka saya berharap itu cukup untuk menunjukkan kemampuan saya.”Sinar terang dari lampu gantung membentuk bayangan halus di dahi Tuan Carlo. Tatapannya menghangat, membaur antara kebanggaan dan rasa lega yang kentara.“Bagus, Aslan. Aku tidak salah memilihmu,” ujarnya, penuh makn