Mobil yang ditumpangi Anaby melaju menyusuri jalan menuju rumah sakit jiwa. Langit berwarna biru cerah, seolah merestui perjalanan Anaby hari ini.Di dalam kabin, Anaby hanya terdiam sambil menggenggam map kunjungan yang telah disiapkan. Begitu tiba di halaman RSJ, ia turun dengan langkah mantap.Anaby masuk ke lobi dan menghampiri meja resepsionis untuk menyerahkan kartu identitas.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas, dengan sopan.“Saya ingin menjenguk pasien atas nama Sandra. Dia baru saja mengalami keguguran,” jawab Anaby tenang.Petugas itu memeriksa buku catatan dan layar komputer, kemudian meminta Anaby mengisi formulir kunjungan. Setelah prosedur administrasi selesai, seorang perawat menghampiri.“Silakan ikut saya, Nona."Sang perawat memimpin Anaby melewati lorong panjang dengan pintu-pintu besi di sisi kiri dan kanan. Lorong itu sunyi, hanya sesekali terdengar teriakan atau tawa aneh dari balik pintu.“Kami menempatkan Nona Sandra di ruang perawatan khusus,” jelas per
Pagi itu, Anaby berdiri di hadapan Michael, membantu merapikan kerah jas yang jatuh sedikit miring. Jemarinya bergerak telaten, memastikan tidak ada satu pun lipatan yang mengganggu penampilan suaminya. “Sedikit condong ke kiri… ya, begitu,” pungkas Anaby, penuh perhatian. Tanpa membuang waktu, Anaby mengambil dasi yang tergantung di sandaran kursi. Ia melilitkannya dengan gerakan yang telah dihafalkan di luar kepala.Michael menatap sang istri sambil terkekeh kecil. “Kau selalu tahu cara membuatku terlihat seperti direktur di majalah bisnis,” ujarnya, setengah bercanda, setengah tulus.Anaby mengangkat pandangan, menatap wajah lelaki itu sejenak sebelum mengencangkan simpul dasi. “Bukan terlihat, Michael. Kau memang seorang direktur dari Matrix Group,” sahut Anaby. Ada kebanggaan yang nyata dalam nada bicaranya.Michael menunduk sedikit, menyentuh ujung hidung Anaby dengan jemarinya.“Hari ini, aku ingin kau berada di salon saja. Manjakan dirimu. Lakukan semua perawatan yang membu
Anaby dan Michael masih berbaring di ranjang, tubuh mereka saling melekat tanpa jarak. Kehangatan kulit Michael di pelukannya membuat Anaby merasa aman, seakan dunia luar dengan segala ancamannya tak akan pernah mampu menjangkau mereka.Namun, denting nada dering ponsel tiba-tiba memecah keintiman yang mereka nikmati. Anaby membuka mata dan melihat ponsel Michael bergetar di meja samping ranjang. Perlahan, ia melepaskan pelukan, bangkit, lalu meraih ponsel tersebut. “Sayang, telepon masuk,” tuturnya, lembut.Dengan gerakan hati-hati, Anaby membantu Michael setengah duduk. Ia menyelipkan beberapa bantal di belakang punggung pria itu, memastikan sandarannya nyaman.Michael menatap layar sebentar, bibirnya membentuk garis tipis. “Pengacaraku. Pasti tentang proses pengadilan Aslan, Sandra, dan Laura.”Anaby mengangguk, lalu menyerahkan ponsel itu ke tangan Michael.“Angkat saja. Aku ingin tahu,” pungkas Anaby, meski hatinya dipenuhi rasa tak menentu.Michael menekan tombol jawab dan men
Hening menggelayut sesaat, usai Michael menyampaikan harapan tulusnya kepada sang ibu. Sebuah permintaan sederhana yang lahir dari kelemahan tubuhnya, tetapi penuh kekuatan cinta. Matanya yang masih redup menatap sang ibu, memohon tanpa suara agar perempuan yang telah melahirkannya itu sudi menerima Anaby. Akan tetapi, Nyonya Safira masih bungkam. Wajahnya tampak tenang, tetapi sorot matanya menyimpan gejolak batin yang sulit ditebak.Hati Anaby semakin resah. Ia memahami bahwa diamnya seorang ibu kadang lebih menyakitkan dari penolakan terang-terangan.Meski begitu, Anaby bertekad tidak akan menyerah. Ia tahu cinta tidak bisa dipaksakan, dan penerimaan pun memerlukan waktu.Melihat ibunya tak kunjung bicara, bibir Michael kembali bergerak. Walaupun serak dan lirih, suara lelaki itu cukup untuk mengguncang ruangan yang sunyi. “Kenapa Mama diam?” Nyonya Safira menghela napas panjang. Tatapannya berpindah dari Michael ke Anaby, lalu kembali lagi ke wajah putranya. “Kita tidak perlu m
Tak disangka, saat tangan Anaby menggenggam jemari Michael yang semula dingin dan tak berdaya, sebuah keajaiban terjadi.Kelopak mata itu—yang selama dua puluh jam lebih hanya terpejam dalam ketidakpastian—perlahan bergerak. Sebuah gerakan halus, tetapi cukup membuat air mata Anaby tumpah sebelum ia sempat menyadarinya."Sayang, terima kasih. Kau sudah berjuang untuk kebahagiaan kita,” tutur Anaby, lirih tetapi penuh ketulusan.Michael mengerjap pelan. Pandangannya masih buram, belum mampu fokus sepenuhnya. Saat mendengar suara Anaby, jantungnya berdetak sedikit lebih kencang.Sontak, Nyonya Safira maju. Wajahnya yang semula tegang kini menampakkan sorot harap yang tak mampu ia sembunyikan.Ia ingin mendekat, ingin memastikan bahwa putranya telah sadar. Namun, langkahnya terhenti ketika salah satu perawat segera merentangkan tangan, menghentikannya."Maaf, Bu. Pasien harus segera dipindahkan ke ruang perawatan. Kami akan memantau kondisinya selama dua belas jam ke depan. Mohon beri j
Suara roda kursi yang berderak menyertai langkah Tuan Carlo menyusuri lorong lantai tiga, di mana ruang observasi terletak. Anaby duduk diam di atas kursi roda, memeluk kedua tangannya sendiri. Hatinya tak tenang. Sejak mendengar bahwa Michael telah selesai menjalani operasi, perasaannya dirundung kegelisahan. Antara rasa syukur karena sang suami selamat, dan rasa cemas membayangkan kemungkinan terburuk.Ketika Anaby dan Tuan Carlo melewati tikungan menuju ruang observasi, mereka berpapasan dengan sosok yang familiar. Seorang pria bertubuh tegap dengan rambut yang sebagian memutih. Dia adalah Tuan Gama, paman dari Michael sekaligus tokoh penting dalam keluarga Rajasa, “Tuan Carlo?” sapa Tuan Gama, melangkah mendekat. “Apa kabar? Sudah lama tidak bertemu.”Tuan Carlo menegakkan tubuhnya, lalu tersenyum lemah. “Kabar saya baik, Tuan Gama.”“Senang melihat Anda kembali dalam keadaan sehat,” balas Tuan Gama, menjabat tangan Tuan Carlo.Tatapan Tuan Gama kemudian jatuh ke arah kursi roda